Kasus Sabu Raijua dan 'Awareness' Kita
Kolom

Kasus Sabu Raijua dan 'Awareness' Kita

Melalui putusan MK ini ‘membangunkan’ kita yang tertidur dan sedikit abai terhadap persoalan status kewarganegaraan.

Bacaan 6 Menit

Norma di atas oleh MK disemati tafsir konstitusional. Pertama, sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia serta hukum internasional, paspor merupakan dokumen bukti kewarganegaraan seseorang. Dengan kata lain, kewarganegaraan seseorang dapat dilihat dari paspor yang dimiliki/dikuasainya. Kedua, oleh karenanya, kepemilikan paspor in casu paspor Amerika Serikat, maupun paspor negara asing lainnya, membawa konsekuensi Orient seharusnya secara serta-merta kehilangan statusnya sebagai Warga Negara Indonesia tanpa harus melalui mekanisme administratif pelepasan kewarganegaraan.

Tafsir itu nampaknya dikonstruksi dari aliran prinsip loyalitas warga negara terhadap negara yang antara lain ditunjukkan dengan status kewarganegaraan tunggal, yakni sebagai WNI. Loyalitas itu meniscayakan setiap warga negara wajib menolak ketika diberi kewarganegaraan negara lain. Sebab, tatkala seseorang secara sadar menerima kewarganegaraan dari negara lain, maka secara sengaja pula ia nyata-nyata berkehendak menanggalkan status sebagai WNI. Itu berarti loyalitas sebagai WNI telah usai.

Itu pula kiranya dasar konseptual-ideologis desain UU Kewarganegaraan. Sesuai fakta persidangan, Orient terbukti telah tak jujur, baik saat mengurus paspor Republik Indonesia pada tahun 2019, maupun saat mencalonkan diri sebagai calon bupati Sabu Raijua pada tahun 2020. Orient mengambil keuntungan dari ketakjujuran bahwa ia telah memegang paspor Amerika Serikat atas namanya sendiri sejak 2007. Artinya, ia sengaja mengucap selamat tinggal kepada status WNI sejak saat itu juga. Loyalitasnya secara normatif dianggap nihil.

Demi kepastian hukum mengakhiri sengketa hasil pilkada Sabu Raijua, MK menyatakan Orient “serta merta” dan “tanpa harus melalui mekanisme administrasi pelepasan kewarganegaraan” telah kehilangan status WNI sejak memegang paspor Amerika Serikat pada 2007. Oleh karenanya ia tak memenuhi syarat sebagai calon bupati sebab menurut aturan, calon kepala/wakil kepala daerah haruslah berstatus WNI. Lalu, diperintahkan untuk menggelar pemungutan suara ulang tanpa Orient dan calon wakil bupatinya.

Bayangkan jika MK tak tegas menyatakan hal itu, semua pihak harus menanti dulu Orient menempuh mekanisme administrasi pelepasan warga negara hingga selesai sebagaimana diatur dalam PP Nomor 2 Tahun 2007 tentang Tata Cara Memperoleh, Kehilangan, Pembatalan dan Memperoleh Kembali Kewarganegaraan Republik Indonesia. Tentu MK tak membiarkan ketidakpastian hukum melanda, termasuk menjaga agenda hukum dan demokrasi politik ketatanegaraan pilkada Sabu Raijua tak menjadi berantakan.

TMT Hilangnya Status WNI

Seperti disebut di awal, ada pemahaman bahwa adresat tafsir MK itu bukan cuma Orient dalam konteks perkara dimaksud, melainkan ditujukan pula kepada setiap WNI, utamanya yang tengah berada dalam situasi persis atau mirip seperti Orient: memegang paspor negara lain atas namanya sendiri. Argumennya, penafsiran itu bersifat erga omnes dalam kapasitas MK sebagai penafsir konstitusi.

Berkenaan hal tersebut, begini saya memahaminya. Tafsir konstitusional dimaksud lahir dari pseudo judicial review dalam perkara pengujian sengketa hasil pilkada. Sementara, sebagaimana uraian di atas, pseudo judicial review bersifat kasuistis, terbatas dan hanya untuk perkara sengketa pilkada tertentu yang sedang diadili. Tafsir konstitusional demikian berbeda karakter dengan tafsir konstitusional yang bersemayam di putusan perkara pengujian UU. Umumnya, dalam perkara pengujian UU, tafsir konstitusional akan jelas tercermin dalam amar putusan yang menyatakan norma itu konstitusional bersyarat atau inkonstitusional bersyarat. Barulah tafsir yang demikian itu dikatakan erga omnes, berlaku untuk semua, layaknya UU yang berlaku bagi seluruh warga negara.

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait