Hubungan Industrial Ibarat Ikatan Perkawinan
Berita

Hubungan Industrial Ibarat Ikatan Perkawinan

Kepercayaan menjadi kata kunci terbinanya hubungan industrial yang harmonis. Terjalin dalam ‘akad nikah’ berupa perjanjian kerja bersama.

CR-12
Bacaan 2 Menit
Perkara di PHI dapat berkurang jika hubungan pekerja dan pengusaha harmonis. Foto: SGP
Perkara di PHI dapat berkurang jika hubungan pekerja dan pengusaha harmonis. Foto: SGP

Perselisihan hubungan industrial dapat diantisipasi atau bahkan dikurangi bila pekerja dan pengusaha masing-masing melaksanakan hak dan kewajibannya sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku.

 

Kesepakatan perjanjian kerja dapat digunakan sebagai instrumen untuk mewujudkan hubungan industrial yang harmonis, dinamis dan berkeadilan. “Hubungan industrial itu seperti hubungan suami–istri,” ujar Retno Wulandari, Kasubdit Analisis Diskriminasi Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi, dalam sebuah diskusi yang diselenggarakan Serikat Pekerja Birotika Semesta DHL (SPBS DHL), Jumat (28/10) di Jakarta.

 

Retno menitikberatkan pada pentingnya Perjanjian Kerja Bersama (PKB). Pasalnya, dalam PKB itulah kesepakatan-kesepakatan kerja dibangun secara demokratis karena didalamnya termaktub kepentingan pengusaha dan pekerja.

 

Ia juga menyadari tidak sedikit permasalahan yang terjadi di lapangan terkait penyusunan PKB. Sebagin besar masalah yang terjadi, berpangkal pada tidak adanya rasa saling percaya. Dimana pengusaha tidak percaya bahwa PKB akan membuat pekerja lebih bersemangat dalam bekerja. Sedangkan pekerja tidak percaya kepada pengusaha karena menilai pengusaha tidak akan memenuhi tuntutan pekerja.

 

Seperti kasus perselisihan hubungan indsutrial yang dihadapi Serikat Pekerja PLN (SP PLN), Serikat Pekerja Bank Swadesi Club (SPSC) dan lainnya. Perselisihan mereka bermula dari rencana pembentukan PKB. Sampai akhirnya terjadi mutasi, penurunan gaji dan bahkan PHK sepihak.

 

Sekjen Organisasi Pekerja Seluruh Indonesia, Timbul Siregar dalam kesempatan yang sama mengamini pemaparan Retno. Menurutnya PKB harus mengakomodir kepentingan kedua belah pihak. Dalam pembentukannya, harus ditulis secara rinci dan jelas agar tidak menimbulkan multitafsir di kemudian hari. “Membuat PKB itu jangan terburu-buru, jangan juga terlalu lama, harus dibuat rinci,” tutur Timbul.

 

Menurut Timbul adanya multitafsir dalam PKB akan menyulitkan pengusaha ataupun buruh dalam pelaksanaannya di lapangan. Ia mengakui menemukan banyak kasus seperti ini di PHI Jakarta. “Jadinya multitafsir, pengusaha maksudnya begini, pekerja maksudnya begitu, ya nggak ketemu.”

Tags: