Karhutla: Negara Baru Terima Rp78 Miliar dari Total Nilai Gugatan Rp3,15 Triliun
Berita

Karhutla: Negara Baru Terima Rp78 Miliar dari Total Nilai Gugatan Rp3,15 Triliun

Sisanya, pemerintah masih dalam proses upaya penegakan hukum.

M. Agus Yozami
Bacaan 2 Menit
Ilustrasi kebakaran hutan. Foto: RES
Ilustrasi kebakaran hutan. Foto: RES

Sebanyak sembilan perusahaan yang ditetapkan tersangka kasus kebakaran hutan dan lahan (Karhutla) oleh pemerintah melalui Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) telah inkracht atau berkekuatan hukum tetap berdasarkan putusan pengadilan.

 

"Dari sembilan gugatan perdata yang telah inkracht itu nilai gugatannya Rp3,15 triliun," kata Direktorat Jenderal (Dirjen) Penegakan Hukum (Gakkum) KLHK Rasio Ridho Sani, seperti dikutip Antara di Gedung KLHK RI Jakarta, Selasa (1/10).

 

Sejauh ini penegakan hukum yang dilakukan KLHK berupa pemberian sanksi administratif sebanyak 212. Kemudian 17 gugatan hukum hingga pemidanaan. Terkait pemberian sanksi administrasi, sebanyak 77 berupa paksaan pemerintah, 16 pembekuan izin, tiga pencabutan izin dan 115 pemberian surat peringatan.

 

Saat ini kementerian terkait melalui Dirjen Gakkum sedang melakukan proses eksekusi terhadap putusan-putusan yang telah inkracht. Proses eksekusi akan dilakukan dan bekerjasama dengan pengadilan negeri tempat perusahaan tersebut.

 

Pemerintah terus berkoordinasi secara intensif bersama pengadilan negeri untuk mempercepat upaya eksekusi yang telah berkekuatan hukum tetap. Dari total nilai Rp3,15 triliun tersebut baru Rp78 miliar disetorkan ke rekening negara. "Uang tersebut masuk ke rekening negara karena termasuk penerimaan negara bukan pajak," katanya.

 

Sedangkan sisanya, pemerintah masih dalam proses upaya penegakan hukum. Sebagai contoh eksekusi di Pengadilan Negeri (PN) Nagan Raya Aceh dengan nilai Rp360 miliar terhadap kasus Karhutla di wilayah PT Kallista Alam.

 

Koordinasi terus dilakukan dan saat ini dalam tahap penilaian aset PT Kallista Alam yang akan dilelang untuk membayar ganti rugi tersebut. Kemudian pemerintah juga sedang proses pengiriman surat ke sejumlah PN untuk segera melakukan pemanggilan pihak terkait.

 

"Ada tujuh surat sudah kami kirimkan ke pengadilan, artinya ada tujuh perusahaan harus membayar ganti rugi ini," ujar dia.

 

Pemerintah terus berupaya semaksimal mungkin untuk penegakan hukum serta mengejar para pelaku Karhutla yang terjadi di sejumlah Tanah Air hingga mempercepat proses eksekusi.

 

Kemudian, katanya, penegakkan hukum pidana terus diintensifkan serta sanksi administrasi dipertegas bagi perusahaan yang terbukti bersalah dalam kasus Karhutla. Upaya itu tidak hanya dilakukan untuk kasus 2019 namun juga kasus 2015.

 

Pemerintah akan terus mengejar para pelaku kejahatan Karhutla dengan menggunakan instrumen yang ada. Namun, proses eksekusi tetap berada di tangan PN setempat. Ia mengatakan proses penanganan Karhutla hingga berkekuatan hukum tetap baru terlaksana beberapa tahun terakhir. Sehingga PN belum memiliki pengalaman untuk mengeksekusi.

 

"Namun kami terus berkoordinasi dengan PN Palembang, PN Pekanbaru, PN Jambi, PN Nagan Raya, PN Jakarta Selatan untuk mempercepat proses hukum," kata dia.

 

 

Tiga Instrumen Hukum

Rasio Ridho Sani menjelaskan KLHK menerapkan tiga instrumen dalam upaya penegakkan hukum serta menindak tegas para pelaku kejahatan kebakaran hutan dan lahan (Karhutla) yang terjadi di sejumlah daerah. "Instrumen pertama adalah sanksi administratif," katanya.

