Hak Asuh Anak Belum Mumayyiz Tak Selamanya Jatuh ke Tangan Ibu
Seluk Beluk Hukum Keluarga

Hak Asuh Anak Belum Mumayyiz Tak Selamanya Jatuh ke Tangan Ibu

Pertimbangannya cenderung pada ketidakmampuan ibu dalam mengawasi, memelihara, mendidik dan mensejahterakan si anak. Namun tak menghilangkan hak ibu untuk memelihara dan mendidik anaknya.

Rofiq Hidayat
Bacaan 5 Menit

 

Selanjutnya, Mahkamah Agung (MA) telah berupaya memberi pedoman terkait perseteruan perebutan hak asuh anak melalui terbitnya Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) No.1 Tahun 2017 tentang Pemberlakuan Rumusan Hasil Rapat Pleno Kamar Mahkamah Agung Tahun 2017 Sebagai Pedoman Pelaksanaan Tugas Bagi Pengadilan.

Dalam rumusan kamar perdata umum huruf d menyebutkan, “Hak ibu kandung untuk mengasuh anak di bawah umur setelah terjadinya perceraian dapat diberikan kepada ayah kandung sepanjang pemberian hak tersebut memberikan dampak positif terhadap tumbuh kembang anak dengan mempertimbangkan juga kepentingan/keberadaan/keinginan si anak pada saat proses perceraian”.

Namun, prinsipnya kedua orang tua berkewajiban memelihara dan mendidik anak-anaknya dengan sebaik-baiknya meskipun keduanya telah bercerai sekalipun hingga anak itu dewasa atau sudah menikah sebagaimana digariskan Pasal 45 jo Pasal 41 UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Hal ini semata-mata demi kepentingan terbaik bagi sang anak.  

Bila ada perselisihan penguasaan anak, Pengadilan bisa memberi keputusan siapa yang paling berhak mendapat hak asuh anak. Bapak bertanggung jawab atas semua biaya pemeliharaan dan pendidikan yang diperlukan anak. Bila bapak tidak dapat memenuhi kewajiban ini, Pengadilan dapat menentukan ibu ikut memikul biaya tersebut. Lalu, Pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami memberi biaya penghidupan dan/atau menentukan sesuatu kewajiban bagi bekas istri.

Pengajar Hukum Islam Fakultas Hukum Universitas Indonesia (FH UI) Farida Prihatini berpendapat hak asuh anak sebaiknya diberikan kepada ibunya sepanjang anak belum dewasa dan baligh. Secara fitrah, ibu lebih dapat mengatur anak dan cenderung telaten mengasuh dan mendidik anak. Namun begitu, tak tertutup kemungkinan hak asuh anak jatuh kepada sang ayah sepanjang ibunya terbukti memiliki kelakuan yang tidak baik dan dianggap tidak cakap untuk menjadi seorang ibu.  

Dia menjelaskan dalam penentuan siapa yang berhak mengasuh anak (dalam perkara gugatan perceraian/cerai talak) perlu mempertimbangkan faktor pekerjaan ayah atau ibu si anak. Yang terpenting hak asuh anak yang diutamakan kepentingan yang terbaik bagi sang anak. Ibu pun berhak mendapat hak asuh anak meski dianggap kurang mampu. Sebab yang wajib menafkahi anak adalah sang ayah. Meski bercerai, tidak berarti ayah berhenti menafkahi sang anak.

Baca:

Kehilangan hak asuh

Pasca perceraian, sang ibu dapat kehilangan hak asuh anaknya berdasarkan sejumlah pertimbangan. Seperti tertuang dalam Pasal 165 huruf c KHI, seorang ibu dapat kehilangan hak asuh anaknya, meskipun masih berusia di bawah 12 tahun,“apabila pemegang hadhanah ternyatatidak dapat menjamin keselamatan jasmani dan rohani anak, meskipun biaya nafkah dan hadhanah telah dicukupi, maka atas permintaan kerabat yang bersangkutanPengadilan Agama dapat memindahkan hak hadhanah kepada kerabat lainyang mempunyai hak hadhanah pula”.

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait