'Jurus' Optimalkan Penerimaan Pajak di Tengah Pandemi Covid-19
Berita

'Jurus' Optimalkan Penerimaan Pajak di Tengah Pandemi Covid-19

Penerimaan pajak pada sektor digital yang akan dimulai pada 1 Juli 2020, perlu dioptimalkan.

Mochammad Januar Rizki
Bacaan 2 Menit
Ilustrasi: BAS
Ilustrasi: BAS

Penerimaan negara melalui pajak berisiko turun sepanjang tahun ini lantaran pandemi corona virus disease 2019 (Covid-19). Hal ini terjadi karena sebagian besar wajib pajak badan dan perorangan berkurang bahkan kehilangan kemampuannya memenuhi kewajiban membayar pajak.

Penerimaan pajak hanya terealisasi Rp376,67 triliun atau 22,93% terhadap target Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara atau dengan kata lain mengalami perlambatan 3,1% year on year (yoy). Atas persoalan tersebut, salah satu kebijakan yang dilakukan pemerintah untuk mengoptimalkan penerimaan dengan memberlakukan pungutan pajak pada pemanfaatan impor produk digital dalam bentuk barang tidak berwujud maupun jasa oleh konsumen di dalam negeri yang dikenai pajak pertambahan nilai sebesar 10 persen.

Pemungutan, penyetoran, dan pelaporan PPN atas produk digital yang berasal dari luar negeri tersebut akan dilakukan oleh pelaku usaha perdagangan melalui sistem elektronik (PMSE) yaitu pedagang atau penyedia jasa luar negeri, penyelenggara perdagangan melalui sistem elektronik (PMSE) luar negeri, atau penyelenggara PMSE dalam negeri yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan melalui Direktur Jenderal Pajak, dan mulai berlaku 1 Juli 2020.

“Pengenaan PPN atas pemanfaatan produk digital dari luar negeri merupakan bagian dari upaya pemerintah untuk menciptakan kesetaraan berusaha (level playing field) bagi semua pelaku usaha khususnya antara pelaku di dalam negeri maupun di luar negeri, serta antara usaha konvensional dan usaha digital,” kutip Direktorat Jenderal Pajak dalam keterangan persnya, Selasa (26/5).

Dengan berlakunya ketentuan ini maka produk digital seperti langganan streaming music, streaming film, aplikasi dan games digital, serta jasa online dari luar negeri akan diperlakukan sama seperti berbagai produk konvensional yang dikonsumsi masyarakat sehari-hari yang telah dikenai PPN, serta produk digital sejenis yang diproduksi oleh pelaku usaha dalam negeri.

Pelaku usaha PMSE yang memenuhi kriteria nilai transaksi atau jumlah traffic tertentu dalam waktu 12 bulan ditunjuk oleh Menteri Keuangan melalui Direktur Jenderal Pajak sebagai pemungut PPN. Pelaku usaha yang telah memenuhi kriteria tetapi belum ditunjuk sebagai pemungut PPN dapat menyampaikan pemberitahuan secara online kepada Direktur Jenderal Pajak. (Baca: Memprediksi Masa Depan Sektor Perpajakan yang ‘Terpukul’ Pandemi)

Sama seperti pemungut PPN dalam negeri, pelaku usaha yang ditunjuk juga wajib menyetorkan dan melaporkan PPN. Penyetoran PPN yang telah dipungut dari konsumen wajib dilakukan paling lama akhir bulan berikutnya, sedangkan pelaporan dilakukan secara triwulanan paling lama akhir bulan berikutnya setelah periode triwulan berakhir.

Pengaturan lengkap mengenai tata cara pemungutan, penyetoran, dan pelaporan PPN dapat dilihat pada Peraturan Menteri Keuangan Nomor 48/PMK.03/2020. Kriteria dan daftar pelaku usaha yang ditunjuk sebagai pemungut PPN atas produk digital dari luar negeri akan diumumkan kemudian. Selain untuk menciptakan kesetaraan antar pelaku usaha, penerapan PPN produk digital dari luar negeri ini juga diharapkan dapat meningkatkan penerimaan negara yang saat ini sangat penting sebagai sumber pendanaan untuk menanggulangi dampak ekonomi dari wabah Covid-19.

Rekomendasi pengoptimalan penerimaan pajak dari sektor digital juga diutarakan Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA). Research Manager CITA, Fajry Akbar menyatakan rendahnya pertumbuhan penerimaan pajak periode ini adalah bukti bahwa aktivitas ekonomi sedang mengalami gangguan serius akibat pandemi Covid-19. Akibatnya, pemungutan pajak tahun ini kemungkinan besar akan sangat berat.

Apalagi, pemerintah telah dan masih terus akan menggelontorkan insentif perpajakan demi memulihkan ekonomi nasional yang totalnya mencapai Rp123,01 triliun. Melihat sinyal perlambatan yang sudah mulai bulan ini, kita harus siap menghadapi shortfall pajak yang diproyeksikan akan mencapai Rp388 triliun pada akhir tahun nanti.

Untuk mengantisipasi hal itu, dia menyatakan pemerintah dapat memetakan sektor-sektor potensial yang mampu bertahan di tengah pandemi Covid-19. Melalui Perppu No. 1/2020, yang kini telah menjadi Undang-Undang No. 2/2020, pemerintah harus bisa mengoptimalkan penerimaan dari transaksi perdagangan melalui sistem elektronik (PMSE) dengan memperhatikan efektivitas pemungutan dan komunikasi yang baik dengan para pemangku kepentingan demi menjamin fairness.

Peneliti CITA Dwinda Rahman menyatakan meski dalam situasi sekarang dapat dimaklumi, pemerintah diharapkan tidak lagi melakukan perubahan APBN dengan cepat dan tiba-tiba. Dalam kadar tertentu, perubahan APBN yang cepat dan tiba-tiba mengindikasikan analisis yang kurang mendalam. Menurutnya, perubahan yang tiba-tiba juga akan membuat semua kebijakan menjadi tidak fokus dan membingungkan dunia usaha.

“Kredibilitas fiskal kita dipertaruhkan. Pemerintah harus melakukan segala daya untuk memaksimalkan potensi yang ada. Jangan sampai pelonggaran defisit membuat lalai dan situasi ekonomi kita jatuh tak terkendali. APBN harus tetap dikelola dengan tertib, taat pada peraturan perundang-undangan, efisien, ekonomis, efektif, transparan, prudent, dan bertanggung jawab dengan memperhatikan rasa keadilan demi hajat hidup orang banyak,” jelas Dwinda.

Tags:

Berita Terkait