Justifikasi Teoritis Pilihan Hukum: Perdebatan Dua Perspektif
Kolom

Justifikasi Teoritis Pilihan Hukum: Perdebatan Dua Perspektif

Dua perspektif teoritis pilihan hukum ini mendasarkan pada sudut pandang kedaulatan negara dan perspektif kedaulatan para pihak.

Bacaan 8 Menit

Ini berarti bahwa para pihak memiliki kekuasaan tertinggi dalam hubungan kontraktual mereka. Berdasar pada otonomi yang melekat pada mereka, para pihak bebas untuk menundukkan kontrak mereka pada hukum apa pun, pada prinsip-prinsip kebiasaan hukum perdata, atau pada berbagai instrumen internasional. Akibatnya, sesuai dengan otonomi mereka, mereka juga dapat menyatakan tidak tunduk pada kaidah memaksa dari hukum yang telah dipilih, dan tidak terikat oleh perubahan selanjutnya dalam hukum yang dipilih, kecuali mereka menyatakan sebaliknya (Peter Nygh 1999).

Di bawah panji perspektif ini, diargumentasikan pula bahwa pilihan hukum harus dianggap sebagai doktrin yang berbasis pada hak asasi manusia (Erik Jayme 1995). Dasar pilihan hukum terletak pada kebebasan individu dalam persoalan pribadi dan komersialnya, sebagaimana diakui dalam The Universal Declaration of Human Rights.

Institut de Droit International mengadopsi pandangan ini dan dinyatakan dalam Session of Basel – 1991 on the Autonomy of the Parties in International Contracts Between Private Persons or Entities, "… autonomy of the parties has also been enshrined as a freedom of the individual in several conventions and various United Nations resolutions …".

Sejalan dengan pandangan ini, pendapat lain menambahkan bahwa kedaulatan negara dilihat sebagai lahir dan didasari oleh kehendak individu melalui kontrak sosial. Dengan demikian, kehendak individu dipandang berada di atas kedaulatan negara, karenanya harus diprioritaskan. Merujuk pada pemahaman ini, kehendak para pihak untuk menentukan hukum yang berlaku untuk kontrak mereka tidak dapat dianggap sebagai pelanggaran terhadap kedaulatan negara (Jürgen Basedow 2013).

Namun demikian, pendapat yang melihat pilihan hukum berdasar pada hak asasi manusia juga tak luput dari kritik karena dianggap kontradiktif dalam situasi yang melibatkan badan hukum seperti perusahaan, karena keberadaan suatu badan hukum bergantung pada hukum negara (Alex Mills 2018).

Selain itu, kebutuhan akan kepastian kontrak juga telah dikemukakan sebagai alasan untuk membenarkan kebebasan para pihak untuk menetapkan hukum yang berlaku untuk kontrak mereka. Penyusunan kontrak, terutama dalam konteks lintas batas negara, sangat bervariasi dan bergantung pada skema transaksinya.

Sampai saat ini, belum ada kesepakatan yang berlaku seragam untuk semua negara mengenai titik-titik pertalian objektif untuk menentukan hukum yang berlaku untuk kontrak. Menyerahkan penetapan hukum yang mengatur kontrak ke pengadilan nasional dinilai menimbulkan ketidakpastian karena setiap pengadilan, dengan merujuk pada ketentuan HPI-nya, memiliki pengertian dan interpretasi masing-masing mengenai titik-titik pertalian objektif dalam menentukan hukum yang berlaku untuk kontrak.

Dengan demikian, para pihak dianggap memiliki posisi terbaik untuk menentukan hukum yang paling sesuai dengan kebutuhan dan kepentingan hubungan kontraktual mereka sebagai hukum yang berlaku untuk kontrak (Peter Nygh 1999; Matthias Lehmann 2008; Alex Mills 2018; the HCCH Principles 2015).

*)Priskila P. Penasthika adalah mahasiswi program doktor pada Erasmus Graduate School of Law di Erasmus University Rotterdam, Belanda. Dosen Hukum Perdata Internasional pada Fakultas Hukum Universitas Indonesia.

Artikel kolom ini adalah tulisan pribadi Penulis, isinya tidak mewakili pandangan Redaksi Hukumonline.

Tags:

Berita Terkait