Harapan Pemohon Terkait Pelaksanaan Putusan Uji Formil UU Cipta Kerja
Terbaru

Harapan Pemohon Terkait Pelaksanaan Putusan Uji Formil UU Cipta Kerja

Ada baiknya pemerintah menangguhkan keberlakuan UU Cipta Kerja dan peraturan turunannya, cukup fokus kepada perbaikan UU Cipta Kerja.

CR-28
Bacaan 3 Menit
Kuasa Hukum Pemohon Uji Formil UU Cipta Kerja Viktor Santoso Tandiasa (kiri) dalam Headline Talks Hukumonline bertajuk 'Mengulas Uji Formil UU Cipta Kerja yang Dikabulkan MK', Rabu (1/12/2021). Foto: RES
Kuasa Hukum Pemohon Uji Formil UU Cipta Kerja Viktor Santoso Tandiasa (kiri) dalam Headline Talks Hukumonline bertajuk 'Mengulas Uji Formil UU Cipta Kerja yang Dikabulkan MK', Rabu (1/12/2021). Foto: RES

Mahkamah Konstitusi (MK) telah mengabulkan sebagian pengujian formil UU No.11 Tahun 2020 tentang UU Cipta Kerja. Dalam putusannya, MK menyatakan UU Cipta Kerja dinilai cacat formil karena proses penyusunannya tidak memenuhi asas, metode, baku/standar, sistematika pembentukan peraturan dan inkonstitusional bersyarat dengan menentukan berlakunya UU tersebut maksimal 2 tahun sejak putusan diucapkan pada 25 November 2021.

MK memberi tenggang waktu selama 2 tahun bagi pembentuk UU untuk memperbaiki proses pembentukan UU Cipta Kerja. Bila tidak diperbaiki, UU Cipta Kerja dianggap inkonstitusional permanen. Dalam tenggang waktu 2 tahun itu pula menangguhkan segala tindakan/kebijakan Pemerintah yang bersifat strategis dan berdampak luas, serta tidak dibenarkan menerbitkan peraturan pelaksana baru dari UU Cipta Kerja.

"Ada baiknya pemerintah menangguhkan semua keberlakuan UU Cipta Kerja dan peraturan turunannya, cukup fokus pada (perintah putusan, red) perbaikan itu. Bila pemerintah tidak mau memperbaiki juga tidak apa-apa, maka seluruh UU, pasal, dan materi muatan yang dicabut UU Cipta Kerja akan berlaku kembali,” ujar Kuasa Hukum Pemohon Uji Formil UU Cipta Kerja, Viktor Santoso Tandiasa, dalam Headline Talks Hukumonline bertajuk "Mengulas Uji Formil UU Cipta Kerja yang Dikabulkan MK", Rabu (1/12/2021).

Dia juga berharap kiranya pembentuk UU mendengar suara rakyat atas penolakan UU Cipta Kerja yang masif di seluruh wilayah Indonesia. Karena itu, keberlakuan ataupun perbaikan UU Cipta Kerja tidak perlu dilanjutkan agar menjadi permanen inkonstitusional.

Dalam kesempatan ini, dia menekankan pentingnya berkonstitusi dalam bernegara. Artinya, dalam membentuk peraturan perundang-undangan, Victor kembali mengingatkan pemerintah untuk tetap mengikuti pakem-pakem yang sudah diatur oleh UU No.12 Tahun 2011 sebagaimana diubah dengan UU No.15 Tahun 2019 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.

“Bila mengesampingkan tata cara pembentukan UU itu sama saja terjadi abuse of power oleh pemerintah. Hal ini jelas tidak cocok dengan konteks negara hukum yang dijamin UUD Tahun 1945, Pasal 1 ayat (3),” kata dia. (Baca Juga: Pakar Ini Sebut Keberlakuan UU Cipta Kerja Seharusnya Ikut Ditangguhkan)

Lalu, terhadap eksekusi putusan ini atau mengawal putusan ini sangat banyak yang bisa dilakukan, seperti mengajukan gugatan ke PTUN dalam konteks perbuatan melanggar hukum (Onrechtmatige Overheidsdaad). Dia mencontohkan, satu hari setelah pembacaan putusan, Presiden Jokowi mengeluarkan pernyataan resmi. Di dalamnya Presiden menyatakan bahwa investor tidak perlu takut karena UU Cipta Kerja akan tetap dilaksanakan dan dijalankan. Pernyataan ini menjadi kontradiktif dengan amanat putusan MK yang berfokus pada perbaikan dan bukan pelaksanaan UU Cipta Kerja.

"Ini yang kalau dari pendapat saya, dapat masuk dalam konteks perbuatan melanggar hukum yang dilakukan oleh badan atau pejabat pemerintahan. Dalam hal ini, Presiden karena membuat pernyataan yang tidak sesuai dengan amar putusan MK. Ini yang sebenarnya kalau pemerintah pusat maupun daerah jika tidak berhati-hati menyikapinya akan banyak gugatan-gugatan perbuatan melanggar hukum dengan dasar Perma Nomor 2 Tahun 2019 terkait PMH oleh badan/pejabat pemerintahan ke PTUN.”  

Viktor menegaskan ketika MK sudah memberikan satu amanat, maka itu sudah sama dengan hukum. Artinya, jika tidak dilaksanakan atau bahkan dilanggar oleh pemerintah, maka itu sudah masuk dalam konteks perbuatan melanggar hukum yang bisa diajukan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara. “Itu sebagai bentuk kontrol terhadap pelaksanaan putusan MK ini,” katanya.

Permohonan bernomor 91/PUU-XVIII/2020 ini diajukan Hakiimi Irawan Bangkid Pamungkas (karyawan/mantan pekerja PKWT); Muchtar Said; Ali Sujito (mahasiswa); Anis Hidayah (Migrant Care); Badan Koordinasi Kerapatan Adat Nagari Sumatera Barat; dan Mahkamah Adat Alam Minangkabau.  

Mereka menilai proses pembentukan UU Cipta Kerja sejak pembahasan, persetujuan bersama, hingga pengesahan oleh Presiden pada 2 November 2020 melanggar Pasal 20 ayat (4) UUD 1945 dan asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik sebagaimana diatur Pasal 5 huruf c, huruf f, huruf g, dan Pasal 72 ayat (2) UU No.12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan sebagaimana diubah dengan UU No.15 Tahun 2019 sebagai amanat Pasal 22A UUD 1945.

Seperti asas kejelasan tujuan; kedayagunaan dan kehasilgunaan; kejelasan rumusan; keterbukaan; dan berubah-ubahnya UU Cipta Kerja baik sisi jumlah halaman maupun diduga substansinya. Menurut pemohon, adanya perubahan substansi RUU Cipta Kerja setelah persetujuan bersama DPR dan Presiden melanggar tahapan pembentukan peraturan perundang-undangan. Untuk itu, Pemohon meminta MK menyatakan pembentukan UU Cipta Kerja tidak memenuhi ketentuan pembentukan UU berdasarkan Pasal 22A UUD Tahun 1945.      

Tags:

Berita Terkait