Hakikat Isbat Nikah di Pengadilan Agama
Terbaru

Hakikat Isbat Nikah di Pengadilan Agama

Permohonan pengesahan perkawinan dapat dikabulkan selama memenuhi syarat dan rukun perkawinan sebagaimana diatur peraturan perundang-undangan. Pasal 7 ayat (3) KHI mengatur beberapa alasan untuk dapat mengajukan sidang isbat nikah.

Agus Sahbani
Bacaan 3 Menit
Majelis Hakim PA Soreang yang diketuai Dendi Abdurrosyid saat memeriksa permohonan isbat nikah. Foto: Badilag MA
Majelis Hakim PA Soreang yang diketuai Dendi Abdurrosyid saat memeriksa permohonan isbat nikah. Foto: Badilag MA

Pada 23 Februari 2022 lalu, di Pondok Pesantren Miftahul Ulum Desa Sindangsari, Kabupaten Bandung, Pengadilan Agama Soreang menggelar pengesahan perkawinan (isbat nikah) massal melalui persidangan. Ada sebanyak 19 pasangan suami istri (pasutri) telah mengajukan permohonan dan disidangkan oleh dua Majelis Hakim PA Soreang.

Dari keseluruhan permohonan isbat nikah, terdapat 2 permohonan yang ditolak oleh Majelis Hakim. Alasannya, salah satu atau kedua pemohon baik pihak suami atau istri masih terikat perkawinan dengan orang lain ketika melangsungkan akad nikah, sehingga ada halangan untuk disahkan.

Ketua PA Soreang, Nasich Salam Suharto mengatakan penyelenggaraan isbat nikah massal ini selain bentuk pelayanan kepada masyarakat dalam menguraikan permasalahan hukum perkawinan, hal ini juga wujud penegakan hukum positif PA Soreang sebagai lembaga yudikatif.    

“Permohonan pengesahan perkawinan dapat dikabulkan selama memenuhi syarat dan rukun perkawinan sebagaimana diatur peraturan perundang-undangan. Tidak ada jaminan semua perkara (isbat nikah) yang disidangkan akan dikabulkan,” ujar Ketua PA Soreang, Nasich Salam Suharto saat memberi sambutan dalam acara itu, seperti dilansir laman Badilag MA.   

Pengesahan perkawinan ini umumnya diajukan oleh pasutri yang pernikahannya belum tercatat di Kantor Urusan Agama (KUA) atau pegawai pencatat nikah yang berwenang, salah satunya seperti nikah siri. Sesuai Pasal 2 ayat (2) UU No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, setiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.    

Mengutip Pasal 6 ayat (2) dan Pasal 7 Kompilasi Hukum Islam (KHI), jika menikah secara siri atau tidak tercatat di KUA, pegawai pencatat nikah tidak dapat menerbitkan akta nikah, sehingga perkawinan siri dianggap tidak mempunyai kekuatan hukum. Perkawinan hanya dapat dibuktikan dengan akta nikah yang dibuat pegawai pencatat nikah.   

Untuk itu, pasangan yang menikah siri dapat mengajukan isbat nikah ke Pengadilan Agama. Namun, tidak selamanya isbat nikah disebabkan karena alasan nikah siri.   

Seperti diulas artikel Klinik Hukumonline, dijelaskan fungsi akta nikah selain bukti autentikadanya perkawinan, juga dimaksudkan memberi jaminan perlindunganhukum bagi suami istri serta anak-anak yang dilahirkan mengenai hak dan kewajibannya serta hal-hal yang berkaitan dengan kewarisan.

Isbat nikah adalah pengesahan atas perkawinan yang telah dilangsungkan menurut syariat agama Islam. Akan tetapi tidak dicatat oleh KUA atau Pegawai Pencatat Nikah yang berwenang sebagaimana diterangkan dalam buku Pedoman Pelaksanaan Tugas dan Administrasi Peradilan Agama: Buku II (hal. 153).

Jika permohonan isbat nikah dikabulkan, maka perkawinan dinyatakan sah dan memiliki kekuatan hukum. Sesuai Pasal 7 ayat (4) KHI, pihak-pihak yang dapat mengajukan pemohonan isbat nikah adalah suami istri atau salah satu dari suami atau istri, anak, wali nikah, orang tua, dan pihak yang berkepentingan dengan perkawinan tersebut.

Permohonan diajukan kepada Pengadilan Agama tempat tinggal pemohon dengan menyebutkan alasan dan kepentingan yang jelas. Ada beberapa hal lain yang perlu diperhatikan terkait pengajuan isbat nikah. Pertama, isbat nikah hanya dimungkinkan jika terdapat alasan-alasan yang telah ditetapkan.

Dalam hal ini hanya dimungkinkan jika memenuhi salah satu alasan sebagaimana dijelaskan dalam Pasal 7 ayat (3) KHI sebagai berikut:

  1. adanya perkawinan dalam rangka penyelesaian perceraian;
  2. hilangnya akta nikah;
  3. adanya keraguan tentang sah atau tidaknya salah satu syarat perkawinan;
  4. adanya perkawinan yang terjadi sebelum berlakunya UU Perkawinan; dan
  5. perkawinan yang dilakukan oleh mereka yang tidak mempunyai halangan perkawinan menurut UU Perkawinan.

Kedua, dalam buku yang sama diterangkan isbat nikah sifatnya permohonan kepada Pengadilan Agama, sehingga segala kewenangan mengabulkan atau menolak didasarkan pada kewenangan Pengadilan Agama. Terkait hal ini, perlu diperhatikan hal-hal sebagai berikut (hal. 154–155):

  1. jika permohonan isbat nikah diajukan oleh suami istri, maka permohonan bersifat voluntair dan produknya berupa penetapan. Apabila isi penetapan tersebut menolak permohonan isbat nikah, maka suami dan istri bersama-sama atau suami/istri masing-masing dapat mengajukan upaya hukum kasasi;
  2. jika permohonan isbat nikah diajukan oleh salah seorang suami atau istri, maka permohonan bersifat kontensius dengan mendudukkan suami atau istri yang tidak mengajukan permohonan sebagai pihak termohon. Produk hukumnya berupa putusan dan terhadap putusan tersebut dapat diajukan upaya hukum banding dan kasasi;
  3. Jika dari isbat nikah dalam angka 1 dan 2 tersebut di atas diketahui suami masih terikat dalam perkawinan yang sah dengan perempuan lain, maka istri terdahulu tersebut harus dijadikan pihak dalam perkara. Apabila istri terdahulu tidak dimasukkan, maka permohonan harus dinyatakan tidak dapat diterima.
Tags:

Berita Terkait