I Ktut Sudiharsa:
Pembentukkan Tim Etik Langgar Hak Asasi Saya
Profil

I Ktut Sudiharsa:
Pembentukkan Tim Etik Langgar Hak Asasi Saya

Acuan pembentukannya tidak jelas, hukum acara persidangan pelanggaran kode etiknya pun belum ada.

IHW
Bacaan 2 Menit
I Ktut Sudiharsa, percakapannya dengan Anggodo Widjojo<br>berbuntut panjang. Foto: Sgp
I Ktut Sudiharsa, percakapannya dengan Anggodo Widjojo<br>berbuntut panjang. Foto: Sgp

Rekaman pembicaraan antara Anggodo Widjojo dengan beberapa pihak yang diputarkan di Mahkamah Konstitusi, 3 November lalu menggegerkan dunia hukum Indonesia. Betapa tidak, Anggodo yang adik buronan KPK, Anggoro Widjodo kedapatan berbincang dengan sejumlah aparat penegak hukum, mulai dari kepolisian dan kejaksaan.

Lembaga penegak hukum lain yang kena getah kasus ini adalah Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK). Lembaga yang baru dilahirkan berdasarkan UU No. 13 Tahun 2006 dan belum lama berdiri ini terseret dalam pusaran polemik kasus. Apalagi sejumlah tokoh sentral dalam kasus meminta perlindungan kepada LPSK.

Rupanya, komisioner LPSK pun ikut terseret karena namanya disebut-sebut dalam rekaman. Dialah I Ktut Sudiharsa. Ktut yang juga Wakil Ketua LPSK ini terekam berbincang dengan Anggodo untuk membicarakan masalah perlindungan hukum bagi Anggoro. Dalam percakapan itu, Ktut juga menyebut-nyebut nama Myra. Lantaran mereka berbincang tentang perlindungan, sangat mungkin yang dimaksud adalah Myra Diarsi. Myra adalah komisioner yang mengurusi perlindungan.

Tak ayal lagi, LPSK pun kebakaran jenggot. Selang dua hari pasca pemutaran rekaman di Mahkamah Konstitusi, komisioner LPSK menggelar rapat paripurna untuk meminta klarifikasi Ktut dan Myra. Hasilnya, LPSK masih memberi kesempatan kepada Ktut dan Myra untuk memberi klarifikasi secara tertulis. Selain itu, LPSK juga mengaku akan menunggu rekomendasi dari Tim Verifikasi (Tim Delapan).

Pada 17 November, Tim Verifikasi menyampaikan laporan dan rekomendasinya kepada Presiden. Tim Verifikasi juga mengungkapkan kepada publik ringkasan dari laporan dan rekomendasinya.

Memenuhi janjinya, LPSK menindaklanjuti rekomendasi Tim Verifikasi. Senin (23/11) siang, LPSK kembali menggelar rapat paripurna. Awalnya, seluruh komisioner yang berjumlah tujuh orang itu menghadiri rapat. Namun di tengah perjalanannya, Ktut dan Myra dikabarkan melakukan ‘walk out’. Aksi keduanya tak membatalkan rapat. Rapat paripurna tetap berlangsung.

Usai rapat paripurna, LPSK menggelar konferensi pers dengan menyatakan akan membentuk Tim Etik untuk memeriksa dugaan pelanggaran kode etik yang dilakukan Ktut dan Myra. Selama Tim Etik bekerja, Ktut dan Myra akan dibebastugaskan dari jabatannya.

Ktut lahir di Mataram pada 20 November 1956. Menyelesaikan pendidikan sarjana hukum di Universitas Islam Yogyakarta pada 1983. Program magister di bidang kriminologi ia tuntaskan di Universitas Indonesia pada 2004. Sebelum menjejakkan kaki di LPSK, Ktut mengabdi di Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK).

Ktut mengaku tidak terima dengan keputusan itu. Menurut dia, apa yang dilakukan koleganya di LPSK seolah menunjukkan bahwa mereka tak mengerti hukum. Ia juga membeberkan alasan mengapa dirinya keluar dari rapat paripurna 23 November. Ktut juga menyesalkan besarnya intervensi LSM dalam kasus ini.

