Kasus Gagal Bayar Momentum Reformasi Industri Asuransi
Utama

Kasus Gagal Bayar Momentum Reformasi Industri Asuransi

Salah satu aspek yang harus ditekankan dalam industri asuransi adalah pentingnya penerapan tata kelola perusahaan, manajemen risiko korporasi, dan kepatuhan terhadap peraturan (governance risk compliance/GRC).

M. Agus Yozami
Bacaan 4 Menit
Ilustrasi: HOL
Ilustrasi: HOL

Permasalahan gagal bayar yang menimpa PT Asuransi Jiwasraya (Persero) dinilai dapat menjadi momentum melakukan reformasi industri asuransi nasional guna mengembalikan kepercayaan masyarakat. Hal ini disampaikan Direktur Kepatuhan dan SDM Jiwasraya R. Mahelan Prabantarikso dalam sebuah webinar bertajuk "Momentum Reformasi Industri Asuransi di Indonesia".

"Masalah yang dihadapi Jiwasraya saat ini harus bisa menjadi titik balik dalam reformasi industri asuransi,” kata Mahelan seperti dikutip Antara.

Menurutnya, salah satu aspek yang harus ditekankan dalam industri asuransi adalah pentingnya penerapan tata kelola perusahaan, manajemen risiko korporasi, dan kepatuhan terhadap peraturan (governance risk compliance/GRC), sehingga terintegrasi dalam mencegah konflik kepentingan.

Mahelan menjelaskan, dirinya bersama jajaran manajamen baru Jiwasraya telah menemukan pelaksanaan manajemen risiko yang tidak optimal. Kondisi itu bahkan terjadi hingga masalah gagal bayar mencuat ke publik pada Oktober 2018. "Di Jiwasraya, kami temukan banyak unit yang manajemen risikonya tidak optimal, misalnya dalam menjalankan investasi tidak prudent. Karena itu penting terdapat GRC," ujar Mahelan.

Ia menerangkan, tata kelola perusahaan menjadi salah satu faktor penyebab terjadinya gagal bayar di Jiwasraya hingga menyebabkan ekuitas perusahaan yang menjadi negatif Rp38,7 triliun. Bahkan, isu tersebut turut terjadi di sejumlah perusahaan hingga membawa citra buruk bagi industri asuransi. (Baca: Lagi, Jiwasraya Dimohonkan PKPU)

Berkaca dari kasus Jiwasraya, para pelaku industri dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) pun akan menerapkan manajemen aset dan liabilitas (ALM) dan sepakat bahwa tata kelola menjadi sangat krusial untuk menggenjot pertumbuhan industri dengan lebih optimal.

Deputi Komisioner Pengawas Industri Keuangan Non Bank (IKNB) II OJK, Moch. Ihsanuddin menjelaskan, ada penanganan khusus bagi perusahaan-perusahaan asuransi yang sedang bermasalah agar kondisi perusahaan segera membaik dan nasabah tidak menjadi korban.

"Pertama, kami fokus pendalaman, root cause sebetulnya masalah yang dihadapi perusahaan itu apa saja. Kami diskusikan bersama dengan manajemen, kalau perlu dengan pemegang saham, salah satunya mempelajari apakah ini masalah baru atau warisan," ujarnya.

Setelah akar permasalahan terpetakan, OJK bersama perusahaan terkait menyusun mekanisme atau solusi untuk menyelesaikan masalah. OJK pun turut menelaah dampak permasalahan perusahaan itu terhadap industri lembaga jasa keuangan terkait.

Kedua, OJK akan menerapkan risk based supervision sesuai kondisi masing-masing perusahaan, didukung dengan pengembangan infrastruktur yang memadai.

Menurutnya, pengawasan terintegrasi bagi konglomerasi keuangan ataupun para individu perusahaan akan meningkatkan pengawasan bersama antar bidang, baik perbankan dan pasar modal, untuk memaksimalkan upaya penyelesaian perusahaan bermasalah

Ketiga, otoritas akan meminta komitmen pemegang saham atau manajemen perusahaan terkait untuk menyiapkan rencana penyehatan keuangan (RPK).

Kegiatan penyehatan pun diawasi sesuai waktu penyelesaian yang disepakati perusahaan dengan otoritas. "Kalau solusinya tidak bisa, regulator kan ada regulasi dan kami punya tanggung jawab. Kami jalankan sesuai aturan yang berlaku dan berikan sanksi, surat peringatan, pembatasan kegiatan usaha, ujungnya dicabut (izin usaha) jika tidak bisa diatasi penyebabnya," ujar Ihsanuddin.

Reformasi asuransi pun menjadi agenda yang perlu didorong, baik oleh otoritas maupun para pelaku industri. Ihsanuddin menyatakan bahwa langkah reformasi akan disertai oleh pengembangan kebijakan industri asuransi, yang fokus pada stabilitas, daya saing, dan keberlanjutan bisnis.

Dalam mendorong penguatan industri asuransi, pengawasan OJK akan diubah dengan berdasar kepada kaidah manajemen risiko dan tata kelola perusahaan. Selain itu, pengawasan pun akan mengantisipasi pengembangan teknologi dan produk-produk digital.

Pengaduan Konsumen Meningkat

Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mengungkapkan bahwa jumlah pengaduan konsumen industri asuransi terus meningkat sejak beberapa tahun terakhir, bahkan menduduki urutan kedua untuk jumlah pengaduan konsumen tertinggi.

"Pengaduan dari masyarakat terhadap industri asuransi meningkat yang didominasi ketidaksesuaian penjualan, terutama terkait produk asuransi yang dikaitkan investasi (PAYDI) atau unit-linked oleh agen atau tenaga pemasar produk asuransi," kata Kepala Departemen Perlindungan Konsumen OJK, Agus Fajri Zam.

Menurut Fajri, pada tahun 2019 ada sebanyak 360 pengaduan, kemudian tahun 2020 meningkat menjadi 593 pengaduan, dan hingga triwulan I 2021 telah mencapai 273 aduan. Semua pengaduan bisa diselesaikan secara internal dan bisa memfasilitasi untuk menyelesaikan komplain ini.

Secara umum permasalahan yang paling banyak diadukan adalah pertama, ketidaksesuaian informasi yang disampaikan oleh agen. Tidak sesuai dengan yang dijual. Kedua, pengaduan karena turunnya nilai investasi. "Dijanjikan begini, ketika diklaim hanya segini. Ini yang kadang menjadi keributan," ujar Agus.

Kemudian, kebanyakan dari pengaduan yang disampaikan juga meminta agar premi yang sudah dibayarkan selama beberapa periode dapat dikembalikan seluruhnya secara utuh. "Padahal diketahui, ada dua komponen yaitu komponen asuransi dan komponen investasi. Kalau dibalikin secara keseluruhan, sementara kita menikmati klaim asuransi yang ada, kan tidak fair juga," jelasnya.

Tak hanya itu, pengaduan lainnya yakni perihal kesulitan dalam memproses klaim yang sudah jatuh tempo tapi belum juga dibayarkan. "Permasalahan dari pengaduan terbagi empat, tapi terbanyak soal mis-selling," kata dia.

Agus menilai pengaduan terkait unit-linked tersebut bisa disebabkan berbagai faktor dan pelaku, mulai dari perusahaan, agen, atau bahkan masyarakat selaku nasabah itu sendiri. Dari sisi nasabah, selain yang benar-benar terkena fraud, faktanya masih banyak yang minim pengetahuan atau belum memiliki awareness terkait risiko dari produk asuransi yang dibarengi dengan investasi.

“Untuk pelaku usaha jasa keuangan asuransi, proses penawaran dan penjualan harus terdokumentasi dengan baik, ada rekamannya. Selain itu, perlu ada daftar blacklist agen nakal/fraud, karena kebanyakan pengaduan ke kami, biasanya si agen sudah hilang atau tidak bekerja lagi," jelasnya.

Sementara dari sisi perusahaan, kebanyakan masalah timbul akibat penawaran produk yang kurang memiliki transparansi. Misalnya, tidak mengungkap histori kinerja, menekankan kata tabungan agar dianggap tidak berisiko, atau menjamin kepastian bahwa nasabah bakal mendapat profit.

Dari hasil pemetaan OJK, proses pemasaran yang menyerupai bisnis Multi Level Marketing (MLM) pun menjadi salah satu penyebab fraud. Karena lebih menekankan bonus pendapatan, dan banyaknya agen tidak tersertifikasi. Sistem ini membuat kecenderungan agen tidak memberikan pemahaman kepada konsumen dengan baik.  

 

Tags:

Berita Terkait