IPPAT Pertimbangkan Layangkan Uji Materiil PP No. 24 Tahun 2016
Berita

IPPAT Pertimbangkan Layangkan Uji Materiil PP No. 24 Tahun 2016

Namun masih menunggu reaksi para anggota IPPAT. Tapi jika dilihat dari substansi, terdapat pasal-pasal yang patut dikritisi.

NNP
Bacaan 2 Menit
Syafran Sofyan. Foto: Facebook
Syafran Sofyan. Foto: Facebook
Ikatan Pejabat Pembuat Akta Tanah (IPPAT) masih mempertimbangkan untuk melakukan uji materiil ke Mahkamah Agung (MA) terhadap Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 24 Tahun 2016 tentang Perubahan Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah. Ketua Umum IPPAT, Syafran Sofyan mengatakan bahwa pihaknya akan melayangkan uji materiil dengan terlebih dahulu melihat bagaimana reaksi para anggota IPPAT.

“Untuk menentukan apakah akan mengajukan judicial review, tentu akan dilihat dari anggota IPPAT reaksinya apakah positif atau mengkritisi,” ujar Syafran kepada hukumonline, Jumat (15/7).

Syafran menambahkan apabila tak muncul banyak penolakan dari anggota IPPAT atas revisi aturan terbaru ini, kemungkinan upaya uji materiil masih belum akan diajukan ke MA. Sebaliknya, apabila banyak muncul penolakan akibat sejumlah perubahan substansi dalam aturan itu, ia memastikan akan mengakomodir keinginan anggota dengan mengajukan pendaftaran uji materiil.

Sejauh ini, lanjutnya, ia masih belum bisa melakukan pemetaan terhadap para PPAT anggota IPPAT apakah menerima atau keberatan dengan substansi perubahan aturan terbaru ini. Namun, Syafran sendiri berpendapat bahwa kemunculan aturan tersebut secara umum boleh dikatakan cukup progresif bagi PPAT dalam pelaksanaan jabatannya. Akan tetapi, secara substansi masih terdapat sejumlah pasal yang dinilai berpotensi menuai perdebatan, misalnya ketika mengimplementasikan pada tataran teknis.

“Sebaiknya Kementerian ATR/BPN, dalam menyusun PP dan  Permen yang terkait dengan PPAT agar melibatkan IPPAT. Kita akan siap membantu,” tegasnya.

Dari catatan Syafran, sejumlah pasal yang kemungkinan akan banyak menjadi sorotan dari PPAT, misalnya berkaitan dengan usia untuk dapat diangkat menjadi PPAT, yakni 22 tahun. Menurutnya, usia tersebut dinilai belum bisa mengemban jabatan sebagai PPAT terutama dari segi pengalaman dan tanggung jawabnya. Apalagi, ada delapan kewenangan PPAT dalam membuat suatu akta otentik yang mana dalam proses pembelajaran di program Magister Kenotariatan (M.Kn) ataupun pendidikan khusus dari Kementerian Agraria dan Tata Ruang (ATR)/ Badan Pertanahan Nasional (BPN) masih sangat minim diajarkan.

Semestinya, batasan usia tidak perlu dicantumkan secara tegas dalam pasal persyaratan untuk dapat diangkat menjadi PPAT.Akan tetapi, perlu ditambahkan semacam sertifikasi dan kompetensi yang dilakukan oleh Kementerian ATR/BPN dengan bekerjasama dengan IPPAT selaku organisasi profesi. Selain itu, mestinya juga kembali dipertegas mengenai persyaratan magang selama satu tahun setelah lulus dari M.Kn agar tak hanya menjadi formalitas belaka. “Batasan usia 22 tahun tersebut parameternya tidak jelas,” sebutnya.

Substansi lainnya yang dikritisi adalah berkaitan dengan perluasan daerah kerja PPAT menjadi satu provinsi. Di satu sisi, Syafran melihat perluasan itu sangat baik bagi PPAT tetapi dalam pelaksanannya mesti diatur lebih rinci melalui Peraturan Menteri, misalnya yang berkaitan dengan sistem pengecekan sertifikat online, pajak online, pendaftaran online, serta laporan berkala bulanan yang rutin dilakukan PPAT. Pasalnya, dalam teknis pelaksanaannya nanti khawatir akan menyulitkan kerja bagi para PPAT. “Yang paling krusial adalah standarisasi pelayanan, syarat-syarat legalitas, dan yang lainnya, katanya.

Tak sampai di situ, substansi lainnya berkaitan dengan pemberhentian secara tidak hormat bagi PPAT tak luput untuk dikritisi. Bagi Syafran, perlu dibuat batasan yang jelas dan tegas mengenai adanya pelanggaran terhadap larangan dan kewajiban PPAT. Ia mengusulkan, mekanisme pengawasan dan pembinaan oleh menteri dapat dibantu misalnya oleh semacam Majelis Pengawas mengingat keterbatasan sumber daya manusia (SDM) pada Kementerian ATR/BPN terutama di daerah-daerah.

Berbeda dengan profesi notaris, PPAT memang belum memiliki semacam Majelis Pengawas  sebagai ‘penyaring’ terhadap dugaan tindak pidana yang dilakukan oleh PPAT. Akibatnya, ancaman pidana dengan hukuman di atas lima tahun ke atas sangat mudah sekali menjerat para PPAT. “Hal ini sangat gampang sekali memberhentikan PPAT mengingat belum adanya standarisasi, kesamaan persepsi antara PPAT dan penegak hukum dan juga belum adanya majelis pengawas sebagai filter didalam menentukan dugaan terhadap tindak pidana,” tuturnya.

Jalan Keluar
‘Produk’ yang dihasilkan oleh PPAT merupakan akta otentik sebagaimana Pasal 1868 KUH Perdata dimana akta otentik wajib dibuat di hadapan atau oleh pejabat yang diatur dalam bentuk undang-undang (UU). Dikatakan Syafran, pengaturan terhadap PPAT mestinya lebih pas diatur dalam bentuk UU, bukan melalui revisi PP. Urgensi akan RUU tentang Jabatan PPAT tentu menjadi keniscayaan bagi profesi PPAT agar lebih jelas dan tegas dalam menjalankan profesinya.

Melalui RUU Jabatan PPAT, lanjutnya, setidaknya terdapat poin-poin yang mestinya diatur dalam RUU, antara lain seputar kewenangan, tanggung jawab, perlindungan hukum bagi PPAT. Selain itu, secara substansi RUU Jabatan PPAT juga dapat mengadopsi sistematika dari UU Nomor 2 Tahun 2014 tentang Perubahan atas UU Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris.

“Sehingga jabatan dan produk PPAT tdk lagi dipersoalkan apakah otentik atau tidak,” sebut Syafran yang juga sebagai dosen pada Lemhanas RI.

Terpisah, Notaris & PPAT senior kota Surabaya, Habib Adjie sependapat dengan pandangan mengenai RUU Jabatan PPAT. Habib yang juga tercatat sebagai salah satu tim ahli pada kepengurusan IPPAT menilai bahwa akan lebih baik bila tujuan utamanya adalah memperkuat poisisi PPAT, maka revisi PP Nomor 37 Tahun 1998 bukanlah langkah yang tepat. “Inikan sifatnya perubahan, jadi tambal sulam. Harusnya kalau memang dalam rangka pembenahan PPAT jangan mengeluarkan PP tapi harusnya buatlah namanya UU Jabatan PPAT,” usulnya.

Lebih lanjut, sepengetahuan Habib, melalui IPPAT rencananya dalam waktu dekat akan diadakan semacam seminar untuk membahas gagasan pembentukan RUU Jabatan PPAT yang hasilnya akan disampaikan kepada Menteri ATR/ Kepala BPN, Ferry Mursyidan Baldan. Sejauh ini, draf RUU Jabatan PPAT juga sudah ada namun belum pernah masuk dalam Prolegnas.

“Poinnya, penguatan fungsi, wilayah jabatan, syarat pengangkatan, tanggung jawab. Infonya akan adakan diskusi internal dulu kemudian untuk disampaikan untuk bertemu menteri,” pungkasnya.
Tags:

Berita Terkait