Instruksi 1975 Dinilai Disriminatif dan Tak Sejalan dengan Prinsip Hukum Agraria Nasional
Utama

Instruksi 1975 Dinilai Disriminatif dan Tak Sejalan dengan Prinsip Hukum Agraria Nasional

Menurut Gratianus, kebijakan ini bertentangan dengan sejumlah peraturan perundang-undangan, seperti UUD 1945, UU Pokok Agraria, bahkan instrumen-instrumen hak asasi manusia khususnya terkait diskriminasi.

Oleh:
Ferinda K Fachri
Bacaan 4 Menit

Dilakukan pula sejumlah upaya hukum oleh masyarakat Tionghoa untuk mendapatkan hak milik atas tanah di wilayah Jogja. Dapat dilihat dari lahirnya 3 buah putusan pengadilan yang masing-masing terdiri dari Perkara TUN, Gugatan Perubuatan Melawan Hukum oleh Pemerintah, hingga uji materil.

“Seluruhnya menguatkan larangan kepemilikan atas tanah tersebut. Sementara itu Ombudsman RI juga telah mengeluarkan rekomendasi yang isinya meminta kepada para pemangku kepentingan untuk menerbitkan sertifikat hak milik atas tanah bagi seluruh warga negara Indonesia tanpa melihat adanya perbedaan latar belakang. Namun, hal ini tetap tidak mengubah kondisi yang ada,” kata dia.

Gratianus memandang penerapan Instruksi Tahun 1975 bertolak belakang dengan penghapusan diskriminasi yang telah diformulasikan sejak terbitnya Instruksi Presiden No.26 Tahun 1998 tentang Menghentikan Penggunaan Istilah Pribumi dan Non Pribumi dalam Semua Perumusan dan Penyelenggaraan Kebijakan, Perencanaan Program ataupun Pelaksanaan Kegiatan Penyelenggaraan Pemerintahan.  

Dengan jelas semangat dari lahirnya Inpres ini ialah untuk menghapuskan penggunaan istilah pribumi dan non pribumi serta memerintahkan seluruh aparatur negara untuk memberikan pelayanan yang sama tanpa membedakan latar belakang suku, agama, ras, maupun asal-usul.

Dari penelitian yang dilakukan dengan menggunakan pendekatan socio-legal ini, ia menyimpulkan lima hal. Pertama, penentuan susunan negara RI masih jauh dari aspek teoritis di bidang susunan kenegaraan. Kedua, latar belakang sejarah, sosial, budaya yang menyertai eksistensi Kesultanan Yogyakarta menjadikannya sebagai sebuah wilayah dalam kerangka NKRI yang memiliki keistimewaan yang berdampak pada kebijakan setempat di bidang pertanahan. Dimana terdapat Instruksi Tahun 1975 yang melarang kelompok Tionghoa mendapatkan/memperoleh hak milik atas tanah.

Ketiga, mekanisme larangan pemberian hak milik atas tanah bagi kelompok Tionghoa di Yogya dilakukan melalui penolakan proses peralihan hak milik pada kantor pertanahan setempat. Keempat, keberlakuan Instruksi 1975 dan keistimewaan Yogyakarta dalam lingkup Indonesia selalu dijadikan dasar pertimbangan majelis hakim dalam memutus perkara-perkara terkait. Kelima, susunan negara RI telah mengalami perluasan makna dengan diakuinya kebijakan pertanahan lokal di wilayah Yogyakarta yang bukan hanya bertentangan dengan ketentuan hukum agraria nasional, namun juga bertolak belakang dengan semangat HAM.

“Saya merekomendasikan 3 hal. Satu, MPR perlu melakukan analisis terhadap susunan negara RI secara lebih teoritis dengan mempertimbangkan keunikan serta karakteristik setempat. Dua, penguatan peran DPD sebagai ujung tombak penyerapan aspirasi dari seluruh rakyat Indonesia. Tiga, memberikan edukasi dan pemahaman kepada seluruh hakim yang berada di bawah naungan MA agar dapat menghasilkan putusan-putusan berkeadilan serta mempertimbangkan aspek HAM. Sehingga di masa mendatang dapat digunakan sebagai landmark decision bagi kasus-kasus serupa,” simpulnya.

Tags:

Berita Terkait