Jalan Pintas Menjadi Pengacara
Fokus

Jalan Pintas Menjadi Pengacara

Asfinawati, pengacara publik dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta, harus rela tidak mendampingi kliennya. Ia tampak kesal ketika hakim I Gde Putra Jadya mengusirnya dari ruang sidang karena tidak bisa menunjukkan surat ijin pengacara praktek. Karena "saktinya" surat ijin pengacara praktek, banyak orang yang mencari jalan tol untuk menggaetnya.

Tri/APr
Bacaan 2 Menit

Kesalahan bisa terjadi di Panitia karena inilah pengalaman pertama ujian kode etik dilaksanakan oleh suatu panitia gabungan. Sementara di sisi lain, koordinasi antar personil panitia sangat mungkin kurang karena berasal dari organisasi pengacara yang berbeda-beda. 

Jumlah yang lulus ujian kode etik per daerah ujian (sebelum ralat)

No.

Daerah Ujian

Jumlah

01.

DKI Jakarta

998

02.

Medan

147

03.

Surabaya

298

04.

Semarang

288

05.

Padang

65

06.

Pontianak

33

07.

Lampung

64

08.

Bandung

481

09.

Mataram

18

10.

Palembang

52

11.

Denpasar

32

12.

Palu

19

13.

Manado

19

 

T O T A L

2.514

 

       

 

 

 

 

 

Sumber : Data diolah dari tabloid Ombudsman No. 29 Tahun III Oktober 2002

Kejanggalan lainnya, ternyata ditemukan juga banyak jaksa aktif yang ternyata mengikuti ujian pengacara praktek. Padahal, jelas-jelas di dalam persyaratan dinyatakan bahwa mereka yang masih berstatus pegawai negeri sipil (PNS) dilarang untuk mengikuti ujian pengacara praktek. Sementara berdasarkan Pasal 11 UU No. 5 tahun 1991 tentang Kejaksaan RI, secara jelas diatur bahwa seorang jaksa tidak boleh merangkap sebagai penasehat hukum.

Menurut Kadafi, kelemahan proses pengangkatan pengacara praktek terjadi karena memang komitmen antara MA dan KKAI tidak dituntaskan. Seharusnya, keseluruhan proses sertifikasi tidak diinstitusionalisasikan hingga ke Pengadilan Tinggi sebagai lembaga yang secara formal berwenang menerbitkan ijin pengacara praktek.

Sehingga, tidak terjadi adanya pengacara praktek yang diangkat sumpahnya oleh Pengadilan Tinggi Jakarta pada 31 Oktober 2002, ternyata  tidak mengikuti ujian kode etik sebagaimana disyaratkan. "Hal ini membuktikan lemahnya pengawasan dan kerjasama dari aparat pengadilan dan KKAI dalam penyelenggaraan pelantikan tersebut," tegas Kadafi.

Momentum perbaikan

Menurut Kadafi, di samping rendahnya pengawasan, terjadinya berbagai persoalan suap selama ini karena memang panitia ujian pengacara praktek tidak memenuhi prinsip-prinsip dalam sertifikasi advokat.

Prinsip-prinsip itu adalah prinsip transparansi, obyektifitas, dan kompetensi. Untuk memenuhi prinsip tranparansi, harus ada informasi yang jelas mengenai persyaratan yang harus dipastikan untuk dipenuhi oleh calon advokat/pengacara praktek.

Selain itu, memang harus ada tahapan-tahapan yang harus dilalui sehubungan sertifikasi advokat/pengacara praktek. Misalnya, batas waktu pendaftaran, waktu pelaksanaan ujian, dan waktu pengumuman hasil ujian. Juga, harus ada sistem evaluasi ujian yang jelas dan dapat digunakan sebagai indikator dalam menentukan kelulusan peserta ujian sertifikasi. Serta, adanya saluran pengaduan bagi peserta yang tidak puas atas proses sertifikasi tersebut.

Sedangkan selama ini, khususnya sebelum ujian 2002, Kadafi menilai penyelenggaraan sertifikasi oleh Pengadilan Tinggi belum mampu memenuhi prinsip obyektifitas. Buktinya, banyak sekali pelanggaran prinsip ini yang dilakukan oleh oknum pengadilan, seperti jual-beli kelulusan.

Pemberian kewenangan penyelenggaraan kepada organisasi advokat juga perlu diberikan rambu-rambu yang jelas agar mereka tidak menciptakan barrier to entry terhadap sarjana hukum yang akan menjadi pengacara praktek. Tujuannya, dalam rangka mengurangi persaingan pasar seperti yang selama ini dikhawatirkan. Karenanya, perlu dilibatkan unsur-unsur nonadvokat dalam penyelenggaraan sertifikasi advokat untuk menjaga obyektifitas.

Seharusnya tambah Kadafi, momentum pelaksanaan ujian sertifikasi advokat/pengacara praktek, tanpa harus menunggu RUU Advokat, dijadikan organisasi advokat untuk menunjukkan keseriusan mereka guna memperbaiki citra organisasi dan profesinya di mata masyarakat. Termasuk, menunjukkan kemauan untuk menerima dan menerapkan prinsip transparansi, obyektifitas, dan kompetensi dalam sistem dan proses sertifikasi.

Melihat kenyataan ini, tampaknya tidak salah bila masyarakat memberikan cap negatif kepada pengacara. Tampaknya, sulit mengharapkan adanya perbaikan dari pengacara. Karena untuk mendapatkan ijin prakteknya saja, para pengacara masih harus menyogok. Apalagi jika sudah jadi pengacara 'betulan', segala cara pun ditempuh untuk memenangkan kliennya. Termasuk, budaya sogok menyogok.

Tidak aneh jika kasus-kasus macam Elza Syarief, pengacara yang dituduh melanggar kode etik, akan terus mencuat. Pasalnya, masih ada pengacara yang tidak peduli terhadap kode etik profesinya sendiri. Mereka lebih memilih mengambil jalan pintas dari pada harus mengikuti aturan. Padahal, sejatinya profesi pengacara adalah profesi terhormat (officium nobile).

Tags: