Sayangnya, keberhasilan negara berkembang dalam mengubah wajah hukum internasional di atas masih dalam tataran konsep, tidak pada tataran implementasinya.
Secara tidak sadar apa yang dilakukan oleh negara berkembang dalam mengubah prinsip res communis menjadi common heritage of all mankind telah menggunakan tiga metode yang diperkenalkan oleh para pemikir CLS. Pertama, negara berkembang telah melakukan trashing dengan mengatakan bahwa prinsip res communis bukanlah prinsip yang universal yang diikuti oleh masyarakat internasional modern. Prinsip res communis hanya berpihak pada negara maju yang notabene adalah negara yang memiliki modal, keahlian, dan teknologi.
Selanjutnya, negara berkembang melakukan deconstruction terhadap prinsip res communis dengan mengatakan bahwa prinsip tersebut hanya menguntungkan negara maju saja. Dalam argumentasi negara berkembang, manfaat dari wilayah bersama seharusnya tidak dinikmati terbatas pada mereka yang mempunyai kemampuan untuk mengeksploitasi saja, melainkan oleh seluruh umat manusia. Oleh karenanya, prinsip res communis sudah selayaknya ditinggalkan.
Teknik genealogy juga diterapkan dengan mengungkapkan bahwa negara maju dalam sejarah telah banyak mengeksploitasi sumber daya alam yang terdapat dalam wilayah bersama tanpa memperhatikan kepentingan dari negara lain di dunia. Oleh karenanya, sudah saatnya prinsip tradisional tersebut diganti, sehingga tidak diskriminatif terhadap negara yang tidak memiliki teknologi, modal, dan keahlian.
Prof. Hikmahanto Juwana, SH, LLM, Phd. adalah pakar hukum internasional dan pengajar di Fakultas Hukum Universitas Indonesia.
Artikel ini (bagian I) cuplikan dari pidato berjudul "Hukum Internasional dalam Konflik Kepentingan Ekonomi Negara Berkembang dan Negara Maju". Naskah ini dibacakan pada upacara pengukuhan Hikmahanto Juwana sebagai guru besar tetap dalam Ilmu Hukum Internasional Fakultas Hukum Universitas Indonesia pada 10 November 2001.