Kalangan Parlemen Suarakan Penundaan Tahapan Pilkada
Berita

Kalangan Parlemen Suarakan Penundaan Tahapan Pilkada

Bila situasi kasus positif Covid-19 terus mengalami peningkatan di seluruh Indonesia, sehingga penundaan pilkada patut dipertimbangkan.

Rofiq Hidayat
Bacaan 4 Menit

Beberapa alasan yang melandasi DPD meminta penundaan tahapan pelaksanan pilkada serentak. Pertama, fakta dan kondisi yang terjadi belakangan membuktikan penularan Covid-19 di sejumlah daerah yang menggelar pilkada semakin masif. Berdasarkan data KPU, terdapat 60 calon kepala daerah positif Covid-19 yang tersebar di 21 daerah.

Kedua, kasus positif Covid-19 juga terjadi di penyelenggara pilkada. Tak hanya di tingkat pusat, namun juga daerah. Misalnya, salah satu komisioner KPU teridentifikasi Covid-19 setelah sebelumnya 21 pegawainya mengalami hal serupa. Ketiga, jumlah kasus baru positif Covid-19 pada September per hari mencapai 3.000-an orang. Sedangkan Agustus rata-rata 2.000-an kasus per hari.

Keempat, temuan Bawaslu mencengangkan yakni terjadi 243 pelanggaran protokol kesehatan saat pendaftaran bakal pasangan calon kepala. Seperti, arak-arakan atau kegiatan mengumpulkan banyak orang jelang proses pendaftaran. Kelima, pelaksanaan pilkada pada 9 Desember 2020 mendatang bakal memperburuk sendi demokrasi di daerah akibat maraknya pasangan calon tunggal melawan kotak kosong.

“Sebagai bentuk komitmen dan tanggung jawab kepada 105 juta pemilih, Komite I akan senantiasa menyampaikan penolakan pelaksanaan Pilkada pada Desember 2020 dan mendorong pemerintah untuk menundanya di Tahun 2021,” ujar senator asal Aceh itu.

Usul sanksi diskualifikasi

Sementara anggota Komisi IX DPR Saleh Partaonan Daulay menilai proses tahapan pilkada telah dilaksanakan sesuai dengan agenda yang ada. Namun dari aspek pelaksana, tahapan yang telah berjalan perlu evaluasi dan kritik. Seperti banyaknya pasangan calon, tim sukses, dan masyarakat pendukung, mengabaikan protokol kesehatan. “Kalau fenomena seperti ini berlanjut pada tahapan berikut, tentu ini sangat berbahaya. Apalagi, jumlah orang yang terpapar semakin hari semakin tinggi,” kata dia.

Dia mendorong KPU, Bawaslu dan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) agar berperan aktif menertibkan pasangan calon serta pendukung. “Kalau perlu, dibuat aturan yang melanggar protiokol Kesehatan dapat mendiskualifikasi paslon. Kalau hanya sekedar teguran lisan dan tulisan, sepertinya tidak efektif. Aturan yang dibuat harus lebih tegas lagi,” ujarnya.

Politisi Partai Amanat Nasional (PAN) itu berpendapat, bila pasangan calon dan para pendukungnya dapat ditertibkan, pelaksanaan pilkada dapat dilanjutkan. Sebaliknya, bila masih terdapat pelanggaran protokol kesehatan dan meningkatkan kasus positif Covid-19 di daerah tempat penyelenggaraan pilkada, maka mesti ditunda tanpa alasan. Baginya, faktor kesehatan tetap harus menjadi prioritas dalam pelaksanaan pilkada ini.

“Jangan sampai ada masyarakat yang terpapar hanya karena ikut menegakan demokrasi. Keselamatan dan kesehatan masyarakat harus menjadi prioritas. Keterlibatan semua pihak dalam hal ini sangat diperlukan,” kata Wakil Ketua Majelis Kehormatan Dewan (MKD) itu.

Sebelumnya, Menteri Koordinator Politik Hukum dan HAM (Menkopolhukam) Mahfud MD berpendapat pilihan menunda pelaksanaan pilkada serentak hingga pandemi Covid-19 rampung tidaklah rasional. Pasalnya berdasarkan penelitian tak ada satupun yang dapat memastikan kapan berakhirnya pandemi Covid-19. Menurutnya, bila menunda, bakal terdapat pelaksana tugas kepala daeran di 270 daerah. Langkah tersebut pun tak dapat pula dibenarkan.

“Oleh sebab itu, enggak rasional kalau usul menunda pilkada hanya karena menunggu selesai Covid-19, tidak jelas juga kapal (selesainya, red),” katanya.

Tags:

Berita Terkait