Tak selamanya dalam suatu hubungan yang terjalin antar pasangan atau bukan pasangan berjalan harmonis. Ada kalanya hubungan itu berjalan tidak harmonis dan berpotensi memunculkan kekerasan. Terjebak atau berada dalam situasi hubungan yang tidak sehat berdampak terhadap mental seseorang.
Asisten Deputi Perlindungan Hak Perempuan dalam Rumah Tangga dan Rentan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) Eni Widiyanti, mengatakan banyak perempuan di Indonesia yang terjebak dalam hubungan tidak sehat atau dikenal dengan istilah toxic relationship yang berujung pada kekerasan.
Mengacu data Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak (Simfoni PPA) Tahun 2022 menunjukkan kekerasan terhadap perempuan sebanyak 11.266 kasus terlapor dengan 11.538 korban. Sementara 45,28 persennya merupakan korban kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) dan 1.151 kasus dengan pelakunya adalah pacar. Sedangkan korban kekerasan seksual sebanyak 2.062 korban.
“Hal tersebut menunjukkan bahwa kekerasan terhadap perempuan kerap kali terjadi di ranah dosmetik atau di dalam suatu hubungan,” ujarnya sebagaimana dikutip dari laman Kementerian PPPA, Sabtu (18/2/2023) pekan lalu.
Baca juga:
- Sepanjang 2022 Kementerian PPPA Mencatat 2.338 Perempuan Korban Kekerasan
- Perlu Strategi Pendidikan Anti Kekerasan untuk Anak Usia Dini
Eni mencatat, banyak perempuan dan remaja tidak menyadari terjerat toxic relationship. Tekanan-tekanan yang dirasakan secara emosional oleh satu pihak dalam hubungan kerap kali berujung pada kekerasan. Perlu dilakukan pencegahan dini agar perempuan dan remaja terhindar dari hubungan yang tidak sehat.
Orang tua dan keluarga berperan penting melakukan pencegahan dengan memperkuat hubungan antara orang tua dan anak. Menjalin komunikasi terbuka dan memperhatikan keseharian anak. Selain itu, lingkungan yang nyaman dan aman, penyebaran informasi dan penyediaan dukungan pun tidak kalah penting dalam mendukung anak menjalin hubungan yang positif.