Surat ijin pengacara praktek--atau yang dikenal dengan sebutan Surat Keterangan Pengadilan Tinggi (SKPT)--memang menjadi modal yang sangat berharga bagi setiap orang yang akan menjadi pengacara praktek. Sehingga tidak jarang, banyak calon pengacara praktek mengambil jalan pintas untuk bisa mendapatkan surat ijin tersebut.
Bahkan, pengacara rela sogok sana-sini untuk mendapatkan SKPT. Paling tidak dari obrolan-obrolan ketika akan diadakan ujian pengacara praktek, hukumonline sempat mendengar beberapa peserta mengaku sudah mengeluarkan uang antara Rp8 juta sampai dengan Rp12 juta agar bisa lulus ujian pengacara praktek.
Dedi--bukan nama sebenarnya--mengaku harus mengeluarkan uang sogokan sebesar Rp10 juta kepada pengacara yang menjadi anggota Komite Kerja Advokat Indonesia (KKAI) agar ia bisa lulus ujian pengacara praktek.
Selain Dedi, ada juga Astrid--bukan nama sebenarnya--yang juga menjadi peserta ujian pengacara praktek terpaksa menyogok orang dari Mahkamah Agung (MA) sebesar Rp15 juta agar ia bisa lulus ujian praktek. Di samping sogok menyogok, para calon pengacara juga berusaha membeli soal ujian sebesar Rp3 juga sebelum ujian berlangsung.
Sogok menyogok rupanya sudah menjadi "penyakit" lama dalam pelaksanaan ujian advokat. Para peserta yang tidak begitu 'pede' (percaya diri) atau yang malas mengikuti ujian, lalu menempuh cara kotor. Prinsipnya ada fulus (uang), toh bakal lulus.
Mereka yang mengambil jalan pintas agaknya memang tidak mau keluar keringat. Pasalnya, mendapatkan SKPT memang butuh perjuangan. Para calon pengacara praktek harus terlebih dahulu lulus ujian tertulis pengacara dan kode etik, sebelum ia bergelar pengacara praktek.
Berdasarkan kesepakatan bersama Mahkamah Agung (MA) dan Komite Kerja Advokat Indonesia (KKAI) pada Februari 2002, ujian tertulis pengacara praktek dilaksanakan bersama antara Pengadilan Tinggi dengan organisasi advokat. Sementara ujian kode etik dilaksanakan oleh KKAI.