Justifikasi Teoritis Pilihan Hukum: Perdebatan Dua Perspektif
Kolom

Justifikasi Teoritis Pilihan Hukum: Perdebatan Dua Perspektif

Dua perspektif teoritis pilihan hukum ini mendasarkan pada sudut pandang kedaulatan negara dan perspektif kedaulatan para pihak.

Bacaan 8 Menit

Selain itu, pilihan hukum tidak dapat dianggap sekadar sebagai salah satu titik pertalian objektif untuk melokalisasi kontrak ke hukum nasional tertentu. Sebab, pilihan para pihak itu sendiri merupakan titik pertalian penentu dan utama untuk hukum yang berlaku untuk kontrak (Ralf Michaels 2013; Yuko Nishitani 2016; Alex Mills 2018, Mukarrum Ahmed 2018).

Di sisi lain, para pihak belum tentu memilih hukum yang secara objektif memiliki hubungan paling dekat dengan kontrak. Para pihak dapat saja memilih suatu hukum untuk berlaku atas kontrak mereka karena hukum tersebut dianggap netral atau merupakan hukum yang secara kebiasaan selalu dipilih untuk transaksi yang mereka lakukan. Pilihan hukum juga tidak dapat serta merta dijustifikasi dengan menggunakan gagasan kedaulatan negara karena dalam ranah pilihan hukum, pihak swasta-lah yang memiliki otoritas pengaturan atas hubungan kontraktual mereka.

Diskusi dan berbagai karya akademis yang terus berkembang di luar Indonesia menunjukkan dua perspektif utama yang mencoba memberikan justifikasi teoretis untuk pilihan hukum. Pendapat pertama mendasarkan pada sudut pandang kedaulatan negara, sedangkan pendapat yang kedua melihat dari perspektif kedaulatan para pihak.

Perspektif Kedaulatan Negara

Dari perspektif kedaulatan negara, kebebasan para pihak untuk memilih hukum yang berlaku untuk kontrak mereka bersumber dari negara. Dengan perspektif ini, para pihak diperbolehkan untuk memilih hukum yang berlaku karena negara memungkinkan mereka untuk melakukannya, bukan karena mereka memiliki kekuasaan pengaturan yang otonom.

Perspektif ini bergantung pada gagasan tradisional hukum internasional bahwa kedaulatan hanyalah milik negara. Dengan demikian, kendali atas otoritas pengaturan dipegang secara tunggal oleh negara.

Oleh karena itu, hukum domestik dari suatu negara memegang kendali tertinggi atas pilihan hukum para pihak, termasuk menentukan bagaimana dan sejauh mana kebebasan memilih hukum tersebut dapat dilakukan (A. Thomson 1980; Frank Vischer 1992; Peter Nygh 1999). Dengan kata lain, para pihak hanya diperbolehkan untuk menggunakan kebebasan mereka untuk memilih hukum sejauh diizinkan oleh negara.

Perspektif ini menerima banyak kritik karena tidak mampu menjawab pertanyaan mengapa hukum nasional suatu negara memberikan kebebasan kepada para pihak untuk memilih hukum (Matthias Lehmann 2008; Alex Mills 2018). Tanggapan balik terhadap kritik ini berargumen bahwa kebebasan para pihak untuk memilih hukum yang berlaku untuk kontrak mereka terkait dengan kebebasan mereka untuk membuat dan menyepakati suatu kontrak.

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait