I Dewa Gede Palguna:
Apa yang Telah Kita Perjuangkan, Hancur dalam Satu Detik
Profil

I Dewa Gede Palguna:
Apa yang Telah Kita Perjuangkan, Hancur dalam Satu Detik

Kata Pak Laica: “Menitik Air mata saya, young brother.”

Oleh:
ALI/RFS (HOLE)
Bacaan 2 Menit

Iya, tapi dulu tak masalah?
Ini kan upaya preventif. Upaya ini harus diikuti dengan seleksi yang lebih ketat. Itu lebih bagus. Barangkali memang syarat tujuh tahun kalau dianggap berat, ini akan bisa tereleminasi sedikit, apabila tim independen yang menyeleksi itu benar-benar diberi kewenangan besar melakukan seleksi secara penuh sampai membuat semacam prioritas atau urutan.

Jadi, kalau seleksi sudah ketat, bisa juga.

Karena sebenarnya, akhirnya nanti kan ada atau urusan kaitan dengan parpol itu juga akan dengan sendirinya, tak akan terlalu berpengaruh karena putusan hakim kan harus pleno, sembilan hakim. Jadi kalau dia lain sendiri, akan tampak. Dia dissenting sendiri. Dibaca terbuka dan wajib tertulis dalam putusan.

Saya lebih melihat syarat tujuh tahun itu, walau saya setuju, sebagai psikologis saja. Dulu pernah ada yg kritik kami, ini tiga dari presiden, tiga dari DPR, tiga dari MA. Lalu, dilihat putusannya memihak kemana, ternyata tidak. Ini acak. Nggak bisa dilihat. Yang kelihatan adalah madhzab hakimnya. Misalnya, Pak Maruarar menurut pandangan orang dia yang seharusnya lebih legalistik karena dia hakim karier, tapi ternyata terbalik (Maruarar lebih progresif).

Di Jerman, afiliasi hakim terpilih tampak kok. Kalau nggak dia sosial demokrat, atau kristen demokrat. Tapi dalam putusannya, tak bisa lagi dilihat itu. Kita kan mau menuju kesana juga. Bagi saya. Kalau syarat itu ada, saya oke, kalau pun tak ada ya tak masalah juga. Itu masalah psikologis saja.

Menurut Anda, beda MK sekarang dengan yang lalu apa?
Sekarang kewenangan MK ditambah dengan menangani sengketa pemilukada. Sehingga, seperti yang ditulis Prof Saldi Isra justru tampak, putusan MK untuk kewenangan yang seharusnya menjadi mahkotanya dalam hal ini pengujian undang-undang, justru dilihat banyak orang menjadi menurun (kualitasnya).

Saldi mengatakan kalau dulu membaca pertimbangan hukum pengujian undang-undang itu, mereka seperti baca disertasi.

Saya nggak tahu sekarang bagaimana. Saya tak pernah tanyakan khusus. Tapi, waktu kami dahulu, terutama untuk perkara pengujian undang-undang yang menurut kami serius, itu bisa sampai empat atau lima kali kami ini brainstorming. Diskusinya panjang di rapat permusyarawatan hakim. Itu belum mengambil putusan. DIskusi dulu.

Anda boleh tanya panitera yang sekarang. Masing-masing hakim bawa bukunya, bawa bukunya masing-masing. Pak Natabaya bawa buku ini. Semua argumen intelektual muncul dalam perdebatan itu. Misalnya, ketika kami putus UU Ketenagalistrikan yang bikin geger itu karena munculnya ultra petita. Itu perdebatan panjang sekali. Kita gunakan teleconference untuk pertama kali. Ahli ada yang dari inggris dan AS. Begitu seriusnya kami dulu membuat putusan.

Saya menduga hal seperti itu porsinya berkurang. Kalau pun niat itu ada, kan diganggu dengan perkara pilkada ini. PUU menjadi seolah-olah “tersisih”, padahal itulah kewenangan utamanya. Di seluruh dunia itu, kewenangan MK yang selalu ada adalah pengujian undang-undang. Kalau kewenangan lain itu tambahan. Kewenangan pengujian undang-undang selalu ada di MK sedunia.

Jadi, menurut Anda, kewenangan Sengketa Pilkada itu tak perlu ditangani MK?
Pikiran saya legalistik. Karena Pasal 22E itu disebutkan bahwa pemilihan umum dilakukan untuk memilih anggota DPR, DPRD, DPD. Tapi kan teman-teman di DPR memasukan istilah pemilukada.

Tags:

Berita Terkait