Kebebasan Berekspresi yang Terkungkung Aturan.
Resensi

Kebebasan Berekspresi yang Terkungkung Aturan.

Meski awalnya dibuat untuk membuka ruang bagi masyarakat untuk mengeksplorasi hak kemerdekaan secara definitif, namun dalam praktik Undang-Undangnya disalahgunakan.

CR-1
Bacaan 2 Menit

 

Perjalanan kebebasan berekspresi di Indonesia mengalami pasang surut. Seperti yang tergambar dalam buku setebal 365 Halaman. Secara garis besar, isu utama yang diangkat dari buku hasil penelitian PBHI ini adalah gugatan terhadap negara terkait dengan kebebasan HAM dengan membidik keberlakuan UU.No.9 tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum. UU No.9/1998 sendiri merupakan UU yang mengatur secara teknis prosedur penyampaian pendapat d imuka umum.

 

Buku hasil penelitian PBHI selama beberapa tahun dengan menggunakan berbagai metode seperti workshop dan focus group discussion ini mencoba menggambarkan UU No.9/1998, mulai dari proses pembuatan, dampak hingga rekomendasi terkait dengan  keberlakuan UU ini. Hal itu nampak dari sistematika buku. Dari total enam bab yang ada, empat bab termasuk penutup kesemuanya membahas tentang UU No.9/1998.

 

Hampir semua isu tentang kebebasan dijabarkan dengan bahasa lugas khas bahasa aktivis. Tentang kebebasan di bidang pers misalnya, penulis mengambil penelitian dari Aliansi Jurnalis Independen (AJI) tentang kekerasan terhadap pers pada tahun 2004. Dipaparkan kasus kekerasan terhadap pers dengan dua kategori, yakni; kekerasan fisik dan non fisik (hal 143). Tetapi entah disengaja atau tidak, setelah sampai akhir dari bab tiga, tepatnya di halaman 186, pembahasan secara singkat (short cut) menukik ke pembahasan tentang isu utama.

 

Digambarkan latar belakang lahirnya UU No.9/1998 ini dengan sebuah peristiwa bersejarah menjelang keruntuhan rezim orde baru dengan beralihnya pemerintahan Soeharto ke BJ Habibie. Ditampakkan bagaimana situasi yang tidak menentu akibat desakan masyarakat untuk sebuah pembaruan menggejolak di segala penjuru negeri.

 

Kondisi seperti ini dianggap oleh otoritas negara saat itu sebagai situasi yang tidak kondusif. Unjuk rasa untuk menyampaikan aspirasi merebak kemana-mana. Hal  itu menunjukkan betapa masyarakat begitu ingin meluapkan segala yang dirasakannya setelah lama mengalami tindakan represif rezim orde baru. Untuk mengantisipasi kondisi seperti itu, Mendagri, Kapolri dan Menhankam membuat sebuah Surat Keputusan Bersama (SKB)  untuk mengatur secara teknis prosedur penyampaian pendapat dimuka umum.

 

Akan tetapi SKB itu mendapat penolakan yang sangat keras karena dianggap menghambat jalannya reformasi. Atas penolakan itu pemerintah menggantinya dengan Perpu No.2 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat Dimuka Umum. Lagi-lagi muncul penolakan terhadap Perpu ini, karena itu pemerintah bereaksi cepat dengan menerbitkan Perpu No.3 Tahun 1998 yang membatalkan Perpu No.2 sekaligus mengajukan RUU Kemerdekaan yang akhirnya sukses menjadi UU.

 

Saat itu, UU No.9/1998  dianggap sebagai aturan  yang ditujukan membuka ruang bagi masyarakat untuk mengeksplorasikan hak kemerdekaan mereka secara definitif setelah sekian lama dikangkangi oleh kekuatan rezim otoriter (hal. 312). Namun dalam praktiknya, PBHI menilai ada pembelokan semangat UU tersebut, karena pada akhirnya UU ini menjadi alat efektif bagi negara untuk melakukan tindakan represif pelaku demonstran dengan menggunakan pasal karet KUHP.

Halaman Selanjutnya:
Tags: