ICJR: Rencana Regulasi Harus Lebih Progresif
Berita

ICJR: Rencana Regulasi Harus Lebih Progresif

Hutang pemerintah sektor regulasi pidana harus dituntaskan.

YOZ
Bacaan 2 Menit
Foto: www.icjr.or.id
Foto: www.icjr.or.id
Pemerintah lewat Bappenas telah mengeluarkan daftar rekapitulasi Kerangka Regulasi Jangka Menengah 2015-2019 dan rencana regulasi pada 2015. Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) menilai ada 21 rancangan UU baru maupun revisi yang berhubungan dengan reformasi hukum pidana dan sistem peradilan pidana.

Direktur Eksekutif ICJR, Supriyadi Widodo Eddyono, mengatakan ada beberapa rancangan yang sangat krusial, seperti Revisi KUHP dan KUHAP, Revisi UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Penyusunan dan penetapan UU yang mengatur tentang perampasan aset, Penyusunan dan penetapan UU tentang Pembatasan Transaksi Tunai, sampai dengan PP dan Perpres turunan dari UU yang sudah berlaku seperti PP dan Perpres UU Sistem Peradilan Pidana Anak (SPPA).

“Dari kerangka regulasi jangka menengah 2015-2019 dan tahun 2015 tersebut, ICJR melihat ada beberapa catatan yang harus diperhatikan,” katanya, Senin (8/12).

Secara umum dalam aspek reformasi hukum pidana nasional, program legislasi pemerintah di atas umumnya merupakan hutang lama dari pemerintahan SBY. Peraturan yang diusung di 2015 tidak banyak berubah dari 2014. Bahkan hutang pemerintah merupakan yang paling besar untuk membentuk peraturan terutama yang berada di bawah UU.

“Karena ada beberapa undang-undang di sektor pidana yang terlambat di bentuk peraturan organiknya di  bawah UU,” ujarnya.

Namun ada ada beberapa regulasi penting yang justru tidak masuk dalam daftar pemerintah, yakni RUU ratifikasi statuta Roma, RUU ratifikasi konvensi penghilangan paksa, RUU Anti penyiksaan, RUU tentang OPCAT dan lain lain, beberapa RUU tersebut sangat penting dalam reformasi sektor Pidana Indonesia.

Supriyadi menyayangkan tidak masuknya beberapa rancangan penting dalam rencana pemerintah tersebut, seperti RUU anti penyiksaan. Untuk isu ini, Indonesia menjadi sorotan dunia, padahal inisiatif sebetulnya sudah mulai diambil oleh Kementerian Hukum dan HAM dan Kementerian Luar Negeri.

Peraturan lain seperti peraturan pelaksana dari UU No.31 Tahun 2014 tentang Perubahan atas UU No.13 Tahun 2006 tentang perlindungan Saksi dan Korban, tidak satupun aturan yang menyinggung mengenai peraturan pelaksana dari UU No.31 tahun 2014 tersebut, padahal aspek perlindungan saksi dan korban memiliki pengaruh besar dalam menyokong reformasi hukum pidana dan sistem peradilan pidana.

Khusus untuk Revisi Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), yang merupakan tulang punggung utama dari reformasi hukum pidana dan peradilan pidana di Indonesia, ICJR mendorong agar pemerintah dan DPR membuka luas partisipasi masyarakat selain membuka seluruh perdebatan – perdebatan dalam pembahasan Rancangan KUHAP.

Pemerintah juga perlu memikirkan untuk menggodok kembali Rancangan KUHAP sebelum masuk pembahasan di DPR. Pemerintah harus menguji ulang beberapa ketentuan dalam naskah RUU KUHAP. “Hasil monitoring ICJR atas pembahasan RUU KUHAP di DPR sebelumnya, menunjukkan lemahnya kualitas pembahasan,” tambah Supriyadi.

Sedangkan untuk Rancangan KUHP, ICJR mendorong agar rancangan yang sudah ada dipelajari ulang termasuk perlu memikirkan kembali model kodifikasi penuh yang di gagas dalam rancangan tersebut. ICJR menganggap bentuk kodifikasi penuh atas RUU KUHP akan menimbulkan polemik besar, termasuk dalam kebijakan kriminalisasinya.

“ICJR melihat DPR akan mengalami kesulitan dalam pembahasannya jika pemerintah bersikeras masih tetap menggunakan model pembahasan dalam skema kodifikasi penuh,” ujar Supriyadi.

Terkait dengan masuknya Revisi UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Penyusunan dan penetapan UU yang mengatur tentang perampasan aset dan Penyusunan dan penetapan UU tentang Pembatasan Transaksi Tunai, ICJR menilai bahwa regulasi perampasan aset kejahatan yang  paling penting untuk segera diselesaikan. Namun, ICJR mengingatkan perlu dipikirkan ulang revisi tindak pidana korupsi agar tidak terjadi pelemahan regulasi anti korupsi  yang sudah ada.

Selain itu, lanjut Supriyadi, ICJR menyambut agenda Revisi UU Pemasyarakatan inisiatif pemerintah dan ini merupakan RUU prioritas. Namun, ICJR mengingatkan pemerintah harus mencari masukan dari semua sektor dan para pemangku kepentingan atas RUU ini. RUU ini juga harus senapas dengan RUU KUHP, jangan sampai terjadi pertentangan antara RUU Pemasyarakatan dan RUU KUHP.  

Namun, ada catatan khusus juga diberikan ICJR terkait dengan pangaturan yang berhubungan dengan informasi dan transaksi elektronik, perlindungan data pribadi, intersepsi dan perlindungan hak privasi. Terkait dengan aturan-aturan tersebut, ICJR mendorong pemerintah untuk melakukan evaluasi dan perombakan total terkait sistem yang telah ada.

Menurut Supriyadi, dalam isu hak privasi, pemerintah cenderung gagal dalam merespon permasalahan yang selama ini timbul, misalnya persoalan pemblokiran konten negatif, penyadapan sampai dengan masalah pengaturan ketentuan pidana dalam UU sektoral yang sangat buruk.

Pengaturan ketentuan pidana menjadi persoalan tersendiri dalam pengaturan regulasi di Indonesia, misalnya dalam UU ITE dan aturan turunannya, di mana kecenderungan pengaturan yang tidak jelas dengan ancaman yang selalu meningkat masih saja terjadi. Terkait RUU Peyadapan, Pemerintah perlu hati-hati untuk memastikan aturan ini tidak hanya pro terhadap hak privasi, namun memastikan pertimbangan-pertimbangan dari Mahkamah Konstitusi menjadi salah satu landasan dalam penyusunan RUU Penyadapan.

Terakhir, catatan penting ICJR disematkan pada rencana regulasi terkait UU SPPA. Sejak 2012 hingga 2014, pemerintah belum merampungkan satupun peraturan pelaksanan  UU SPPA. Meski seluruh peraturan pelaksana tersebut masih bisa dikeluarkan selambat-lambatnya Juli 2015, namun ICJR menilai akan ada masalah terkait kualitas pembahasan yang sejauh ini masih terkendala.

“Selain menyisakan waktu yang sangat sempit hingga Juli 2015, pemerintah cenderung lamban dan pembahasan yang salama ini dilakukan sangat tertutup dengan akses yang sangat minim bagi pemangku kepentingan dan masyarakat,” pungkasnya.
Tags:

Berita Terkait