Kelonggaran UU Kepailitan Ancam Bisnis Properti
Utama

Kelonggaran UU Kepailitan Ancam Bisnis Properti

RUU Kepailitan dan PKPU harus terus diakselerasi oleh pemerintah dan DPR.

Fitri Novia Heriani
Bacaan 3 Menit
Ilustrasi: HGW
Ilustrasi: HGW

Sejak pandemi Covid-19 menjangkiti Indonesia pada awal Maret lalu, berbagai sektor bisnis di Indonesia tumbang. Hal itu dapat dilihat dari jumlah PKPU dan Pailit yang diajukan ke Pengadilan Niada pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat (PN Pusat).

Berdasarkan data yang dihimpun Hukumonline dari SIPP PN Jakarta Pusat (PN Pusat), terjadi kenaikan yang signifikan untuk permohonan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) dan kepailitan, terutama di Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat (PN Pusat). Sejak Januari hingga 7 September 2020, permohonan PKPU dan pailit melonjak yakni mencapai angka 318 permohonan, dengan mayoritas 278 perkara PKPU dan sisanya pailit.

Jika dibanding dengan data tahun lalu di PN Pusat, terdapat selisih perkara yang cukup signifikan. Perkara PKPU dan Kepailitan per September tahun lalu berada di angka 257, atau selisih 131 perkara dari tahun ini. (Baca Juga: Perlunya Aturan yang Jelas Antara Kepailitan dan Perlindungan Konsumen)

Hal itu dibenarkan oleh Ketua Umum Asosiasi Kurator dan Pengurus Indonesia (AKPI), Jimmy Simanjuntak. Jimmy menyebut bahwa tren permohonan pailit dan terutama PKPU mengalami peningkatan yang cukup signifikan selama pandemi Covid-19. Jika dibandingkan dengan periode pertama pada tahun lalu, Jimmy mengatakan bahwa permohonan pailit  dan PKPU meningkat cukup tajam di masa pandemi, dengan kenaikan jumlah perkara sebanyak 50 persen.

Lalu sektor apa yang paling banyak diajukan PKPU dan Pailit ke PN Pusat? Kurator Imran Nating menyebut bahwa sektor properti menjadi sektor yang cukup terpukul di masa pandemi. Mayorita pengajuan PKPU dan Pailit di beberapa Pengadilan Niaga terkait dengan bisnis properti.

“Properti dan investasi (PKPU) di masa pandemi. Tahun lalu di properti, rata-rata karena telat serah terima,” kata Imran kepada Hukumonline beberapa waktu lalu.

Di tengah perjuangan untuk bangkit, industri properti yang menghadapi anjloknya penjualan harus menghadapi persoalan serius akibat marak bermunculan oknum tidak bertanggung jawab yang menjadi mafia dan sindikat pailit dalam proyek properti.

Ketua Bidang Keuangan dan Perbankan Badan Pengurus Pusat (BPP) Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (HIPMI) Ajib Hamdani mengatakan bahwa kasus seperti ini sebelumnya sempat ramai terjadi pada tahun 2012 dan 2014. Tentu ini sangat berbahaya bagi perekonomian Indonesia yang sedang beranjak pulih jika pemerintah tidak segera mengambil langkah tegas.

"Maraknya kasus kepailitan ini menciptakan potensi krisis baru bagi perekonomian Indonesia yang sedang dalam tahap pemulihan, terutama industri properti nasional. Jika tidak ada perhatian dan penanganan yang tepat, dampak dari masalah ini secara sistemik dapat mempengaruhi ratusan industri berikut dengan puluhan juta tenaga kerja," ujar Ajib dalam keterangannya di Jakarta (12/10).

Menurutnya, kelonggaran dalam undang-undang juga menjadi salah satu faktor kembali ramainya kasus kepailitan tersebut. Padahal industri properti mulai menunjukan performanya dengan memimpin sebagai industri dengan kenaikan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) yang terkoreksi cukup dalam yakni 1,26% di sesi I perdagangan pada bulan September 2020.

"Sektor properti memimpin penguatan dengan kenaikan 1,46 persen ke level 301,16 bulan lalu. Jangan sampai kontribusi pengusaha sektor properti nasional sia-sia karena kurang maksimalnya perlindungan baik kepada pelaku usaha maupun konsumennya. Sayang sekali jika capaian tersebut tidak didukung dengan aturan yang dapat menjaga progress pemulihan ekonomi nasional," tambahnya.

Pengusaha yang dulunya berprofesi sebagai PNS Dirjen Pajak ini turut menegaskan urgensi dari pentingnya RUU Kepailitan dan PKPU untuk terus diakselerasi oleh Pemerintah dan DPR. Dengan begitu, Ajib berharap bahwa kedepannya industri properti, pihak pengembang maupun konsumennya dapat terjaga dan terlindungi dari ulah para oknum dan permasalahan lainnya.

"Adanya payung hukum yang kuat dan dapat melindungi berbagai pihak, dari pengusaha, pemodal, dan pembelinya, tentu dapat menghadirkan iklim ekonomi yang ideal di setiap industri. Pemulihan ekonomi bangsa pun menjadi sebuah keniscayaan. Seperti bambu, untuk dapat menunjang pertumbuhan yang pesat, diperlukan akar atau pondasi yang kuat," tutupnya.

Sementara itu, praktisi hukum dari Hermawan Juniarto & Partners Cornel B Juniarto menilai undang-undang maupun peraturan tentang kepailitan ibarat pisau bermata dua. Ia mencontohkan UU Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU).

"Keduanya secara prinsip merupakan payung hukum bagi para pelaku usaha dan pemangku kepentingan yang mengatur tata cara atau mekanisme penyelesaian kewajiban yang timbul dari suatu perjanjian atau transaksi," kata Cornel.

Namun demikian, menurutnya, sebagai pijakan hukum UU Kepailitan dan PKPU telah mengalami beragam ujian, khususnya berkaitan dengan tingkat efektivitasnya sebagai sumber hukum dalam penyelesaian kewajiban antara kreditur dan debitur di masyarakat.

Secara sederhana, kepailitan dikenal sebagai sarana yang dapat digunakan oleh para kreditur untuk memaksa debitur menyelesaikan kewajibannya, sementara sebaliknya PKPU merupakan sarana yang dapat digunakan bagi debitur untuk menyelamatkan usahanya dari ancaman kebangkrutan.

"Namun kenyataannya, dalam beberapa kasus, UU Kepailitan dan PKPU justru digunakan oleh debitur sebagai sarana untuk menghindari pemenuhan kewajibannya terhadap para kreditur," kata Cornel.

 

Tags:

Berita Terkait