Guru Besar UGM Ini Sebut TWK Bentuk Obstruction of Justice
Terbaru

Guru Besar UGM Ini Sebut TWK Bentuk Obstruction of Justice

Seharusnya materi tes wawasan kebangsaan berkorelasi dalam pemberantasan korupsi. TWK bukanlah ukuran kuantitatif dalam mengukur seseorang Pancasilais atau tidak, tetapi sebuah komitmen yang dibuktikan.

Oleh:
Rofiq Hidayat
Bacaan 3 Menit
Sejumlah narasumber dalam diskusi virtual bertajuk 'Mengurai Kontroversi Tes Wawasan Kebangsaan di KPK', Minggu (30/5/2021) kemarin. Foto: RFQ
Sejumlah narasumber dalam diskusi virtual bertajuk 'Mengurai Kontroversi Tes Wawasan Kebangsaan di KPK', Minggu (30/5/2021) kemarin. Foto: RFQ

Polemik Tes Wawasan Kebangsaan (TWK) dalam proses peralihan pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menjadi Aparatur Sipil Negara (ASN) masih terus bergulir. Sebab materi dalam TWK dinilai banyak kejanggalan yang masuk ranah privat. Ironisnya, TWK seolah dianggap mengadili pikiran pegawai di luar ruang pengadilan. 

Demikian disampaikan Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Gajah Mada (UGM) Prof Sigit Riyanto dalam sebuah diskusi virtual bertajuk “Mengurai Kontroversi Tes Wawasan Kebangsaan di KPK”, Minggu (30/5/2021) kemarin. “Saya pun bertanya relevansinya TWK itu apa? Validitasnya seperti apa? dan kredibilitasnya seperti apa? Bagaimana pikiran seseorang mau diadili dan di luar peradilan,” ujarnya.

Sigit melanjutkan TWK yang dilakukan para asesor tak memberi kesempatan para pegawai KPK mendapatkan hak-hak sipilnya, bahkan tak dapat menjadi ASN. Ironisnya, kebebasan berpikir lantaran jawaban-jawaban pegawai KPK mesti sesuai yang dikehendaki para asesor sebagai parameter dalam mengukur seseorang Pancasilais atau sebaliknya.

“Ini terjadi pelanggaran Hak Asasi Manusia, pelanggaran kebebasan berpikir karena diadili dengan cara-cara dzalim penyalahgunaan kekuasaan. Kalau dari sudut legalitas dari putusan MK, peraturan pemerintah, UU KPK no point. Dari sudut fungsi jelas, TWK ini dipertanyakan,” tegasnya. (Baca Juga: Mendorong Presiden untuk Membatalkan Hasil TWK Peralihan Pegawai TWK Peralihan Pegawai KPK)

Sigit berpendapat dalam TWK terdapat tindakan obstruction of justice (menghalangi proses penyidikan, red). Sebab, sejumlah pegawai KPK yang telah, sedang atau menangani perkara korupsi menjadi terhambat akibat proses TWK tersebut. Dengan memberhentikan puluhan pegawai KPK yang tidak memenuhi persyaratan (TMS) berdampak besar terhadap nasib penanganan perkara korupsi yang besar. “Ini sebuah langkah obstruction of justice,” katanya.

Baginya, sebuah tes yang diuji seharusnya menjadi parameter seseorang bakal mampu dan meningkatkan kinerja individu dalam pemberantasan korupsi di KPK. Karenanya, indikator yang mesti menjadi parameter adalah soal integritas, loyalitas, dan hormat terhadap institusi, rekam jejak, serta keunggulan membangun institusi ke depannya. Sayangnya parameter tersebut tak terdapat dalam materi TWK.

Dia menilai 75 orang yang dianggap TMS memiliki rekam jejak on the track yang menunjukan dedikasinya dalam upaya pemberantasan korupsi. Malahan tak ada pelanggaran etika dan pelanggaran hukum yang dilakukannya. ”Tapi mereka disingkirkan, berarti itu tindakan abuse  dan persekusi.”

Pembelahan di tubuh KPK tampak nyata, tak hanya di KPK, tapi juga di masyarakat. Bagi Prof Sigit, gejala tersebut bagi amat mengkhawatirkan dalam pemberantasan korupsi bagi bangsa dan negara dalam hal berkontribusi pada peradaban. Sebab, upaya pembelahan yang dilakukan dengan cara yang melanggar hukum, etika, moralitas, dan kaidah akademik.

TWK bukan ukuran kuantitatif

Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Padjajaran, Prof Atip Latipulhayat berpendapat wawasan kebangsaan sejatinya komitmen terhadap tujuan bernegara sebagaimana semangatnya dalam pembukaan konstitusi yang dielaborasi dalam pasal-pasal di UUD 1945. Karenanya, kata Prof Atip, TWK bukanlah ukuran kuantitatif dalam mengukur seseorang Pancasilais atau tidak. Akan tetapi sebuah komitmen yang dibuktikan.

“Orang tidak bisa menilai apa yang ada di kepalanya,” ujarnya.

Dia mencontohkan seseorang yang sepanjang hidupnya berniat melakukan kejahatan pencurian tanpa dibuktikan dengan perbuatan, maka tak dapat dinilai sebagai pencuri. Baginya, wawasan kebangsaan mesti diluruskan, bukan disebabkan kuasa melalui seleksi politik. Namun wawasan kebangsaan ditujukan untuk mengetahui komitmen dalam hal pemberantasan korupsi di KPK.

“Mereka sudah ada yang 16 tahun, 17 tahun lebih, bahkan sudah terbukti komitmen dan menjadi realita prestasi serta kerja yang terukur. Menurut saya dari pertanyaan-pertanyaan yang diberikan jelas wawasan kebangsaan itu bukan sebuah uji eksaminasi untuk melihat komitmen dalam pemberantasan korupsi.”

Atip pun mempertanyakan sejumlah materi pertanyaan dalam TWK yang tidak memiliki korelasi dalam pemberantasan korupsi. Pertanyaan-pertanyaan tersebut seolah upaya konfirmasi dalam profiling, tapi tak jelas mekanismenya. Semestinya, kata Prof Atip, semua materi TWK khusus alih status pegawai menjadi ASN mengerucut pada tugas pokok dan fungsi (Tupoksi) KPK.

Sementara mantan komisoner Ombudsman periode 2016-2021 Ahmad Alamsyah Saragih menilai semestinya wawasan kebangsaan yang digunakan sebagai bagian tes bagi seleksi calon ASN baru, bukan peralihan pegawai KPK. Alamsyah berpendapat polemik peralihan pegawai KPK menjadi ASN tak akan berkepanjangan bila ada “wasit” sebagai penengah untuk mencari jalan keluar.

“Saran saya KPK berkoordinasi dengan Ombudsman agar segera mendapat hasil,” katanya.

Tags:

Berita Terkait