Ini Bedanya Outsourcing di UU Ketenagakerjaan dan UU Cipta Kerja
Utama

Ini Bedanya Outsourcing di UU Ketenagakerjaan dan UU Cipta Kerja

UU Cipta Kerja mengubah istilah outsourcing dari penyerahan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan lain menjadi alih daya. Dalam UU Cipta Kerja, tidak ada lagi batasan terhadap jenis pekerjaan yang bisa di-outsourcing.

Oleh:
Ady Thea DA
Bacaan 3 Menit
Ini Bedanya Outsourcing di UU Ketenagakerjaan dan UU Cipta Kerja
Hukumonline

UU No.11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja mengubah sebagian ketentuan UU No.13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, salah satunya terkait ketentuan outsourcing. Selama ini outsourcing dalam UU Ketenagakerjaan diartikan sebagai penyerahan sebagian pekerjaan kepada perusahaan lain. Penyerahan sebagian pekerjaan itu dilakukan melalui 2 mekanisme yaitu perjanjian pemborongan pekerjaan atau penyediaan jasa pekerja/buruh.

Tapi, UU Cipta Kerja mengubah ketentuan outsourcing dengan menghapus Pasal 64 dan Pasal 65 serta mengubah Pasal 66 UU Ketenagakerjaan. Outsourcing dalam UU Cipta Kerja dikenal dengan istilah alih daya. PP No.35 Tahun 2021 tentang Perjanjian Kerja Waktu Tertentu, Alih Daya, Waktu Kerja dan Waktu Istirahat, dan Pemutusan Hubungan Kerja (PP PKWT-PHK) menyebutkan perusahaan alih daya adalah badan usaha berbentuk badan hukum yang memenuhi syarat untuk melaksanakan pekerjaan tertentu berdasarkan perjanjian yang disepakati dengan perusahaan pemberi pekerjaan.

Kasubdit Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial Kementerian Ketenagakerjaan, Reytman Aruan, menerangkan UU Cipta Kerja mengatur hak dan kewajiban perusahaan alih daya dengan pekerjanya. Intinya, perusahaan alih daya bertanggung jawab penuh terhadap semua yang timbul akibat hubungan kerja.

Pelindungan buruh, upah, kesejahteraan, syarat kerja, dan perselisihan yang muncul dilaksanakan sesuai peraturan dan menjadi tanggung jawab perusahaan alih daya. Berbagai hal itu diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama. Selain itu, hubungan kerja antara perusahaan alih daya dengan buruh yang dipekerjakan didasarkan pada PKWT atau perjanjian kerja waktu tidak tertentu (PKWTT).

“PKWT atau PKWTT ini harus dibuat secara tertulis, tidak boleh lisan,” kata Reytman dalam diskusi secara daring bertema “Hukumonline Bootcamp 2021: Seluk Beluk Pengaturan Ketenagakerjaan Dalam Peraturan Pelaksana UU Cipta Kerja (Sesi I)”, Selasa (31/3/2021). (Baca Juga: Begini Penerapan 3 Jenis PKWT dalam UU Cipta Kerja)

Dalam hal perusahaan alih daya mempekerjakan buruh berdasarkan PKWT, perjanjian kerja itu harus mencantumkan syarat pengalihan pelindungan hak-hak bagi buruh ketika terjadi pergantian perusahaan alih daya sepanjang obyek pekerjaannya tetap ada. Hal ini sesuai dengan amanat putusan MK No.27/PUU-IX/2011 terkait uji materi terhadap Pasal 59, Pasal 64, Pasal 65, dan Pasal 66 UU Ketenagakerjaan.

Sebelumnya, dalam UU Ketenagakerjaan mengatur batasan jenis kegiatan yang dapat dikerjakan oleh buruh outsourcing. Misalnya, tidak boleh melaksanakan kegiatan pokok atau berhubungan langsung dengan proses produksi; buruh outsourcing hanya mengerjakan kegiatan penunjang atau tidak berhubungan langsung dengan proses produksi. Tapi, dalam UU Cipta Kerja menghapus batasan tersebut.

Tags:

Berita Terkait