Ini Beleid Pemerintah yang Baru tentang BPSK
Masalah Hukum Kredit Motor:

Ini Beleid Pemerintah yang Baru tentang BPSK

Setelah berkali-kali putusan Mahkamah Agung mengoreksi kompetensi absolut BPSK, Pemerintah menerbitkan aturan baru. Ada yang berubah?

Moh. Dani Pratama Huzaini
Bacaan 2 Menit
Ilustrasi akad kredit motor.
Ilustrasi akad kredit motor.

Melalui banyak putusan, Mahkamah Agung (MA) sudah mengoreksi kewenangan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) menyelesaikan sengketa perjanjian kredit kendaraan bermotor. Meskipun UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen memberi ruang kepada konsumen untuk membawa perkaranya dengan pelaku usaha ke BPSK, Mahkamah Agung berpendapat sengketa konsumen yang bersumber dari perjanjian pembiayaan kendaraan bermotor bukan merupakan kewenangan BPSK, melainkan kewenangan peradilan umum.

 

Konsistensi sikap Mahkamah Agung itu ternyata tak mengubah banyak beleid yang dikeluarkan oleh Pemerintah mengenai BPSK. Ketika Pemerintah menerbitkan Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) No. 06/M-DAG/PER/2/2017 tentang Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen, tak ada yang berubah dari kewenangan badan penyelesaian sengketa di luar pengadilan itu. Uraian tugas BPSK dalam beleid terbaru sama saja dengan yang tertera dalam UU Perlindungan Konsumen dan tugas BPSK yang diatur dalam Permendag BPSK ini masih sama dengan kewenangan dan tugas BPSK yang diatur dalam UU Perlindungan Konsumen, serta Surat Keputusan Menperindag No. 350/MPP/KEP/12/2001 tentang Pelaksanaan Tugas dan Wewenang Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen.

 

(Baca juga: Menilik Peran BPKN dan BPSK dalam Sengketa Kredit Kendaraan Bermotor)

 

BPSK melaksanakan penanganan dan penyelesaian sengketa konsumen, dengan cara melalui mediasi atau arbitrase atau konsiliasi; memberikan konsultasi perlindungan konsumen; melakukan pengawasan terhadap pencantuman klausula baku; melaporkan kepada penyidik umum apabila terjadi pelanggaran ketentuan dalam Undang-undang ini; menerima pengaduan baik tertulis maupun tidak tertulis, dari konsumen tentang terjadinya pelanggaran terhadap perlindungan konsumen; melakukan penelitian dan pemeriksaan sengketa perlindungan konsumen; memanggil pelaku usaha yang diduga telah melakukan pelanggaran terhadap perlindungan konsumen; memanggil dan menghadirkan saksi, saksi ahli dan/atau setiap orang yang dianggap mengetahui pelanggaran terhadap Undang-undang Perlindungan Konsumen.

 

Berkaitan dengan penanganan perkara, BPSK berwenang meminta bantuan penyidik untuk menghadirkan pelaku usaha, saksi, saksi ahli, atau setiap orang sebagaimana dimaksud pada huruf g dan huruf h, yang tidak bersedia memenuhi panggilan badan penyelesaian sengketa konsumen; mendapatkan, meneliti dan/atau menilai surat, dokumen, atau alat bukti lain guna penyelidikan dan/atau pemeriksaan; memutuskan dan menetapkan ada atau tidak adanya kerugian di pihak konsumen; memberitahukan putusan kepada pelaku usaha yang melakukan pelanggaran terhadap perlindungan konsumen; menjatuhkan sanksi administratif kepada pelaku usaha yang melanggar ketentuan Undang-undang ini.

 

Secara keseluruhan, tugas dan wewenang BPSK yang diatur dalam UU Perlindungan Konsumen dipertahankan oleh Pemerintah melalui Permendag BPSK.

 

Konsultan hukum perlindungan konsumen, Aman Sinaga, mengatakan Permendag tentang BPSK 2017 merupakaan penyempurnaan dari ketentuan tentang BPSK yang telah diatur dalam UU Perlindungan Konsumen. “Permen itu adalah penyempurnan dari UU Perlindungan Konsumen,” Ujar Aman kepada hukumonline, Kamis (22/2).