 

Ia menjelaskan sanksi administratif tersebut dapat dilakukan secara paksa oleh pemerintah kepada perusahaan yang terbukti bersalah. Paksaan itu berupa perbaikan kinerja dan penanggulangan Karhutla.

 

Paksaan tersebut tidak hanya sebatas pencegahan dan perbaikan namun juga penekanan penyelamatan lingkungan secara menyeluruh. Lebih jauh, sanksi administratif juga bisa berujung pada pembekuan maupun pencabutan izin perusahaan.

 

Ia mengatakan jika perusahaan tidak mau mematuhi sanksi yang dijatuhkan pemerintah, maka KLHK melalui Dirjen Gakkum bisa mempidanakan. Sebagai contoh kasus PT Kaswari Unggul.



Pada wilayah perusahaan PT Kaswari Unggul terjadi kebakaran sehingga pemerintah meminta untuk dilakukan upaya perbaikan serta pengelolaan lingkungan khususnya pencegahan Karhutla. Namun, hal itu diabaikan sehingga dipidanakan. "Tidak hanya kami pidanakan, mereka juga kami perdatakan," ujar dia.

 

Selanjutnya, pemerintah menggunakan instrumen penegakan hukum perdata. Dalam hal ini perusahaan yang lokasinya terbakar digugat berupa ganti rugi lingkungan serta pemulihan.
"Ada 17 gugatan perdata yang kita lakukan terhadap kasus Karhutla," ujarnya.

 

Secara umum terdapat 25 gugatan perdata yang telah diajukan Dirjen Gakkum ke pengadilan. 17 di antaranya merupakan kasus Karhutla. Pemerintah menilai Karhutla merupakan suatu kejahatan luar biasa melawan hukum karena berdampak secara luas.

 

"Karhutla ini menjadi prioritas kami, oleh karena itu 17 yang kami gugat sembilan di antaranya sudah inkrah dengan nilai Rp3,15 triliun," katanya.

 

Terakhir, penegakan hukum menggunakan instrumen pidana yang dilakukan bersama aparat kepolisian. Sejauh ini sudah ada empat perusahaan yang telah sampai tahap P21 dan memiliki putusan pengadilan.

 

Kasus karhutla 2019 terdapat delapan perusahaan yang telah ditetapkan tersangka. Jumlah itu diyakininya akan terus bertambah karena pemerintah bertindak secara keras dan tegas bagi pelaku kejahatan Karhutla.

 

(Baca: Penegakan Hukum Karhutla Dinilai Tidak Serius)

 

Sebelumnya, Manager Kajian Eksekutif Nasional WALHI Boy Even Sembiring mengingatkan Presiden Joko Widodo akan janjinya untuk menegakan hukum secara tegas terhadap pelaku karhutla, baik itu pelakunya korporasi maupun perorangan.

 

Menurutnya, sejak tahun 2014 dan kebakaran besar di tahun 2015 serta tahun berikutnya Jokowi menyatakan janji yang sama. Tapi pernyataan itu seolah tak “bergigi” karena kebakaran terus berulang setiap tahun saat musim kemarau.

 

Boy melihat kepolisian mengklaim telah memproses 185 tersangka perorangan dan 4 korporasi. Penegakan hukum yang dilakukan kepolisian lebih banyak menyasar individu ketimbang korporasi. Mengacu penanganan perkara pidana dalam kasus karhutla yang dilakukan Polri tahun 2015, dari 18 korporasi yang ditetapkan sebagai tersangka, 15 di antaranya perkaranya dihentikan (SP3).

 

Boy khawatir perkara yang saat ini ditangani kepolisian bernasib sama, sebagian besar bakal mandeg. “Bagi kami pendekatan hukum yang menyasar korporasi ini tidak serius, hanya main-main saja. Jargon penegakan hukum pidana hanya ‘pemanis’ untuk menyenangkan publik,” kata Boy dalam jumpa pers di Jakarta, Rabu (18/9) lalu.

 

Hal serupa, menurut Boy dilakukan KLHK yang mengklaim telah menyegel puluhan lahan konsesi korporasi yang terbakar. Dalam menangani kasus karhutla tahun 2015, Boy mencatat KLHK melakukan penyegelan, tapi tidak banyak korporasi yang diproses sampai tingkat pengadilan.

 

Begitu pula sanksi administratif yang dijatuhkan KLHK kepada perusahaan yang lahan konsesinya terbakar. Lalu, sanksi itu dicabut ketika kebakaran usai karena masuk musim hujan. (ANT)

 

Tags:

Berita Terkait