Jumlah Pidana Pemilu Serentak 2019 Meningkat Tajam
Berita

Jumlah Pidana Pemilu Serentak 2019 Meningkat Tajam

Meningkat 58,3 persen jika dibandingkan Pemilu 2014. ​​​​​​​Ironisnya, saat penjatuhan vonis terdapat pula disparitas atau perbedaan putusan dalam kasus yang sama.

Moch Dani Pratama Huzaini
Bacaan 2 Menit

 

Secara keseluruhan, 320 kasus dinyatakan terbukti dan divonis bersalah. Baik di tingkat pengadilan negeri maupun banding. Sementara itu, terdapat 28 kasus yang divonis bebas atau lepas, 170 kasus divonis dengan pidana bersyarat atau percobaan, 131 kasus divonis dengan penjara/ditahan, dan 14 kasus divonis dengan tanpa dihadiri oleh terdakwa.

 

Melalui penelitian ini juga diketahui bahwa jenis pelanggaran pidana pemilu dengan jumlah terbanyak yakni politik uang sebanyak 72 kasus, kemudian mengubah hasil perolehan uara (manipulasi) sebanyak 56 kasus, mencoblos lebih dari satu surat suara sebanyak 46 kasus, kepala desa yang tidak netral 30 kasus, kampanye di tempat ibadah/pendidikan sebanyak 19 kasus, dan seterusnya.

 

Aktor pelaku terbanyak yang ditampilkan dalam laporan penelitian ILR ini adalah calon anggota legislatif. Diketahui caleg yang melakukan tindak pidana sebanyak 86 orang. Warga masyarakat sebanyak 59 orang, tim sukses dan pendukung sebanyak 33 orang, kepala desa sebanyak 30 orang, PPK 26 orang, KPPS 22 orang, ASN-Birokrat 22 orang.

 

Baca:

 

ILR memiliki sejumlah catatan dalam laporan penelitiannya. Menurut Firmansyah, catatan tersebut seperti penegakan hukum pidana pemilu 2019 yang cenderung memberikan vonis ringan maupun percobaan. “Tren vonis seperti ini tentu sulit memberikan efek jera bagi para pelaku” ujar Firmansyah.

 

Tercatat, 190 kasus divonis 1-3 bulan dan 170 kasus divonis pidana bersyarat atau percobaan. Paling berat divonis pidana penjara 2 tahun, serta tidak satupun penyelenggara pelaku pidana pemilu yang hukumannya ditambah 1/3. Firmansyah menyebutkan, dalam vonis terdapat pula disparitas atau perbedaan putusan dalam kasus yang sama.

 

“Putusan memang menjadi kewenangan hakim, namun jika terjadi perbedaan dalam putusan akan menjadi problematika tersendiri dalam proses penegakan hukum pidana. Disparitas putusan menunjukkan bagaimana tingkat kesungguhan hakim dalam menangani kasus pidana pemilu,” ujar Firmansyah.

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait