Ini Penjelasan Kuasa Hukum Pemohon Terkait PKPU Jiwasraya
Utama

Ini Penjelasan Kuasa Hukum Pemohon Terkait PKPU Jiwasraya

Penerapan Pasal 223 UU Kepailitan dinilai hanya berlaku untuk kepentingan publik, bukan perorangan.

Fitri Novia Heriani
Bacaan 5 Menit
Foto: jiwasraya.co.id
Foto: jiwasraya.co.id

Jiwasraya akhirnya diajukan Permohonan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) oleh dua orang krediturnya, yakni Masrura Muchtar dan Mokhtar Noer Jaya. Permohonan PKPU tersebut didaftarkan pada Rabu (13/1) dengan nomor perkara No. 34/Pdt. Sus-PKPU/2021/PN Niaga Jkt.Pst.

Kuasa hukum termohon, Jamaslin James Purba sebelumnya menegaskan bahwa PKPU dan pailit terhadap perusahaan asuransi hanya bisa dilakukan oleh Otoritas Jasa Keuangan. James mengacu kepada Pasal 223 jo Pasal 2 ayat 5 UU No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan PKPU, Pasal 55 ayat (1) UU No. 21 tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan, dan Pasal 50 ayat (1) UU No. 40 tahun 2014 tentang Perasuransian.

Namun pernyataan tersebut dibantah oleh kuasa hukum pemohon, Frengky Richard Mesakaraeng. Menurutnya, kliennya sebagai nasabah Jiwasraya memiliki hak untuk mengajukan permohonan PKPU ke Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat (PN Pusat).

Frengky menegaskan tak ada aturan yang melarang kreditur untuk melayangkan permohonan PKPU terhadap perusahaan asuransi. Dua UU yang disebutkan oleh kuasa hukum termohon yakni UU OJK maupun UU Peransurasian hanya mengatur tentang permohonan pailit, bukan PKPU. (Baca: Jiwasraya Dimohonkan PKPU, Kuasa Hukum: Melanggar UU Kepailitan)

Meskipun dalam Pasal 223 terdapat aturan yang menyebut bahwa permohonan PKPU termasuk perusahaan asuransi hanya bisa dilakukan oleh OJK, namun Frengky menilai pasal itu hanya berlaku untuk kepentingan publik. OJK dapat menjadi kreditur maupun debitur untuk mewakili lembaga-lembaga seperti bank, bursa efek, perusahaan asuransi dan lembaga lainnya yang berada dibawah kewenangan OJK, namun bukan perorangan.

“Dan Keputusan Ketua MA nomor 109 Tahun 2020 tentang Pemberlakuan Buku Pedoman Penyelesaian Perkara Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) disitu dibedakan kreditur perorangan dan OJK. Perlu diperhatikan di sini terkait OJK, jadi OJK ini bisa melakukan permohonan baik sebagai kreditur atau kreditur untuk kepentingan publik seperti bank, efek, bursa efek, dan perusahaan asuramsi, yang bergerak di kepentingan public, OJK bisa sebagai kreditur dan debitur sepanjang untuk lembaga-lembaga yang berada dibawah pengawasannya. Dan Dalam jawaban Termohon banyak menyinggung ketentuan-ketentuan tentang pernyataan pailit sedangkan kami tidak mengajukan pernyataan pailit melainkan PKPU,” katanya kepada Hukumonline, Rabu (27/1).

Frengky memahami betul bahwa nasabah asuransi selaku kreditur memiliki peluang untuk mengajukan pailit kepada perusahaan asuransi lewat OJK. Upaya tersebut sudah dilakukan pihaknya, namun terkendala oleh aturan OJK yang menyebutkan bahwa OJK hanya sebagai fasilitator untuk penyelesaian sengketa konsumen yang dibatasi hanya untuk kerugian 500 juta-750 juta. Hal tersebut tercantum di dalam Pasal 10 ayat (4) POJK Nomor 31 /POJK.07/2020 tentang Penyelenggaraan Layanan Konsumen dan Masyarakat di Sektor Jasa Keuangan Oleh Otoritas Jasa Keuangan.

Selain itu, pembatasan pengajuan PKPU seperti yang dimaksud oleh kuasa hukum termohon dinilai tidak sejalan dengan azas berkontrak sesuai dengan Pasal 1338 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPer), di mana menyebutkan bahwa perjanjian yang sah menjadi undang-undang bagi para pihak yang membuatnya.

Sementara di sisi lain, kontrak polis asuransi antara nasabah dan pihak Jiwasraya terutama Pasal 28 mengatur tentang sengketa, di mana tingkatan sengketa diselesaikan secara musyawarah, kemudian membawa perkara ke OJK. Bila masih tak tercapai kesepakatan maka sengketa boleh dibawa ke jalur hukum. Pasal 29 juga menegaskan bahwa kontrak yang disusun sudah disesuaikan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan termasuk peraturan OJK.

“Itu Namanya membatasi kebebasan berkontrak kalau hanya OJK yang boleh mengajukan gugatan atau permohonan. Ini tidak sejalan dengan pasal 1338 KUHPerdata, di mana kontrak dipandang sebagai sebuah UU bagi para pihak,” tegasnya.

Kemudian yang paling utama adalah Putusan Mahkamah Konstitusi Perkara No 071/PUU-II/2004, Perkara No 001-002/PUU-III/2005 yang membatalkan Pasal 6 ayat (3), “Panitera wajib menolak pendaftaran permohonan pernyataan pailit bagi institusi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (3), ayat (4), dan ayat (5) jika dilakukan tidak sesuai dengan ketentuan dalam ayat-ayat tersebut.”

Dalam putusannya MK menyatakan Pasal 6 ayat (3) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. “Oleh karena itu kita mengajukan ke Pengadilan Niaga,” tegasnya.

Namun demikian, Frengky menegaskan bahwa pihaknya memiliki iktikad baik dalam mengajukan permohonan PKPU terhadap Jiwasraya. Kliennya hanya menginginkan kepastian hukum di tengah persoalan yang membelit Jiwasraya. Saat ini dua kliennya memiliki tagihan yang sudah jatuh tempo sebesar Rp1,6 miliar.

Perlu dicatat, pengajuan PKPU bisa berujung pailit jika perdamaian gagal tercapai. Namun Frengky optimis perdamaian kedua belah pihak akan mencapai kata sepakat. “Sidang selanjutnya itu Senin, (1/2) dengan agenda bukti dari pemohon. Kita di sini iktikad baik, enggak ada niat buruk justru dengan PKPU bisa mempertemukan para pihak, dan bisa didengarkan maunya seperti apa,” tegasnya.

Sementara itu dalam sidang kedua dengan agenda jawaban dari termohon, kuasa hukum termohon James Purba menegaskan bahwa para pemohon PKPU tidak memiliki kewenangan untuk dapat bertindak selaku pemohon PKPU terhadap pemohon PKPU yang merupakan perusahaan asuransi.

James juga menegaskan bahwa Permohonan PKPU dari Para Pemohon PKPU adalah tidak berdasar dan bertentangan dengan ketentuan hukum yang berlaku karena bertentangan dengan Pasal 223 jo Pasal 2 ayat 5 UU No. 37 tahun 2004 tentang Kepailitan dan PKPU, maka Permohonan PKPU terhadap perusahaan asuransi tidak dapat diajukan langsung oleh Kreditur.

Bunyi Pasal 223 UU Kepailitan, “Dalam hal Debitor adalah Bank, Perusahaan Efek, Bursa Efek, Lembaga Kliring dan Penjaminan, Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian, Perusahaan Asuransi, Perusahaan Reasuransi, Dana Pensiun, dan Badan Usaha Milik Negara yang bergerak di bidang kepentingan publik maka yang dapat mengajukan permohonan penundaan kewajiban pembayaran utang adalah lembaga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (3), ayat (4), dan ayat (5)”.

Kemudian didasarkan Pasal 223 UU No. 37 Tahun 2004 Jo Pasal 50 ayat (1) Jo Pasal 90 butir b UU No. 40 Tahun 2014 jo Pasal 52 ayat (1)  POJK No. 28/POJK.05/2015, dalam kaitannya dengan Permohonan PKPU a quo, terbukti bahwa Para Pemohon PKPU dalam perkara a quo bukanlah lembaga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 ayat (1) UU No. 40 Tahun 2014 yang menggantikan Menteri Keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (5) UU No. 37 Tahun 2004, yang memiliki kewenangan mengajukan Permohonan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang kepada Termohon PKPU sebagai perusahaan perasuransian, dengan demikian dengan tidak berwenangnya Para Pemohon Sebagai Pemohon PKPU, maka sudah sepatutnya Permohonan PKPU dalam perkara a quo harus atau setidaknya dinyatakan tidak dapat diterima.

Selain itu, James juga menyebut bahwa permohonan PKPU dari pemohon PKPU tidak memenuhi syarat atau cacat formil. Hal ini dikarenakan perbaikan permohonan PKPU dari para pemohon hanya ditandangani oleh kuasa hukum dan tidak ditandatangani oleh para pemohon PKPU.

Pada 20 Januari 2021, pemohon melakukan perbaikan permohonan pada halaman 4, namun Perbaikan Permohonan hanya ditandatangani oleh kuasa hukum dari Para Pemohon PKPU yaitu M. Aliyas Ismail dan Frengky Richarddan tidak ditandatangani oleh Para Pemohon PKPU, baik Pemohon I ataupun Pemohon II.

Jika merujuk pada ketentuan Pasal 224 ayat (1) UU Kepailitan, “Permohonan penundaan kewajiban pembayaran utang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 222 harus diajukan kepada Pengadilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3, dengan ditandatangani oleh pemohon dan oleh advokatnya.”

“Ketentuan ini mewajibkan Para Pemohon bersama sama dengan Advokatnya wajib tanda tangan, tidak boleh hanya advokat nya, karena pada hakekatnya hal ini merupakan satu kesatuan dari Permohonan PKPU,” jelas James.

Selain itu berdasarkan ketentuan Pasal 8 ayat 3 Rv (Reglement of de Rechtsvordering), “bahwa suatu gugatan mengandung kecacatan baik formil maupun materiil, maka gugatan tersebut akan ditolak atau tidak dapat diterima”.

“Sehingga atas dasar tersebut, terbukti bahwa Perbaikan Permohonan yang tidak ditandatangani oleh Para Pemohon PKPU mengandung kecacatan Formil, maka senada dengan ketentuan Pasal 8 ayat 3 Rv, Permohonan Para Pemohon PKPU harus ditolak atau tidak dapat diterima,” pungkasnya.

Tags:

Berita Terkait