Kenali 4 Instrumen Perlindungan Hak-Hak Konsumen Saat Pandemi
Berita

Kenali 4 Instrumen Perlindungan Hak-Hak Konsumen Saat Pandemi

BPKN singgung pentingnya UU Perlindungan Data Pribadi.

Muhammad Yasin
Bacaan 2 Menit
Webinar perlindungan konsumen di masa pandemi Covid-19 yang diselenggarakan BPKN dan sejumlah perguruan tinggi, Rabu (20/5). Foto: Istimewa/BPKN
Webinar perlindungan konsumen di masa pandemi Covid-19 yang diselenggarakan BPKN dan sejumlah perguruan tinggi, Rabu (20/5). Foto: Istimewa/BPKN

Penyebaran pandemi Covid-19 berdampak signifikan pada perekonomian nasional. Itu sebabnya Pemerintah membuat kebijakan untuk menopang stabilitas moneter dan sistem keuangan, sekaligus berusaha tetap membuka ruang gerak perekonomian. Dalam diskusi yang digelar Indonesian Parliamentari Center beberapa hari lalu, ekonom Piter Abdullah mengatakan penyelamatan dunia usaha dan sistem keuangan sangat penting jika ingin mencegah krisis ekonomi yang lebih fatal akibat penyebaran Covid-19.

“Penyelamatan dunia usaha dan sistem keuangan jadi sangat penting. Stimulus fiskal mengadress semua itu,” ujarnya, Senin (19/5). Stimulus fiskal yang dimaksud adalah kebijakan penerbitan Perppu No. 1 Tahun 2020 Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) dan/atau Dalam Rangka Menghadapi Ancaman yang Membahayakan Perekonomian Nasional dan/atau Stabilitas Sistem Keuangan, yang telah disetujui dan disahkan menjadi UU No. 2 Tahun 2020.

Pihak yang terdampak bukan hanya pelaku usaha, tetapi juga konsumen. Penyelamatan dunia usaha harus dibarengi dengan perlindungan konsumen karena dunia usaha dapat berkembang jika ada transaksi dengan konsumen, demikian pula sebaliknya. Dalam hubungan bisnis ini Pemerintah berperan sebagai regulator yang menjamin adanya kepercayaan pelaku usaha dan konsumen dalam bertransaksi.

Berkaitan dengan pencegahan penyebaran Covid-19, Pemerintah telah mengatur pembatasan mobilitas orang dan barang melalui skema Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB). Dampak nyata dari PSBB antara lain keterbatasan pergerakan orang, barang dan jasa, perubahan transaksi tatap muka menjadi transaksi daring, dan turunnya daya beli masyarakat karena berkurangnya pendapatan. “Kondisi ini mengakibatkan disrupsi terhadap perlindungan konsumen,” kata Arief Safari, Koordinator Komisi Komunikasi dan Edukasi Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN), dalam webinar tentang Perlindungan Konsumen di Masa Pandemi Covid-19, Rabu (20/5).

(Baca juga: Kasus Bocornya Data Pribadi Konsumen Belanja Online Marak).

Ketua BPKN, Ardiansyah Parman menyebutkan setidaknya empat instrumen yang dapat dipergunakan dalam perlindungan hak-hak konsumen semasa pandemi Covid-19. Pertama, jaminan keamanan, keselamatan dan kenyamanan saat mengkonsumsi produk. Peningkatan transaksi daring semasa pandemi Covid-19 meningkatkan kekhawatiran pula atas penyalahgunaan data pribadi konsumen. Kasus bocornya data jutaan konsumen salah satu platform bisnis daring seharusnya menjadi pelajaran pentingnya perlindungan data pribadi konsumen. Kasus lain yang muncul adalah pembajakan akun konsumen dalam pembelian alat kesehatan. Meskipun konsumen sudah mengadu, tindakan yang dilakukan pihak platform bisnis hanya memulihkan akun konsumen.

BPKN, kata Ardiansyah, melihat pentingnya upaya melindungi data pribadi konsumen sebagai bagian dari jaminan keamanan, keselamatan dan kenyamanan bertransaksi. Dalam monteks ini pula BPKN melihat pentingnya RUU Perlindungan Data Pribadi yang kini sedang disusun.

Kedua, jaminan informasi yang benar, jelas, dan jujur. Dalam masa pandemic Covid-19, kebutuhan informasi yang akurat meliputi penanganan konsumen sebagai pasien, informasi produk, baik yang tersedia di label produk maupun iklan. Berdasarkan informasi yang benar, jelas, dan jujur, konsumen dapat mengambil keputusan yang akurat untuk membeli barang/jasa apa dan membeli dimana.

Pasal 4 UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen menegaskan konsumen berhak antara lain mendapatkan informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang/jasa. Selanjutnya, Pasal 8 ayat (2) menyebutkan pelaku usaha dilarang memperdagangkan barang yang rusak, cacat, atau bekas, dan tercemar tanpa memberikan informasi secara lengkap dan benar atas barang dimaksud.

BPKN mengingatkan konsumen untuk berhati-hati pada panawaran barang/jasa yang sedang marak di platform daring. Kasus konsumen yang tertipu membeli masker secara daring membuktikan tidak semua penawaran barang/jasa secara online benar-benar bertujuan baik. Konsumen perlu melihat kesahihan bisnis dimaksud.

Ketiga, penanganan keluhan. Warga mengalami tekanan selama pandemi, baik karena berkurangnya penghasilan dan pembatasan mobilitas maupun ancaman pemutusan hubungan kerja dan pembatasan aktivitas ekonomi. Salah satu contohnya adalah tekanan yang dialami pengemudi ojek online. Mereka dilarang mengangkut penumpang, dan pada saat yang sama kemungkinan harus menghadapi penagih utang dari perusahaan pembiayaan (leasing). Keluhan konsumen semacam ini seharusnya ditangani dengan baik. Mekanisme penanganan keluhan yang baik dapat mengurangi tensi sengketa konsumen dengan pelaku usaha.

Keempat, kompensasi dan ganti rugi. Pembatasan sosial berskala besar juga telah berimbas pada pembatalan kontrak atau tidak terpenuhinya transaksi, penurunan kualitas barang/jasa, dan kesulitan mengajukan komplain. Contohnya, penumpang yang sudah memesan tiket perjalanan ketera api atau pesawat jauh-jauh hari. Larangan pergerakan transportasi darat dan udara pada awal pandemi telah membuat banyak konsumen mengalami kerugian. Demikian pula pembatalan acara-acara dan okupansi hotel. Instrumen kompensasi meliputi pengembalian biaya, pemberian voucer, penjadwalan ulang, atau kompensasi yang sama-sama menguntungkan para pihak.

(Baca juga: BPKN Sarankan Refund Tiket Pesawat Sebaiknya Diberi Secara Tunai).

BPKN memandang bahwa disrupsi perlindungan konsumen yang terjadi semasa pandemi Covid-19 menuntut adanya perubahan perilaku dan kerjasama tiga pihak, yakni konsumen, pelaku usaha, dan pemerintah selaku regulator. Tujuannya agar kepercayaan dalam bertransaksi tetap terjaga.

Tags:

Berita Terkait