Untuk mengetahui lebih dalam, berikut wawancara hukumonline dengan Ktut yang dilakukan melalui telepon, Senin (23/11). Wawancara ini dilakukan sebelum Presiden SBY mengumumkan sikapnya atas rekomendasi Tim Verifikasi (Tim Delapan):

Bagaimana tanggapan Anda tentang pembentukkan Tim Etik oleh LPSK?

Keppres No. 31 Tahun 2009 tentang Pembentukkan Tim Delapan (maksudnya Tim Independen Verifikasi Fakta dan Proses Hukum yang dipimpin Adnan Buyung Nasution –red) itu dasar hukumnya adalah Pasal 4 Ayat 1 UUD 1945. Itu artinya kewenangan yang melekat kepada Presiden. Selain itu dasar hukumnya adalah KUHAP. Artinya harus melalui prosedur hukum, terutama hukum acara pidana.

Kewajiban Tim Delapan adalah melaporkan rekomendasi kepada presiden. Tim Delapan tidak berkewajiban melaporkan rekomendasi itu kepada siapapun, kecuali kepada Presiden. Dengan demikian, laporan yang diakui adalah laporan kepada tim presiden. Di luar itu tidak diakui. Dengan demikian, apa pun keputusan yang dihasilkan lembaga negara yang tidak mengindahkan Presiden, maka itu namanya tidak etis. Karena melangkahi presiden. Dibentuknya Tim Delapan itu adalah dalam rangka menyelesaikan masalah ini secara hukum. Kok ada yang berani melampaui hal itu. Itu sudah ngaco benar.

Rekomendasi Tim Delapan itu tak pernah sampai ke tangan LPSK?

Tidak pernah itu. Saya tadi (dalam rapat paripurna) tanyakan hal itu (LPSK mendapat rekomendasi Tim Delapan itu dari mana). Semua (komisioner LPSK yang hadir) bingung. Artinya memang (LPSK) tidak pernah mendapat laporan dan rekomendasi Tim Delapan. Karena ya itu tadi. Dasarnya jelas. Angka delapan dari Keppres No. 31 Tahun 2009 itu tegas menyebutkan kewajibannya Tim Delapan adalah melaporkan kepada presiden.

Bagaimana dengan hasil pemeriksaan Anda di Tim Delapan?

Saya itu tidak pernah dipanggil Tim Delapan lho. LPSK katanya pernah dipanggil Tim Delapan, makanya saya berangkat ke sana (Tim Delapan) karena saya juga anggota LPSK. Nah dalam kesempatan itu saya klarifikasi. Bahkan secara tertulis juga. Tapi, dalam rekomendasi Tim Delapan, LPSK diabaikan. Di dalam uraian fakta Tim Delapan itu sama sekali tak dimasukkan soal LPSK. Tapi tiba-tiba (ada) rekomendasi. Ini yang namanya konklusi tanpa premis. Secara logika hukum itu sudah salah.

Artinya, menurut Anda pembentukkan Tim Etik oleh LPSK tak berdasar?

Makanya dia (LPSK) itu sama dengan menghina Tim Delapan. Menghina Presiden karena mengambil tindakan terlebih dulu sebelum Presiden (bersikap atas rekomendasi Tim Delapan). Sebagai lembaga negara yang di bawah Presiden harusnya seperti Kapolri yang tidak berani berpendapat sebelum Presiden ngomong. Jaksa Agung bilang menunggu Presiden. Semua menunggu presiden. Makanya tindakan ini adalah keberanian yang luar biasa.

Yang lucu lagi, kan tadi saya tanya tentang tanggal-tanggal petisi anggota LPSK. (Petisi) itu semua (dilakukan) sebelum ada rekomendasi. Tanggal 12 dan tanggal 16. Itu menunjukkan bahwa mereka mengingkari keputusan Ketua LPSK. Sebelumnya Ketua LPSK pada 5 November 2009 sudah mengumumkan akan menindaklanjuti rekomendasi Tim Delapan. Tapi ternyata Pak Teguh dan Pak Sindhu membuat petisi sendiri sebelum adanya rekomendasi.

Apa isi petisi itu?

Untuk meng-kode etik-kan saya. Padahal belum ada rekomendasi saat itu kan? Bahkan hingga sekarang secara formal Tim Delapan belum memberikan rekomendasi kepada LPSK.

Bagaimana pengaturan Kode Etik di LPSK?

Sebagai orang hukum, kita tahu bahwa hukum terdiri dari material dan formal, atau materiil dan formil kan? Nah, Kode Etik di LPSK itu yang ada baru materil. Yang formil belum ada. Ilustrasinya begini. Kamu kalau ada KUHP tapi belum ada KUHAP, bisa nggak menghukum orang? Tentu nggak bisa. Karena KUHAP itu dibentuk untuk melaksanakan KUHP. Jadi secara teori pembuktian itu sudah salah. Melanggar konstitusi dan melanggar HAM.

LPSK menyatakan Tim Etik untuk kasus ini bersifat adhoc. Jadi hukum acara yang digunakan sifatnya juga adhoc?

Kewenangan adhoc-nya dari mana? Kalau kamu baca UU No. 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban, di sana ada Pasal 24 huruf e yang mengatur tentang perbuatan tercela sebagai salah satu alasan pemecatan anggota LPSK. Kemudian diikuti dengan Peraturan Presiden No. 30 Tahun 2009, di sana dijelaskan untuk pelaksanaannya dibutuhkan Peraturan LPSK. Jangankan hal itu. Coba lihat saja kode etiknya. Itu tidak sah.

Kenapa tidak sah?

Ini nantilah. Yang jelas, jika kode etik itu sah saja sudah tidak ada manfaatnya. Apa lagi kalau tidak sah.

Peraturan LPSK yang pertama kali dibuat adalah peraturan tentang Pemilihan Ketua dan Wakil Ketua LPSK. Peraturan itu dibuat dan ditandatangani oleh tujuh orang komisioner. Sama dengan keputusan pemberian perlindungan kepada teman-temannya Anggodo dan Anggoro, yang ditandatangani oleh enam orang komisioner. Begitu seharusnya pembuatan keputusan di LPSK. Kalau hanya dibuat dan ditandatangani oleh satu orang, ya tidak sah.

Tanggapan Anda tentang penonaktifan dari jabatan tapi bukan penonaktifan sebagai anggota?

Jabatannya Bu Myra itu keputusannya siapa? Kan sampai sekarang belum ada. Anda sadar tidak kenapa Renstra (Perencanaan Strategis-red.) LPSK belum jalan, karena belum adanya organisasi. Organisasi itu ya jabatan masing-masing kelima orang komisioner itu.

Kalau jabatan saya sebagai Wakil Ketua itu berdasarkan Keputusan Pemilihan Ketua dan Wakil Ketua LPSK. Kalau mau mencabut saya, harus mencabut kedua-duanya. Kalau mau mengganti saya, harus mengganti sesuai hukum. Makanya saya merasa berada di lingkungan yang tak mengerti hukum. Saya kecewa sekali.

Kekecewaan itu yang membuat Anda dan Myra Diarsi keluar dari rapat paripurna sebelum selesai?

Saya keluar begitu akan mengatur tentang (pembentukkan Tim Etik) itu. Sebelumnya saya sudah menjelaskan semuanya. Tapi ketika pembicaraan mengarah ke masalah etik itu, saya yakin pasti akan ada pemungutan suara. Pasti saya kalah kan? Anda harus tahu kalau kebenaran itu tidak bisa (melalui) demokratis. Politik bisa menerapkan demokratis. Ini masalahnya bukan politik. Makanya saya pergi. Saya nggak mau ikut-ikut. Kalian mau masuk jurang atau tidak, tak ada urusan. Tetapi yang paling saya sesalkan, LPSK tidak lagi independen.

Kenapa tidak independen?

Karena dia membawa surat dari Koalisi Perlindungan Saksi dan Korban, yang di situ ada Danang (Widoyoko dari ICW), ada lima orang yang bisa memaksa tujuh orang (komisioner LPSK). Itu gila banget. Itu tidak independen. Berani melangkahi presiden hanya karena lima orang itu.

Saya sangat kecewa karena sejak 2008 saya memperjuangkan LPSK dengan setengah mati. Dari segi materil saat itu, kami dibantu oleh Komnas HAM. Bukan Koalisi itu. Belum ada biaya negara sama sekali itu. Ibaratnya mereka itu seperti kacang lupa pada kulitnya. Begitu saya masuk bulan Januari, tidak ada gaji. Setelah lima bulan akhirnya bergaji lagi. Anda bayangkan, saya pergi ke Bandung, memberikan perlindungan untuk pertama kalinya dengan biaya sendiri, tanpa biaya dari negara. Dan itu dianggap tidak artinya.

Tadinya saya mau pergi. Tapi begitu saya diserang, saya mau mempertahankan terlebih dulu. Saya bertahan dulu untuk menghadapi tantangan.

Kembali ke penonaktifan, apakah Keppres mengatur hal itu mengingat UU No. 13/2006 tak mengenal istilah non-aktif seperti di UU KPK?

Benar sekali. Undang-Undang Perlindungan Saksi dan Korban tak mengenal istilah itu. Demikian pula dengan Perpres No. 30 Tahun 2009 tentang Tata Cara Pengangkatan dan Pemberhentian Anggota LPSK.

Pasal 6 Ayat (4) Keppres itu menyebutkan tata cara pemeriksaan. Jadi sebelum diberhentikan kan harus ada pemeriksaan, di atur dalam Peraturan LPSK. Nah ini belum ada peraturannya. Lha wong Keppresnya baru disahkan pada 18 November 2009. Dan di sini tak dikenal non-aktif, yang ada hanya pemberhentian.      

Selain pembentukkan Tim Etik, LPSK berencana akan menindaklanjuti rekomendasi Tim Delapan tentang reformasi kelembagaan. Menurut Anda?

LPSK mana bisa direformasi? Apanya yang mau direformasi? Orangnya ada tujuh. Yang direformasi pasti seluruh organisasi. LPSK belum punya organisasi, belum punya birokrasi dari segi personil. Struktur yang lima komisioner dengan fungsi-fungsinya itu belum disahkan. Makanya tadi saya bilang renstra LPSK belum berjalan.

Kalau mau direformasi soal budaya terkait dengan apa yang saya lakukan (dalam kasus Anggodo-Anggoro ini), itu sudah saya utarakan pada waktu fit and proper test di DPR. Saat itu saya menjelaskan, “Teroris pun bisa saya lindungi.” Teroris yang bersaksi di LPSK yang menceritakan soal rencana teroris lain di Indonesia misalnya, akan saya lindungi. Karena teroris yang satu ini akan sangat berharga untuk mengungkap teroris yang lain.

Nanti setelah teroris-teroris yang lain sudah dihukum, baru kita akan menjatuhi dengan memberi keringanan kepada teroris yang sudah melaporkan ini. Nah, kalau tindakan saya ini salah, mau dibawa kemana LPSK? Menurut saya LPSK harus berani. Seorang anggota LPSK harus siap berdiri dengan dua kaki. Satu kaki di kuburan, satu lagi di penjara. Tidak ada rasa takut.

Bagaimana upaya Anda selanjutnya menghadapi Tim Etik?

Saya tidak mau mundur. Kita lihat nanti. Berani tidak Tim Etik itu. Saya akan hadapi mereka dengan cara saya. Dengan cara beracara. Supaya lebih obyektif, saya pakai pengacara. Kalau tidak, ya saya sendiri. Saya juga ngerti kok.

Tags: