Kasus Kekerasan Seksual di KemenkopUKM Dilaporkan, Ini Kata Komnas Perempuan
Terbaru

Kasus Kekerasan Seksual di KemenkopUKM Dilaporkan, Ini Kata Komnas Perempuan

Kasus terjadi di tahun 2019 silam dan keluarga korban membuka kembali kasus pelecehan seksual dengan melaporkan kembali kasusnya ke LBH APIK dan Ombudsman.

Ferinda K Fachri
Bacaan 4 Menit

Padahal, menurutnya pasca pemaksaan perkawinan justru menimbulkan risiko bagi korban kembali mendapatkan kekerasan dalam bentuk kekerasan seksual, kekerasan fisik, kekerasan psikis sampai dengan penelantaran di lingkup rumah tangga. Oleh karenanya, mengawinkan korban dengan pelaku perkosaan menurut Komnas Perempuan tidak sebatas meneguhkan impunitas pelaku, namun juga menjerumuskan perempuan korban perkosaan dalam rantai kekerasan.

Kondisi seperti ini yang menjadi dorongan bagi Komnas perempuan dengan masyarakat sipil mendesak tindakan mengawinkan perempuan korban dengan pelaku kekerasan sebagai suatu tindak pidana. Hal ini telah dimuat dalam Pasal 10 UU No.12 tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS).

“Walau UU TPKS berlaku per 9 Mei 2022, dan tidak dapat menjangkau peristiwa pemaksaan perkawinan dalam kasus ini. Namun, hak kosntitusional perempuan untuk bebas dari kekerasan dan diskriminasi tetap melekat, sehingga pemulihan yang menyeluruh atas tindak pemaksaan perkawinan itu harus dipenuhi oleh negara,” tegas Olivia.

Ia merujuk pada Pasal 285 KUHP, disebutkan perkosaan terkategori sebagai delik biasa dengan ancaman paling lama 12 tahun, sehingga penyelesaian yang seharusnya ialah melalui sistem peradilan pidana serta administratif dengan berlandaskan peraturan perundang-undangan tentang ASN. “Menurut informasi keluarga korban penyidik justru memfasilitasi pemaksaaan perkawinan dan karenanya tindak pidana ini dinilai selesai dan diterbitkan SP3 atau dinyatakan sebagai restorative justice. Sesungguhnya tindakan mengawinkan korban dengan pelaku perkosaan tidak dapat menjadi bagian dari restorative justice,” kata dia.

Atas kondisi yang terjadi, Komnas perempuan mengajukan 5 poin pernyataan. Pertama, mendukung Korban dan Keluarga Korban untuk mendapatkan keadilan dan pemulihan. Kedua, menghormati langkah KemenkopUKM dalam memformasikan Tim Indpenden. Ketiga, mendukung upaya hukum praperadilan atas SP3 yang dikeluarkan untuk memberikan ruang dibukanya kembali proses penyidikan kasus.

Keempat, memberikan rekomendasi terhadap Kapolri melakukan kaji ulang kebijakan Penyelesaian Perkara Melalui Keadilan Restoratif yang tidak mempertimbangkan kekhusuan kasus Kekerasan terhadap Perempuan dan melengkapinya dengan pedoman penyelidikan dan penyidikan kasus Perempuan Berhadapan dengan Hukum (PBH) yang mengacu pada UU TPKS. Kelima, mengimbau media massa serta kalangan masyarakat untuk mendukung korban dan keluarga korban, salah satunya dengan tidak membebankan korban dengan stigma 'aib'.

Tags:

Berita Terkait