Hanung Mengeluh Film Jadi Anak Tiri di Hak Cipta
Berita

Hanung Mengeluh Film Jadi Anak Tiri di Hak Cipta

Perlu pengaturan hukum di bidang hak kekayaan intelektual yang spesifik di bidang perfilman.

HRS
Bacaan 2 Menit
Sutradara Hanung Bramantyo di acara Puncak Peringatan Hak Kekayaan Intelektual se-Dunia ke-14 di Jakarta, Senin (5/5). Foto: RES
Sutradara Hanung Bramantyo di acara Puncak Peringatan Hak Kekayaan Intelektual se-Dunia ke-14 di Jakarta, Senin (5/5). Foto: RES
Sutradara kawakan Indonesia, Hanung Bramantyo mengelihkan perfilman Indonesia belum mendapat perhatian khusus dari pemerintah Indonesia. Hal ini terlihat dari lemahnya hukum Indonesia terkait dengan perlindungan hak kekayaan intelektual di bidang sinematografi.

“Film belum mendapat tempat di negeri ini,” ucap Hanung saat diskusi di acara Puncak Peringatan Hak Kekayaan Intelektual se-Dunia ke-14 di Jakarta, Senin (5/5).

Hanung gusar lantaran dirinya sedang mengalami persoalan hukum terkait perebutan hak cipta atas film Bung Karno beberapa waktu lalu di Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Rachmawati Soekarnoputri –ahli waris Soekarno- mengklaim dirinya adalah pencipta dari film Bung Karno yang digarap Hanung.

Pengadilan Negeri Jakarta Pusat (PN Jakpus) sepakat menyatakan Rachmawati adalah pencipta dari film Bung Karno. Tak terima, Hanung pun mengambil upaya hukum kasasi atas putusan tersebut dan kasus ini tengah ditangani Mahkamah Agung.

Berdasarkan pengalaman itu, Hanung khawatir untuk membuat film-film yang bersifat profil para pahlawan Indonesia, tokoh-tokoh penting Indonesia, atau sejenisnya. Pasalnya, Hanung tidak ingin filmnya dihentikan dan diklaim oleh ahli waris seorang tokoh yang sedang difilmkan profilnya.

“Jangan langsung dengan mudahnya mengklaim kalau ‘saya ahli warisnya’,” ujarnya.

Hanung bingung karena ia juga tidak mengetahui bentuk perlindungan seperti apa yang ditawarkan hukum hak kekayaan intelektual (HKI) atas sinematografi tersebut. Sebagai sebuah karya yang dibuat secara keroyokan, sebuah film mengandung banyak hak cipta. Banyak elemen yang terlibat untuk menghasilkan sebuah film, seperti penulis naskah, kameramen, performance aktor/aktris, musik, dan sutradara.

“Jadi, HKI seperti apa film itu,” lanjutnya.

Atas kondisi ini, Hanung tidak merasa heran jika film import membanjiri pasar Indonesia. Pasalnya, sistem pengaturan tentang film di negara-negara asal pembuat film tersebut dinilai Hanung sudah sangat maju. Dimulai dari sisi seninya hingga sisi pendidikan perfilmanya.

Ia berpendapat pentingnya pengaturan yang komprehensif terhadap perfilman adalah dampak dari film itu sendiri. Suami artis Zaskia Mecca ini mengatakan sebuah film memiliki efek yang sangat besar di masyarakat. Ia pun mencontohkan film Ghost. Film Ghost dengan aktris Demi Moore ini berhasil memukau masyarakat. Mode rambut pendek Demi Moore dalam film tersebut menjadi trendsetter. Banyak masyarakat yang terpengaruh dan meniru gaya rambut Demi Moore di film tersebut.

“Makanya perlu dikontrol karena film itu punya kekuatan sedemikian rupa,” lanjutnya.

Guru Besar Hukum Hak Kekayaan Intelektual Universitas Padjajaran Eddy Damian mengatakan satu film saja memang memiliki banyak hasil karya cipta. Setiap karya cipta tersebut mendapat perlindungan hukum.

“Setiap penggiat film itu punya hak, seperti sutradara, penulis naskah, peran,” ucap Eddy ketika ditanya siapa pencipta atas sebuah film, pada kesempatan yang sama.

Siapapun yang menciptakan sebuah karya cipta dapat disebut pencipta dan hasil karya ini mendapat perlindungan. Namun, Eddy menegaskan bahwa sebuah ide tidak dilindungi hak cipta. Hal yang dilindungi hak cipta adalah perwujudan dari ide itu, bukan ide atas suatu hal.

Ketika ditanya apakah UU Hak Cipta telah cukup melindungi para insan perfilman, Eddy menjawab UU Hak Cipta telah cukup mengatur dan melindungi karya sinematografi.

“Sudah cukup. Sinematografi sudah dilindungi dan ada definisinya di UU Hak Cipta,” tegasnya.
Tags:

Berita Terkait