 

Perbedaan bisa dilihat dengan menelisik secara cermat dan membandingkan isi Permendag dengan UU Perlindungan Konsumen dan SK Menperindag 2001. UU Perlindungan Konsumen hanya mengatur BPSK secara garis besar pada Pasal 49-58. Diatur antara lain tentang arti BPSK, komposisi pengurus badan; tugas dan wewenang; komposisi Majelis; dan mekanisme penanganan sengketa di BPSK. Permendag 2017 menambahkan aturan tentang pembentukan; tugas dan wewenang BPSK; keanggotaan BPSK; sekretariat; pendanaan; pembinaan dan pengawasan; evaluasi; serta pelaporan BPSK.

 

(Baca juga: Akad Kredit Perlu Diperhatikan, Begini Perspektif Pelaku Usaha)

 

Terkait Pembentukan BPSK, Permendag 2017 mengatur tegas bahwa Pemerintah Pusat membentuk BPSK di Provinsi DKI Jakarta dan Kabupaten/Kota. Ketentuan ini tentu saja memperhatikan karakteristik pemerintah DKI Jakarta yang merupakan daerah khusus ibukota sehingga letak BPSK di Provinsi DKI tidak berada di Kabupaten/Kota sebagimana di Provinsi lainnya. Bila dibandingkan dengan UU Perlindungan Konsumen, tidak ada pengaturan mengenai BPSK Provinsi DKI Jakarta.

 

Proses pembentukannya dimulai dari usulan pembentukan BPSK  dari kepala daerah tingkat I kepada pemerintah pusat melalui Menteri Perdagangan dengan disertai kesanggupan menyediakan pendanaan untuk BPSK. Lebih lanjut, Permendag 2017 mengatur komposisi keanggotaan BPSK yang terdiri dari unsur pemerintah, konsumen, dan pelaku usaha. Anasir anggota BPSK ini adalah penegasan dari aturan sebelumnya. Unsur pemerintah diangkat dari perangkat daerah pada pemerintah daerah provinsi dan atau kabupaten tempat di mana PBSK tersebut berada. Unsur konsumen diangkat dari wakil Lempaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat (LPKSM) di kabupaten/kota domisili BPSK.

 

Unsur pelaku usaha berasal dari perwakilan pelaku usaha di kabupaten/kota yang menjadi domisili BPSK. “Dalam hal LPKSM sebagaimana dimaksud padal pasal 6 ayat (3) belum terbentuk, unsur konsumen dapat berasal dari tokoh masyarakat setempat yang bukan merupakan pelaku usaha atau dan atau pegawai pemerintah,” demikian bunyi Pasal 8 Permendag 2017.

 

Untuk pemilihan anggota sendiri dilakukan oleh tim pemilihan dimana tim pemilihan tersebut dibentuk dan ditetapkan oleh Gubernur. Tim pemilihan paling sedikit berjumlah 5 orang yang terdiri dari wakil perangkat daerah, akademisi, praktisi dibidang perlindungan konsumen, pelaku usaha, maupun konsumen. dalam melaksanakan pemilihan calon anggota BPSK, tim pemilihan dapat dibantu oleh perangkat daerah yang menangani urusan perdagangan.

 

Dalam hal pengangkatan dan pemberhentian anggota BPSK, ditetapkan oleh Menteri. Sebelum melaksanakan tugasnya, anggota BPSK terlebih dahulu dilantik dan diambil sumpahnya oleh Menteri. Kewenangan untuk melantik dan mengambil sumpah ini didelegasikan oleh Menteri kepada Gubernur yang dilakukan paling lama 30 hari sejak diterimanya penetapan Menteri.

 

Menurut Permendag 2017, anggota BPSK bisa terjadi akibat beberapa alasan: meninggal dunia; mengundurkan diri atas permintaan sendiri; sakit secara terus menerus selama 6 bulan yang dibuktikan dengan surat keterangan dokter sehingga idak mampu melaksanakan tugas; berakhir masa jabatan sebagai anggota BPSK; telah mencapai usia pension, bagi anggota BPSK yang berasal dari unsur pemerintah; telah mencapai usia 65 tahun bagi anggota BPSK yang berasal dari unsur Konsumen dan Pelaku Usaha; pindah domisili ke luar wilayah BPSK Kabupaten/kota setempat bagi anggota dari unsur konsumen dan pelaku usaha; atau diberhentikan.

 

Selanjutnya mengenai pemilihan ketua dan wakil ketua BPSK, dalam jangka waktu paling lama 7 hari kerja sejak anggota BPSK dilantik dan diambil sumpahnya, sudah harus dilaksanakan rapat pemilihan ketua dan wakil ketua BPSK. Rapat tersebut dipimpin oleh anggota yang paling tua dan pemilihan Ketua dan Wakil Ketua BPSK dilakukan dengan cara musyawarah mufakat. Apabila dalam musayawarah mufakat tidak ditemukannya kata sepakat maka pemilihan dilakukan dengan pemungutan suara terbanyak. Hasil pemilihan ketua dan wakil ketua BPSK dituangkan dalam berita acara pemilihan yang ditandatangani oleh seluruh anggota BPSK.

 

Selain anggota, BPSK juga berisikan sekretariat BPSK. Hal ini sebagaimana ketentuan Pasal 22 Permen 6/2017, BPSK dalam menjalankan tugasnya dibantu oleh sekretariat BPSK.” Sekretariat tersebut terdiri dari Bidang Tata Usaha Pelayanan Pengaduan dan Konsultasi; serta Bidang Kepaniteraan. Untuk pengangkatan dan pemberhentian kepala dan anggota sekretariat ditetapkan oleh Menteri Perdagangan yang mana selanjutnya kewenangan tersebut didelegasikan kepada Gubernur. Masa kerja kepada dan anggota sekretariat selama 6 tahun dan dapat diangkat kembali.

 

Tugas anggota Sekretariat Bidang Tata Usaha Pelayanan Pengaduan dan Konsultasi antara lain adalah menyiapkan kebutuhan rumah tangga, melaksanakan tata kelola persuratan, menyusun berita acara persidangan, termasuk tata kelola putusan. Adapun tugas anggota sekretariat bidang kepaniteraan antara lain adalah mencatat jalannya proses persidangan, menyimpan berkas laporan, dan menjaga barang bukti.

 

Dalam Permendag 2017 diatur juga BPSK mengelola biaya penyelenggaraan BPSK yang terdiri dari biaya operasional; honorarium ketua, wakil ketua, dan anggota BPSK; serta honorarium kepada sekretarian dan anggota sekretariat. Biaya penyelenggaraan BPSK tersebut dibebankan pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) provinsi sesuai dengan kemampuan daerah. Menyoal terkait biaya penyelenggaraan BPSK ini, anggota BPSK Jakarta dari unsur konsumen, Sularsi, kepada hukumonline mengatakan dalam pelaksanaannya, masih terdapat banyak kendala.

 

Untuk BPSK DKI, Sularsi menjelaskan BPSK DKI Jakarta mendapatkan pendanaan dari dana hibah pemerintah DKI. Namun demikian anggaran tersebut tidak dapat digunakan untuk kebutuhan belanja. Sehingga menurut Sularsi, hal ini ikut menjadi satu alasan penghambat untuk menjalankan tugas dan fungsi BPSK secara maksimal. Ia juga mengeluhkan perihal terlambatnya pencairan anggaran untuk BPSK DKI di tahun 2017 kemarin. “Dana itu baru cair awal Desember. Jadi untuk tahun 2017 kemarin hanya untuk honor saja. Operasionalnya kita sangat sedikit sekali,” ujar Sularsi.

 

Sementara terkait aspek pembinaan dan pengawasan, BPSK berada dalam pembiaan dan pengawasan dari Menteri dan atau Gubernur, baik secara bersama-sama ataupun sendiri-sendiri. Dalam menjalankan kewenangan ini, Menteri Perdagangan mendelegasikan kewenangannya kepada DIrektur Jenderal. Selanjutnya apabila diperlukan, Direktur Jenderal dapat membentuk tim pembinaan dan pengawasan pelaksanaan tuga BPSK.

 

Tindak lanjut dari wewenang pembinaan dan pengawasan tersebut, Menteri dan Gubernur dapat melakukan evaluasi. Evaluasi dimaksud dilakukan untuk mewujudkan sinergi, kesinambungan, dan efektifitas dalam pelaksanaan kegiatan BPSK. Hasil dari evaluasi tersebut selanjutnya akan digunakan untuk menetapkan kebijakan terkait kinerja BPSK yang lebih optimal lagi. Kewenangan melakukan evaluasi pelaksanaan kegiatan BPSK, oleh Menteri didelegasikan kepada Direktur Jenderal.

 

Terakhir, dalam menjalankan tugasnya, Ketua BPSK menyampaikan laporan kepada Gubernur melalui dinas yang membidangi urusan perdagangan di Pemerintah daerah provinsi dan ditembuskan kepada Menteri melalui Direktur Jenederal. Laporan tersebut disampaikan dalam bentuk laporan semester dan tahunan.

Tags:

Berita Terkait