Hapus Kewenangan PTUN Mengadili Fiktif Positif, UU Cipta Kerja Kembali ‘Digugat’
Utama

Hapus Kewenangan PTUN Mengadili Fiktif Positif, UU Cipta Kerja Kembali ‘Digugat’

Akan terus menjadi pertanyaan, apabila materi muatan UU Cipta Kerja yang masih dinyatakan berlaku dan menimbulkan kerugian hak konstitusional warga negara, tapi materinya tidak dapat diuji konstitusionalitasnya.

Agus Sahbani
Bacaan 4 Menit
Gedung MK. Foto: RES
Gedung MK. Foto: RES

Hilangkan kewenangan Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) mengadili upaya fiktif positif, sejumlah warga negara kembali mempersoalkan UU No.11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja ke Mahkamah Konstitusi (MK). Mereka adalah Viktor Santoso Tandiasa (Pengacara Konstitusi), Muhammad Saleh (Peneliti PSHK UII), dan Nur Rizqi Khafifah (Mahasiswi FH Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia) yang telah mendaftarkan pengujian Pasal 175 angka 6 UU Cipta Kerja pada Rabu (12/1/2022).

“Pada hari ini, Rabu, 12 Januari 2022, Pukul 15.00 WIB, saya Harseto Setyadi Rajah, S.H., mendampingi para pemohon mendaftarkan perkara pengujian materil UU Cipta Kerja ke MK,” ujar Koordinator Kuasa Hukum Para Pemohon, Harseto Setyadi Rajah saat dikonfirmasi Hukumonline, Kamis (13/1/2022).

Harseto mengatakan seperti diketahui dampak berlakunya UU Cipta Kerja banyak menimbulkan banyak persoalan. Salah satunya, hilangnya kewenangan PTUN atas upaya hukum fiktif positif yang sebelumnya diatur Pasal 53 UU No.30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan. Pasal 175 angka 6 UU Cipta Kerja telah mengubah Pasal 53 UU Administrasi Pemerintahan, dimana kewenangan Pengadilan incasu Pengadilan Tata Usaha Negara dihilangkan.

Dia menerangkan Pasal 53 UU Administrasi Pemerintahan menyebutkan permohonan yang diajukan warga negara kepada badan dan/atau pejabat pemerintahan untuk mendapat penetapan dan/atau keputusan dan/atau tindakan tidak dibalas selama 10 hari kerja setelah berkas diterima secara lengkap, maka permohonan itu tersebut dianggap dikabulkan. Tapi dengan mekanisme mengajukan permohonan ke PTUN untuk memperoleh putusan penerimaan permohonan.

Apakah MK masih berwenang?

Namun, dalam UU Cipta Kerja, terhadap permohonan yang diajukan warga negara kepada badan dan/atau pejabat pemerintahan untuk mendapatkan penetapan dan/atau keputusan dan/atau tindakan tidak dibalas selama 5 hari kerja setelah berkas diterima secara lengkap, maka permohonan itu tersebut dikabulkan. Namun tidak jelas mekanisme untuk mendapatkan putusan penerimaan permohonan. Sebab, kata “pengadilan” dalam perubahan Pasal 53 UU Administrasi Pemerintahan sebagaimana diubah dalam Pasal 175 angka 6 UU Cipta Kerja dihilangkan/dihapus.  

“Hal ini menimbulkan kekosongan hukum dan mengakibatkan ketidakpastian hukum yang dialami oleh Para Pemohon,” kata Harseto. (Baca Juga: Perpres Fiktif Positif Belum Terbit, Advokat Ini Gugat Presiden ke Presiden)

Tapi, sebelum MK memeriksa dan memutus permohonan ini, tentunya MK harus menjawab terlebih dulu persoalan keberlakuan/kekuatan hukum materi muatan UU Cipta Kerja Pasca Putusan MK No.91/PUU-XVIII/2020 yang telah menyatakan UU Cipta Kerja inkonstitusional bersyarat (Conditionally Unconstitutional) dengan diberikan waktu 2 tahun bagi pembentuk UU untuk memperbaiki prosedur pembentukan UU Cipta Kerja. 

Persoalannya, satu sisi MK menyatakan UU Cipta Kerja masih dinyatakan berlaku selama tenggang waktu 2 tahun. Sisi lain, terhadap perkara-perkara pengujian materil UU Cipta Kerja, MK pernah memutuskan menyatakan Niet Ontvankelijke Verklaard (NO) atau tidak diterima dengan pertimbangan hukum UU Cipta Kerja telah dinyatakan inkonstitusional bersyarat dan putusan dimaksud mempunyai kekuatan hukum mengikat sejak diucapkan.

Terhadap permohonan pengujian materil tersebut tidak relevan lagi untuk dilanjutkan pemeriksaannya. Sebab, objek permohonan yang diajukan Pemohon tidak lagi sebagaimana substansi undang-undang yang dimohonkan pengujiannya. Karena itu, terhadap permohonan pengujian materil a quo harus dinyatakan kehilangan objek dan permohonan para Pemohon dipandang tidak relevan, sehingga tidak dipertimbangkan lebih lanjut.

“Jadi perkara ini menjadi sangat penting bagi MK untuk memeriksa dan memutus serta menjawab status keberlakuan materi muatan UU No.11 Tahun 2020. Apakah MK masih berwenang menguji materi muatan UU No.11 Tahun 2020 setelah terbitnya Putusan No.91/PUU-XVIII/2020?” (Baca Juga: MK Putuskan 11 Pengujian UU Cipta Kerja Lain Kehilangan Objek)

Menurutnya, akan terus menjadi pertanyaan, apabila materi muatan UU Cipta Kerja yang masih dinyatakan mempunyai kekuatan hukum mengikat (berlaku) dan menimbulkan kerugian hak konstitusional warga negara (para pemohon), tapi materinya tidak dapat diuji konstitusionalitasnya. “Bukankah itu bentuk pelanggaran Konstitusi? UUD Tahun 1945 mengamanatkan kepada MK yang memiliki peran sebagai The Guardian of Constitution, The Protector of Citizens Constitutional Rights, The Protector of Human Rights,” kritiknya.  

Untuk diketahui, Pasal 53 UU Administrasi Pemerintahan sering dipakai warga negara untuk menguji sikap atau tindakan pejabat/badan tata usaha negara termasuk merespons permohonan perizinan hingga jangka waktu tertentu. Jika peraturan tidak menentukan batas waktunya, batas waktu yang disebut maksimal 10 hari kerja sejak permohonan diterima pejabat TUN. Jika pejabat bersangkutan mendiamkan atau tidak merespons permohonan hingga jangka waktu tertentu habis, permohonan dianggap dikabulkan secara hukum. Ini yang lazim disebut fiktif positif. 

Selanjutnya, pemohon dapat mengajukan permohonan ke pengadilan (PTUN) agar badan/pejabat tersebut bersikap atau mengambil keputusan/tindakan. Pengadilan wajib memutuskan paling lama 21 hari kerja sejak permohonan diajukan. Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan wajib menetapkan Keputusan untuk melaksanakan putusan Pengadilan paling lama 5 hari kerja sejak putusan ditetapkan.  

Lembaga fiktif positif adalah kebalikan fiktif negatif yang selama ini dianut UU No. 5 Tahun 1986 tentang Pengadilan Tata Usaha Negara dan dua Undang-Undang perubahannya (terakhir dengan UU No. 51 Tahun 2009). UU PTUN dan perubahannya tersebut menganut prinsip fiktif negatif jika pejabat mendiamkan permohonan warga negara berarti permohonan itu dianggap ditolak. 

Tags:

Berita Terkait