Kekuatan Hukum Kontrak Berbahasa Asing dalam Perjanjian
Terbaru

Kekuatan Hukum Kontrak Berbahasa Asing dalam Perjanjian

Seluruh nota kesepahaman atau perjanjian yang melibatkan negara, instansi pemerintah, lembaga swasta atau perseorangan wajib menggunakan Bahasa Indonesia.

Oleh:
Willa Wahyuni
Bacaan 3 Menit

Sebelum adanya UU No. 24 Tahun 2009, tidak ada kewajiban menggunakan bahasa Indonesia dalam setiap nota kesepahaman dan perjanjian atau kontrak perseorangan. Seluruh pengaturan mengenai kontrak atau perjanjian masih murni menggunakan ketentuan di dalam KUHPerdata, yang mana aturan dan pasal dalam kontrak yang dibuat secara sah oleh para pihak akan berlaku sebagai hukum yang mengikat para pihak dalam kontrak atau perjanjian.

Setelah diberlakukannya UU tersebut, maka seluruh nota kesepahaman atau perjanjian yang melibatkan negara, instansi pemerintah, lembaga swasta atau perseorangan wajib menggunakan Bahasa Indonesia.

Jika sebuah perusahaan dalam proses transaksi yang melibatkan pihak asing, maka kontrak yang digunakan tetap harus dibuat dalam Bahasa Indonesia, namun kontrak tersebut boleh ditulis dalam bahasa nasional pihak asing atau dalam Bahasa Inggris untuk menyamakan pemahaman atas isi perjanjian.

Namun, jika terjadi suatu perbedaan penafsiran antara Bahasa Indonesia dengan bahasa asing, Pasal 26 ayat (4) Perpres No. 63 Tahun 2019 telah mengatur hal ini. Perpres No. 63 Tahun 2019 memberikan kebebasan para pihak untuk menentukan bahasa apa yang berlaku jika terjadi perbedaan penafsiran.

Perlu diperhatikan, ketika menggunakan bahasa asing sebagai kontrak perjanjian, perlu menggunakan ahli bahasa yang tersumpah. Karena, pembuatan perjanjian dengan menggunakan dua bahasa perlu memperhatikan tafsir yang akan dipegang oleh para pihak.

Kesalahan tafsir tidak jarang akan menimbulkan sengketa di kemudian hari karena adanya perbedaan dalam menafsirkan yang ada dalam perjanjian, sehingga para pihak perlu menyepakati bersama pada saat proses dari awal pembuatan perjanjian terkait bahasa yang akan digunakan untuk menafsirkan perbedaan maksud yang mungkin terjadi dalam pelaksanaan perjanjian.

Kemudian, dalam pembuatan kontrak perjanjian, hindari juga penggunaan istilah asing untuk menghindari munculnya banyak tafsir. Istilah asing yang tidak dipahami oleh para pihak berkemungkinan akan merugikan para pihak.

Setelah UU No. 24 Tahun 2009 diundangkan maka tidak dibuatnya kontrak bisnis dalam Bahasa Indonesia atau versi bahasa Indonesia adalah bertentangan dengan UU, sehingga dapat dikatakan sebagai kontrak yang terlarang karena dibuat dengan sebab yang terlarang serta tidak memenuhi salah satu syarat esensial dari syarat sahnya suatu perjanjian.

Tags:

Berita Terkait