Hak Jawab Prof. Hikmahanto Juwana, SH, LL.M, Ph.D
Surat Pembaca

Hak Jawab Prof. Hikmahanto Juwana, SH, LL.M, Ph.D

RED
Bacaan 2 Menit
Hak Jawab Prof. Hikmahanto Juwana, SH, LL.M, Ph.D
Hukumonline

Hak Jawab atas Berita Hukumonline yang terbit pada 27 November 2023.

Saya ingin menyampaikan keberatan saya terkait artikel Hukumonline yang berjudul "Pengungsi Rohingya Dipermasalahkan, PAHAM FH Unpad Ingatkan Mandat UUD 1945”.

Menurut pendapat saya perbedaan pendapat, termasuk di antara para akademisi, adalah suatu keniscayaan dalam melihat berbagai isu sosial kemasyarakatan. Saya juga berpendapat diksi yang digunakan untuk menggambarkan perbedaan pendapat oleh wartawan atau akademisi yang dikutip tidak yang bernuansa merendahkan pihak yang memiliki pendapat lain.

Istilah 'mengoreksi' yang digunakan oleh Hukumonline untuk menyampaikan pandangan PAHAM Unpad terhadap pandangan saya seolah menyalahkan pandangan yang saya sampaikan yang menolak kehadiran etnis Rohingya di Indonesia. Kalimat tersebut adalah, "Paguyuban Hak Asasi Manusia Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran (PAHAM FH Unpad) mengoreksi pernyataan Hikmahanto Juwana, Guru Besar Hukum Internasional Universitas Indonesia soal pengungsi Rohingnya di Aceh."

Selanjutnya saya keberatan dengan kata dan kalimat yang dikutip oleh Hukumonline dari Guru Besar Unpad dan Siaran Pers PAHAM Unpad yang menganggap pernyataan saya sebagai 'pendapat yang agak fatal' dan meminta agar akademisi 'harus lebih hati-hati berpendapat’. Ini dapat dilihat dalam kalimat, "Pendapat ini agak fatal. Lho, ada prinsip non-refoulement. Mereka terdiskriminasi dan teraniaya di sana,” kata Atip Latipulhayat, Guru Besar Hukum Internasional Universitas Padjadjaran melalui sambungan telepon.

Ini semua seolah ingin menggambarkan saya sebagai akademisi yang asal omong dan tidak berhati-hati dalam menyampaikan pendapat.

Lebih lanjut bila dilihat dalam himbauan pertama dari PAHAM Unpad yang dikutip oleh Hukumonline yaitu "para akademisi diminta tidak berpendapat tanpa dasar keilmuan yang kokoh. Pendapat keliru dari akademisi sangat bisa memengaruhi opini publik”.

Menjadi pertanyaan bagi saya mengapa saat Hukumonline mewawancarai saya, saya tidak diberikan Siaran Pers dari PAHAM Unpad? Bahkan Hukumonline tidak bertanya pada saya apa basis keilmuan atas pendapat saya?

Kedua, Hukumonline juga tidak bertanya pada saya apakah himbauan yang disampaikan oleh PAHAM Unpad merupakan suatu pendapat yang keliru dan telah memengaruhi opini publik?

Setahu saya, masyarakat Aceh telah terlebih dahulu melakulan penolakan sebelum saya menyampaikan pendapat saya di media televisi. Saya hanya mempertegas dan membenarkan tindakan masyarakat Aceh tersebut. Saya sama sekali tidak memengaruhi opini publik, baik di Aceh maupun di Indonesia pada umumnya.

Bagi saya, sekali lagi, perbedaan pandangan antar akademisi merupakan keniscayaan. Pendapat akademisi bisa digunakan oleh pemerintah dan masyarakat untuk menyikapi suatu hal tertentu. Tidak seharusnya seorang akademisi merasa dirinya benar dibandingkan dengan akademisi lainnya. Bahkan akademisi yang berpendapat lain didiskreditkan dan direndahkan sebagai akademisi.

Saya sebagai seorang akademisi yang salah satunya banyak ditanya oleh jurnalis terkait dengan isu 'imigran ilegal' atau 'pengungsi' (tergantung dari perspektif mana melihatnya) direndahkan dengan penggunaan kata 'dikoreksi', 'tidak hati-hati dalam berpendapat', 'menyampaikan pendapat yang fatal', 'tidak memiliki dasar keilmuan yang kokoh' dan 'pendapat keliru.'

Saya menghimbau para akademisi untuk bebas menyampaikan pendapat yang berbasis keilmuan yang dimiliki, meskipun saling bertentangan. Namun pertentangan pendapat tidak seharusnya dilakukan dengan cara merendahkan bahkan menyerang kredibilitas akademisi yang memiliki pandangan yang berbeda.

Etika sebagai akademisi yang saling menghormati harus dipegang teguh.

Prof. Hikmahanto Juwana, SH, LL.M, Ph.D (Guru Besar Hukum Internasional UI).

Tags: