“Perlu dipahami bahwa penerapan pajak pada digital economy sebelumnya sudah diterapkan lebih dulu pada kegiatan ekonomi konvensional sehingga pada intinya tidak terdapat objek pajak baru dan hanya terdapat perbedaan cara bertransaksi,” pungkas Neilmaldrin.
Sementara itu Kepala Subdit Peraturan PPN Perdagangan, Jasa, dan Pajak Tidak Langsung Lainnya Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Bonarsius Sipayung menambahkan bahwa pengenaan PPN atas jasa fintech bukanlah hal yang baru. Hal ini diatur kembali oleh DJP karena berisisan dengan perbankan.
Dia menegaskan bahwa PPN yang dikenankan dalam jasa fintech diberlakukan kepada pihak yang memfasilitasi transaksi. Adapun pengenaan PPN didasarkan kepada nilai jasa yang dipakai oleh pihak yang memfasilitasi.
“Yang diberlakukan adalah kepada pihak yang memfasilitasi. Apa yang dikenakan? Misalnya ada yang melakukan top up, ketika top up kalau layanan ada biaya ‘kan misalnya biaya Rp1500. Nah yang dikenakan PPN ya dari 1500-nya, ada jasa yang dipakai disana, bukan dari nilai yang di top up. PPN dikenakan atas dasar fee, bukan uang pemiliki nasabah, kalau ada fee dari transaksi itu nah itu kena PPN, dari imbalan jasa,” pungkasnya.