Fatma menjelaskan butuh fisioterapi setidaknya selama enam bulan untuk para korban amputasi bisa beradaptasi dengan kondisi disabilitas. Padahal, saat ini tidak ada layanan medis yang layak bahkan untuk perawatan dasar. “Bahkan klinik milik UNRWA (United Nations Relief and Works Agency for Palestine Refugees-red.) tidak mampu menangani kasus ini,” kata Fatma.
Bisa dikatakan para penyandang disabilitas saat ini termasuk kalangan paling rentan di antara para korban yang bertahan hidup. Amna Care Fund yang dipimpin Fatma adalah salah satu lembaga kemanusiaan yang berhasil bertahan untuk fokus menangani penyandang disabilitas di Gaza. “Bahkan klinik milik UNRWA (United Nations Relief and Works Agency for Palestine Refugees-red.) tidak mampu menangani kasus ini,” kata Fatma. Ia mengajak untuk memperhatikan lebih banyak para penyandang disabilitas yang menjadi korban sangat rentan di Gaza.
Abdul Kadir Jailani, Direktur Jenderal Asia, Pasifik dan Afrika, Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia mengakui eksistensi Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) terbukti tidak efektif. Hingga saat ini Dewan Keamanan PBB tidak melakukan sesuatu yang berarti untuk menyelamatkan para korban yang terus berjatuhan. “Kita tetap butuh Dewan Keamanan PBB, tapi perlu mereformasi keanggotaan dan proses pengambilan keputusan,” katanya.
Kadir menjelaskan Indonesia sudah melakukan semua yang mampu dilakukan sebagai sebuah negara dan bangsa untuk menyelamatkan para korban di Palestina. Upaya diplomasi dan hukum internasional telah ditempuh Indonesia. “Israel hanya tidak mungkin memenangkan legitimasi moral atas eksistensinya. Indonesia harus ikut terus dukung soal legitimasi moral terhadap Palestina,” katanya.