Terlebih, acapkali beleid itu ditafsirkan secara sempit pada hubungan hukum keperdataan semata. Padahal, Kalau kita dipahami lebih dalam, hubungan hukum kan tidak hanya lahir dari hubungan kontraktual, tapi juga dapat lahir dari undang-undang, ujarnya.
Pemerintah, seperti dilansir Koran Tempo Senin pekan lalu, kini tengah kesulitan menindaklanjuti proses penagihan piutang BLBI lantaran kurang kooperatifnya sejumlah obligor. Pemerintah pun berencana meminta jaringan polisi internasional untuk memburu empat dari tujuh obligor kakap BLBI. Keempat orang itu adalah Agus Anwar (Bank Pelita dan Bank Istimarat), Atang Latief (Bank Indonesia Raya), Marimutu Sinivasan (Bank Putra Multi Karsa) dan Lidya Mochtar (Bank Tamara). Pemerintah juga bersitegas menindak keras para debitor malas merampungkan urusan. "Kami telah menetapkan upaya gijzeling (paksa badan) bagi para obligor nakal," ujar Direktur Jenderal Kekayaan Negara Departemen Keuangan Hadiyanto.
Sejauh ini, dari ancaman paksa badan saja, ternyata sudah membuahkan hasil. Tiga obligor lain mulai kooperatif. Sedangkan Agus, Lidya, Marimutu, dan Atang dinilai masih belum kooperatif. Pemerintah sudah memblokir aset keempat obligor itu senilai Rp556 miliar dari total utang keempatnya Rp1,54 triliun.
Menurut Widodo, perbuatan debitor menghindar dari tanggung jawab (wanprestasi) memang sepintas bersifat perdata. Namun, lanjutnya, para debitor besar yang menjarah uang negara dengan hanya bermodal goresan pena lalu memarkir uang atau membuka bisnis baru di luar negeri tidak patut hanya dikenakan paksa badan, Tetapi lebih tepat dikualifikasi sebagai tindak pidana korupsi, ujarnya.