IKHAPI: Pemerintah Harus Tinjau Ulang Rencana Kenaikan Pajak Pertambahan Nilai
Pojok IKHAPI

IKHAPI: Pemerintah Harus Tinjau Ulang Rencana Kenaikan Pajak Pertambahan Nilai

Latar belakang upaya peningkatan penerimaan negara ini sebenarnya berakar pada kondisi keuangan negara, yakni realisasi penerimaan negara pada 2020 yang dirasa masih sangat jauh dari kategori mencukupi.

Tim Publikasi Hukumonline
Bacaan 2 Menit
Presiden IKHAPI, Praktisi dan Akademisi Perpajakan; sekaligus Ketua Advokasi Pedagang Asongan dan Pasar Retail, Joyada Siallagan. Foto: istimewa.
Presiden IKHAPI, Praktisi dan Akademisi Perpajakan; sekaligus Ketua Advokasi Pedagang Asongan dan Pasar Retail, Joyada Siallagan. Foto: istimewa.

Kementrian Keuangan berencana untuk meningkatkan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan merealisasikannya pada 2022. Kenaikan tarif tersebut, diharapkan dapat mengoptimalkan penerimaan pajak dalam jangka pendek.

 

Meski kenaikan PPN ini masih menjadi polemik di masyarakat luas, latar belakang upaya peningkatan penerimaan negara ini sebenarnya berakar pada kondisi keuangan negara, yakni realisasi penerimaan negara pada 2020 yang dirasa masih sangat jauh dari kategori mencukupi. Hal ini terkait kondisi negara di masa pandemi yang membutuhkan dana signifikan. Dilihat dari penerimaan pajak pada 2020, realisasinya saja hanya sebesar Rp1,070 triliun. Selain itu, terdapat defisit anggaran sebesar Rp956,3 triliun dan utang sebesar Rp1.227,8 triliun. Atas dasar ini, pemerintah lantas mengambil kebijakan atas kenaikan PPN.

 

Kenaikan PPN sendiri merupakan jangka pendek dalam hal perbaikan/pemulihan ekonomi di masa pandemi. Pemerintah ingin menyeimbangkan defisit APBD 2023 pada angka -3%. Adapun dari PPN dikatakan pada Pasal 4A, kebutuhan pokok yang dibutuhkan oleh rakyat banyak dihapus dalam PPN sebagai barang yang tidak kena PPN (Objek PPN). Maka dengan ini, kebutuhan pokok dikenakan PPN sesuai dengan aturan undang-undang yang akan berlaku.

 

Pemerintah akan menaikan tarif PPN dalam dua mekanisme single rate range antara 10%-15%; dan multi rate range 5%-15% tergantung dengan klasifikasinya. Hal ini juga untuk mengurangi dampak negatif dari pandemi Covid-19.

 

Harus Meninjau Dampak Negatif

Dampak kenaikan tarif PPN ini harus ditinjau kembali oleh pemerintah dalam hal ini, Kementrian Keuangan. Terutama, dampak negatif, sebab kenaikan harga barang akan mengakibatkan turunnya daya beli masyarakat dan terhambatnya pemulihan ekonomi saat pandemi. 

 

Hal ini berbanding terbalik dengan program-program pemerintah yang terlebih dulu dikeluarkan dengan adanya relaksasi dari Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM), seperti penghapusan PPnBM untuk sektor ekonomi. Pemerintah mengambil jalan yang sangat sempit dan kemungkinan dari faktor lain menjadi pengambil keputusan dalam mengambil kebijakan di sektor fiskal ini.

 

Presiden IKHAPI, Praktisi dan Akademisi Perpajakan; sekaligus Ketua Advokasi Pedagang Asongan dan Pasar Retail, Joyada Siallagan dalam live di media sosial IKHAPI mengatakan, pemerintah tidak berlaku adil kepada masyarakat menengah ke bawah. Hal ini dapat dilihat dari adanya relaksasi PPnBM yang menguntungkan sebagian kalangan tertentu; sementara di sisi lain pengenaan PPN berdampak langsung pada masyarakat menengah ke bawah.

Tags: