Jalankan Putusan MA, Perpres Ini Turunkan Iuran BPJS Kesehatan, Tapi…
Utama

Jalankan Putusan MA, Perpres Ini Turunkan Iuran BPJS Kesehatan, Tapi…

Iuran JKN untuk peserta bukan penerima upah (PBPU) dan bukan pekerja (BP) turun untuk bulan April-Juni 2020. Tapi iuran akan naik lagi mulai Juli 2020. Pemerintah memberi bantuan (subsidi) iuran untuk peserta PBPU dan BP kelas III sebesar Rp16.500 untuk tahun 2020 dan Rp7.000 tahun 2021.

Ady Thea DA
Bacaan 2 Menit
Layanan BPJS Kesehatan. Foto: RES
Layanan BPJS Kesehatan. Foto: RES

Mahkamah Agung (MA) telah membatalkan kenaikan iuran JKN dalam Peraturan Presiden (Perpres) No.75 Tahun 2019 tentang Perubahan Atas Perpres No.82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan. Putusan MA bernomor 7P/HUM/2020 itu intinya membatalkan Pasal 34 Perpres No.75 Tahun 2019 yang menaikan iuran peserta BPJS mandiri kategori Pekerja Bukan Penerima Upah (PBPU) dan Bukan Pekerja (BP) untuk seluruh kelas perawatan.

Menindaklanjuti putusan tersebut, pemerintah telah menerbitkan Perpres No.64 Tahun 2020 tentang Perubahan Kedua Atas Perpres No.82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan tertanggal 5 Mei 2020. Dalam konsideran menimbang, putusan MA No. 7P/HUM/2020 digunakan sebagai acuan. “Bahwa untuk menjaga kualitas dan kesinambungan program Jaminan Kesehatan, kebijakan pendanaan Jaminan Kesehatan termasuk kebijakan iuran perlu disinergikan dengan kebijakan keuangan negara secara proporsional dan berkeadilan serta dengan memperhatikan pertimbangan dan amar putusan MA No. 7P/HUM/2020,” demikian bunyi konsideran menimbang huruf a Perpres No.64 Tahun 2020 ini.

Alhasil, Perpres itu menurunkan besaran iuran peserta PBPU dan BP. Untuk ruang perawatan kelas III menjadi Rp25.500 per orang setiap bulan, pemerintah pusat memberikan bantuan iuran sebesar Rp16.500. Jika sebelumnya peserta PBPU atau BP yang bersangkutan iurannya dibayarkan pemerintah daerah, maka iuran itu tetap dibayar pemerintah daerah. Skema pembayaran iuran ini berlaku tahun 2020. (Baca Juga: Alasan MA Batalkan Kenaikan Iuran BPJS Kesehatan)

Namun, iuran akan naik lagi pada tahun 2021 dan tahun berikutnya. Perpres mengatur besaran iuran ruang perawatan kelas III menjadi Rp42.000 dengan rincian peserta membayar Rp35.000, pemerintah pusat dan pemerintah daerah memberi bantuan iuran sebesar Rp7.000. Pemerintah daerah dapat membayarkan seluruh atau sebagian iuran peserta PBPU atau BP untuk ruang perawatan kelas III. Penting untuk diingat, bantuan iuran yang diberikan pemerintah ini hanya untuk peserta PBPU dan BP kelas III yang status kepesertaannya aktif. Sementara iuran bagi peserta PBPU dan BP kelas II sebesar Rp100 ribu dan kelas I sebanyak Rp150 ribu per orang setiap bulan.

Jadi, terhitung Januari, Februari, dan Maret 2020 iuran peserta PBPU dan BP rinciannya yaitu Rp42.000 (Kelas III), Rp110.000 (Kelas II), dan Rp160.000 (Kelas I) yang mengacu Perpres 75 Tahun 2019.. Untuk bulan April, Mei, dan Juni 2020 besaran iuran sebagaimana diatur Perpres No.82 Tahun 2018 yaitu Rp25.500 (Kelas III), Rp51.000 (Kelas II), dan Rp51.000 (Kelas I). Jika iuran yang dibayar peserta PBPU dan BP melebihi ketentuan tersebut, Perpres memerintahkan BPJS Kesehatan untuk memperhitungkan kelebihan pembayaran iuran tersebut dengan pembayaran iuran bulan berikutnya.

Bisa jadi ke depan pemerintah akan mengubah lagi besaran iuran JKN. Sebab, Pasal 38 Perpres No.64 Tahun 2020 mengamanatkan besaran iuran ditinjau paling lama 2 tahun sekali dengan menggunakan standar praktik aktuaria jaminan sosial yang lazim dan berlaku umum. Peninjauan iuran ini setidaknya memperhatikan inflasi, biaya kebutuhan jaminan kesehatan, dan kemampuan membayar iuran.

Kepala Humas BPJS Kesehatan, M Iqbal Anas Ma’ruf mengatakan terbitnya Perpres No.64 Tahun 2020 menunjukan pemerintah telah menjalankan putusan MA. Beleid yang ditetapkan 5 Mei 2020 oleh Presiden Joko Widodo ini mengakomodir aspirasi masyarakat sebagaimana telah disampaikan anggota Komisi IX DPR yakni memberikan bantuan iuran terhadap peserta PBPU dan BP.

Sebagaimana diatur dalam Perpres No.64 Tahun 2020, Iqbal menegaskan iuran peserta PBPU dan BP atau mandiri untuk Januari-Maret 2020 mengikuti Perpres No.75 Tahun 2019 yaitu Rp160.000 (Kelas I), Rp110.000 (Kelas II), dan Rp42.000 (Kelas III). April-Juni 2020 besaran iuran Rp80.000 (Kelas I), Rp51.000 (Kelas II), dan Rp25.500 (Kelas III). “Per 1 Juli 2020, iuran JKN-KIS bagi peserta PBPU dan BP disesuaikan menjadi Rp 150.000 untuk kelas I, Rp 100.000 untuk kelas II, dan Rp 42.000 untuk kelas III,” tuturnya ketika dikonfirmasi, Kamis (14/5/2020).

Kendati Perpres No.64 Tahun 2020 menurunkan iuran peserta PBPU dan BP seperti tertuang dalam Perpres 75 Tahun 2019 dan akan menaikan iuran lagi Juli 2020 nanti, tapi Iqbal mengingatkan ada kebijakan khusus untuk peserta PBPU dan BP kelas III berupa bantuan iuran. Melalui bantuan iuran itu peserta tidak perlu membayar seluruh iuran yang berjumlah Rp42.000 karena pemerintah memberikan bantuan iuran sebesar Rp16.500.

“Iuran peserta PBPU dan BP kelas III tetap dibayarkan sejumlah Rp.25.500,” tegasnya.

Selanjutnya pada tahun 2021 dan tahun berikutnya peserta PBPU dan BP kelas III membayar iuran Rp35.000 dan bantuan iuran yang diberikan pemerintah menjadi sebesar Rp7.000. (Baca Juga: Pemerintah Diminta Transparan dalam Penyusunan Aturan Baru Iuran BPJS Kesehatan)  

Berikut perbandingan beberapa perpres tentang jaminan Kesehatan terkait besaran iuran peserta BPJS mandiri kategori Pekerja Bukan Penerima Upah (PBPU) dan Bukan Pekerja (BP):

Hukumonline.com

Tidak peka

Koordinator Advokasi BPJS Watch Timboel Siregar menilai Perpres No.64 Tahun 2020 membebani masyarakat. Regulasi ini dinilai melanggar UU No.40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional yang mengamanatkan pemerintah membayar iuran untuk masyarakat miskin. Alih-alih menjalankan mandat UU SJSN itu, malah Perpres No.64 Tahun 2020 hanya memberikan subsidi iuran untuk kelas III PBPU dan BP.

Menurut Timboel, pemerintah tidak peka terhadap peserta mandiri karena penurunan besaran iuran sebagaimana putusan MA itu hanya berlaku 3 bulan yakni April-Juni 2020. Pemerintah hanya memberikan bantuan iuran sejak 1 Juli 2020 sebesar RP16.500, dan tahun 2021 subsidinya hanya Rp7.000. Padahal sebagian peserta mandiri merupakan pekerja sektor informal yang terdampak Covid-19. “Ada hal lain yg memberatkan peserta, salah satunya adalah denda naik menjadi 5 persen di tahun 2021, dari sebelumnya hanya 2,5 persen,” ujarnya.

Timboel menilai pertimbangan putusan MA setidaknya mencermati 2 hal yaitu daya beli masyarakat masih rendah dan pelayanan BPJS Kesehatan. Pertimbangan itu yang menjadi dasar majelis MA menurunkan besaran iuran JKN dari RP42.000 (Kelas III) menjadi Rp25.500, Rp110.000 (Kelas II) menjadi Rp51.000, dan Rp160.000 (Kelas I) menjadi Rp80.000. Mengacu putusan MA itu, pemerintah seharusnya berupaya dulu meningkatkan daya beli masyarakat dan pelayanan BPJS Kesehatan, kemudian menaikan iuran JKN.

Apalagi situasi pandemi Covid-19 saat ini, menurut Timboel sangat jelas memukul daya beli masyarakat dan pelayanan BPJS Kesehatan pun menurun. Dia mencontohkan ada peserta yang butuh rawat inap, tapi disyaratkan harus mengikuti tes Covid-19 dengan membayar Rp750 ribu. Karena tak mampu bayar, peserta pulang ke rumah, padahal peserta yang bersangkutan butuh rawat inap. Akhirnya peserta meninggal di rumah. “Pasal 86 Perpres No.82 Tahun 2018 mengatur tegas pasien JKN tidak boleh diminta biaya lagi,” tegasnya.

Dia menghitung dalam RKAT BPJS Kesehatan tahun 2020, pos penerimaan ditargetkan Rp137 triliun. Target itu direvisi menjadi Rp132 triliun karena putusan MA. Pemerintah telah menambah Rp3 triliun yang merupakan bagian dari Rp75 triliun alokasi APBN untuk penanganan Covid-19. Total penerimaan BPJS Kesehatan menjadi Rp135 triliun, bahkan bisa ditambah dari pendapatan pajak rokok sekitar Rp5 triliun jika pemerintah daerah membayar pajak rokok sesuai Pasal 99 dan 100 Perpres No.82 Tahun 2018.

“Dari analisa tersebut tahun ini BPJS Kesehatan bisa surplus Rp1,7 triliun. Surplus bisa lebih besar jumlahnya jika BPJS Kesehatan serius mengawasi fraud di fasilitas kesehatan,”

Timboel berharap pemerintah segera melakukan cleansing data PBI (Penerima Bantuan Iuran). Jika peserta PBPU dan BP kelas III ada yang miskin, maka perlu dimasukan dalam penerima bantuan iuran (PBI). Sebab, menaikan iuran dalam situasi saat ini tidak tepat, dan masih banyak cara (solusi) yang bisa dilakukan untuk mengatasi defisit dana jaminan sosial program JKN ini.

Tags:

Berita Terkait