Guru Besar UGM Beberkan Inkonsistensi PP Hak Pengelolaan
Utama

Guru Besar UGM Beberkan Inkonsistensi PP Hak Pengelolaan

Dari 104 pasal dalam PP No.18 Tahun 2021 tentang Hak Pengelolaan, Hak Atas Tanah, Satuan Rumah Susun, dan Pendaftaran Tanah, terdapat 16 pasal inkonsisten baik secara internal dan vertikal.

Ady Thea DA
Bacaan 4 Menit
Lahan pertanian sebagai salah satu objek redistribusi tanah dalam reforma agraria yang memerlukan pendaftaran tanah. Foto: MYS
Lahan pertanian sebagai salah satu objek redistribusi tanah dalam reforma agraria yang memerlukan pendaftaran tanah. Foto: MYS

Pemerintah telah menerbitkan berbagai peraturan pelaksana UU No.11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja, salah satunya PP No.18 Tahun 2021 tentang Hak Pengelolaan, Hak Atas Tanah, Satuan Rumah Susun, dan Pendaftaran Tanah.

Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (FH UGM), Prof Nurhasan Ismail menilai beleid ini akan menjadi sentral mengatur hak atas tanah karena menghapus peraturan sebelumnya yakni PP No.40 Tahun 1996 tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, dan Hak Pakai Atas Tanah dan PP No.103 Tahun 2015 tentang Pemilikan Rumah Tempat Tinggal atau Hunian Oleh Orang Asing yang Berkedudukan di Indonesi.  

Dia menilai PP No.18 Tahun 2021 tidak merujuk UU No.5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA), tapi hanya UU Cipta Kerja. Padahal, UU Pokok Agraria tidak bisa diabaikan sebagai dasar rujukan karena secara materiil atau substansi PP itu wajib memperhatikan asas-asas hukum pertanahan dalam UU Pokok Agraria. Terlebih, tidak ada satu ketentuan UU Pokok Agraria yang dihapus melalui UU Cipta Kerja.

Dia mengingatkan UU Pokok Agraria memuat asas hukum sebagai hukum yang khusus (lex specialis) dan UU Cipta Kerja berkedudukan sebagai hukum yang umum (lex generalis). Konsekuensinya UU Cipta Kerja tidak boleh mengandung substansi/materi muatan hukum yang bertentangan dengan UUPA. Begitu juga peraturan turunannya, seperti PP No.18 Tahun 2021 itu.

Dia melihat dan menemukan ada 16 pasal dalam PP No.18 Tahun 2021 bersifat inkonsisten baik secara internal dan vertikal. Beberapa pasal yang bersifat inkonsisten internal atau dapat menimbulkan perbedaan tafsir yaitu dasar kewenangan pemegang hak pengelolaan (HPL) untuk menggunakan dan memanfaatkan tanah bagi kepentingan dirinya sendiri atau dikerjasamakan dengan pihak lain sebagaimana diatur dalam Pasal 7 ayat (1) huruf b PP. Ketentuan ini bertentangan dengan Pasal 8 ayat (1) huruf a PP ini.

Pasal 7 ayat (1) huruf b PP No.18 Tahun 2021 mengatur kewenangan memanfaatkan tanah bagi kepentingan pemegang HPL sudah inheren terkandung dalam HPL itu sendiri atau tidak perlu alas kewenangan lain. Tapi, Pasal 8 ayat (1) huruf a PP ini menyebut kewenangan memanfaatkan tanah bagi kepentingan pemegang HPL dapat diberikan HGU, HGB, atau Hak Pakai Dengan Jangka Waktu (HPJW) diatas HPL sesuai sifat dan fungsinnya kepada pemegang HPL.

“Ini ada logika hukum yang tidak benar,” kata Prof Nurhasan Ismail dalam webinar bertajuk “Memperingati 61 Tahun UUPA: Quo Vadis Pengelolaan Pertanahan Pasca UU Cipta Kerja”, Senin (20/9/2021). (Baca Juga: Substansi UU Cipta Kerja Dinilai Anti Reforma Agraria)

Kontradiksi logika hukum juga ditemukan dalam Pasal 46 huruf b angka 2 dan Pasal 61 huruf b angka 2 yakni dihapusnya HGB dan HPJW di atas tanah Hak Milik berdasarkan pembatalan hak tersebut oleh Menteri ATR/BPN. Nurhasan berpendapat HGB dan HPJW di atas tanah berstatus Hak Milik lahir dari perjanjian, sehingga yang berhak membatalkan perjanjian adalah para pihak atau putusan pengadilan yang inkracht van gewijsde.

“Ini kontradiksinya yakni haknya lahir dari perjanjian, tapi dibatalkan oleh pejabat tata usaha negara,” bebernya.

Inkonsistensi vertikal antara lain terlihat dalam Pasal 4 dan Pasal 5 PP 18/2021 yang bertentangan dengan Pasal 137 ayat (1) dan (3) UU Cipta Kerja dan Pasal 3 UU Pokok Agraria. Pasal 4 dan Pasal 5 PP ini mengatur asal tanah yang dapat diberikan untuk HPL selain tanah negara, juga tanah ulayat yang hanya dapat diberikan kepada masyarakat hukum adat (MHA).

Tapi, Pasal 137 UU Cipta Kerja menentukan tanah yang diberikan dengan HPL hanya berasal dari tanah negara dan tidak mengamanatkan MHA sebagai subyek yang dapat diberi HPL. Begitu juga Pasal 3 UU Pokok Agraria yang menegaskan tanah ulayat hanya dapat dilekati Hak Ulayat yang diberikan kepada subyek hukum yaitu MHA. “Ini bukan jalan pintas menyelesaikan persoalan hak ulayat,” ujarnya mengingatkan.

Kemudian pemilikan HGB oleh WNA sebagaimana diatur Pasal 71 ayat (1) huruf b dan ayat (2) PP No.18 Tahun 2021 sebagai penjabaran Pasal 144 dan Pasal 145 UU Cipta Kerja menurut Nurhasan inkonsisten dengan Pasal 36 ayat (1) UU Pokok Agraria. Pasal 71 ayat (1) huruf b dan ayat (2) PP ini mengatur WNA boleh memiliki HGB yang digunakan untuk bangunan rumah susun (rusun) dan berada di kawasan khusus, seperti KEK, KPBPB, KI dan kawasan khusus lainnya. Ketentuan itu dibuka peluangnya melalui Pasal 144 dan Pasal 145 UU Cipta Kerja. Padahal, Pasal 36 ayat (1) UU Pokok Agraria menutup peluang WNA mempunyai HGB untuk segala bentuk penggunaannya.

Inkonsistensi ini bagi Nurhasan terjadi setidaknya karena 4 hal. Pertama, kemampuan memahami baik rujukan, dan unsur perbuatan/kondisi yang akan diatur. Terkait juga dengan kemampuan membangun kerangka berpikir yang sistematis dan logis. Serta kemampuan memahami masalah faktual secara utuh. Kedua, pembentukan beleid dilakukan terburu-buru atau kejar tayang. Ketiga, keterlibatan publik yang tidak optimal. Keempat, kepentingan ekonomi dan politik.

Dirjen Penetapan Hak dan Pendaftaran Tanah Kementerian ATR/BPNS, Suyus Windayana, mengatakan lembaganya telah menyelesaikan 5 peraturan pelaksana UU Cipta Kerja. Salah satunya PP No.18 Tahun 2021 ini. Beleid yang diterbitkan 2 Februari 2021 itu ditujukan antara lain untuk memperkuat HPL. Melalui hak pengelolaan, pemerintah akan mengontrol dan mengendalikan fungsi pemanfaatan tanah, sehingga dapat lebih mengedepankan prinsip kepentingan umum; kepentingan ekonomi; kepentingan pembangunan; dan kepentingan sosial.

“PP No.18 Tahun 2021 menyempurnakan pengaturan pemberian hak atas tanah yang sebelumnya diatur dalam PP No.40 Tahun 1996 dengan beberapa materi/substansi baru,” kata Suyus dalam kesempatan yang sama.

Tags:

Berita Terkait