Histori Kehormatan Profesi Advokat yang Mulai Padam
Fokus

Histori Kehormatan Profesi Advokat yang Mulai Padam

Jangan seorang advokat menjadikan kekayaan sebagai tujuan. Kisah ini kembali mengulik perjalanan advokat sebagai sebuah profesi terhormat dan membanggakan.

Novrieza Rahmi
Bacaan 2 Menit

 

"Profesi bukanlah sekadar lapangan kerja tempat pencaharian nafkah, profession tidaklah sama dengan occupation. Yang disebut profesi itu selalu ditandai oleh adanya (a) Kegiatan pelayanan jasa atas dasar pembayaran upah atau honoraria; (b) Penggunaan kecakapan teknis yang tinggi, dan karenanya harus didahului oleh suatu pendidikan khusus yang formil; dan (c) Landasan kerja yang idiil dan disokong oleh cita-cita ethis masyarkat. Punt (c) inilah yang terutama membedakan profesi dari lapangan pencaharian nafkah biasa".

 

Sementara, Delma Juzar kala itu berpendapat belum ada suatu dalil yang jelas mengenai apa yang disebut dengan profesi hukum. Namun, ditinjau dari sudut yang menjadi asumsi dari pembicaraan-pembicaraan seminar hukum yang lalu, maka ia menganggap tepat kiranya mendefinisikan profesi hukum sebagai kegiatan dalam bidang hukum setelah persiapan akademis secara berlandaskan syarat-syarat etika yang berlaku.

 

Terlepas dari perbedaan definisi yang muncul, diskusi mengenai profesi advokat yang digelar cabang-cabang PERADIN di Jawa Tengah itu akhirnya membuahkan sebuah piagam bernama Piagam Baturaden. Piagam ini ditandatangani oleh Ketua-Ketua PERADIN cabang Yogyakarta-Solo dan Semarang pada tanggal 27 Juni 1971.

 

No

Delapan Inti Piagam Baturaden

1

Harus ada ilmu (hukum) yang diolah di dalamnya

2

Harus ada kebebasan. Tidak boleh ada hubungan dinas (dienst verhounding) atau hierarchis

3

Harus mengabdi kepada kepentingan umum. Mencari kekayaan tidak boleh menjadi tujuan

4

Harus ada clienten-verhounding, yaitu hubungan kepercayaan antara advokat dan client

5

Harus ada kewajiban merahasiakan informasi yang diterima dari client. Akibatnya : advokat harus dilindungi haknya merahasiakan informasi yang diterima dari client

6

Harus ada immunitet (hak tidak boleh dituntut) terhadap penuntutan-penuntutan tentang sikap dan perbuatan yang dilakukan di dalam pembelaan

7

Harus ada code ethica dan peradilan code ethica oleh suatu Dewan Kehormatan

8

Boleh meneria honorarium yang tidak perlu seimbang dengan hasil pekerjaan atau banyaknya usaha atau jerih payah, pikiran yang dicurahkan di dalam pekerjaan itu. Orang tidak mampu harus ditolong cuma-cuma dan dengan usaha yang sama

Sumber: Buku "Profesi Advokat" (Soemarno P Wijrjanto, 1979)

 

Dalam perkembangannya, advokat memang menjadi suatu profesi di Indonesia. Advokat juga pernah memiliki wadah tunggal, yaitu Perhimpunan Advokat Indonesia (PERADI) walau kini terpecah-pecah menjadi tiga kubu: Fauzie Hasibuan, Juniver Girsang, dan Luhut MP Pangaribuan. Selain itu, sebagai profesi, tentu advokat memiliki kode etik.

 

Kode Etik Advokat Indonesia disahkan pada 23 Mei 2002 oleh tujuh organisasi profesi advokat yang tergabung dalam Komite Kerjasama Advokat Indonesia (KKAI), yaitu Ikatan Advokat Indonesia (IKADIN), Asosiasi Advokat Indonesia (AAI), Ikatan Penasihat Hukum Indonesia (IPHI), Asosiasi Konsultan Hukum Indonesia (AKHI), Himpunan Konsultan Hukum Pasar Modal (HKHPM), Serikat Pengacara Indonesia (SPI), dan Himpunan Advokat & Pengacara Indonesia (HAPI).

 

Jatuh Bangun Mengangkat "Derajat" Advokat

Melihat perjalanan panjang advokat menjadi sebuah profesi, sudah sepantasnya apabila para advokat berpikir ulang untuk melakukan tindakan-tindakan yang bertentangan dengan kode etik dan hukum. Jangan sampai citra advokat semakin tercoreng akibat ulah segelintir orang. Ingat Piagam Baturraden: "janganlah menjadikan kekayaan sebagai tujuan".

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait