Kenali Prinsip Sic Utere Sebelum Menuntut Tanggung Jawab Negara Asal Covid-19
Berita

Kenali Prinsip Sic Utere Sebelum Menuntut Tanggung Jawab Negara Asal Covid-19

Dalam kerangka hukum internasional, pertanggungjawaban negara diatur khusus dalam resolusi Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) Nomor 56/83 Tahun 2001.

Moch Dani Pratama Huzaini
Bacaan 2 Menit
Ilustrasi: HGW
Ilustrasi: HGW

Sejak pertama kali kemunculannya di Wuhan, Desember 2019, virus Corona terus menjangkit populasi manusia di dunia. Badan kesehatan dunia dengan mempertimbangkan luas penyebarannya, menetapkan status pandemi global terhadap penyebaran Covid-19. Empat bulan berselang, lebih dari 120 negara dinyatakan positif terjangkit virus ini.

 

Hingga kini belum jelas sumber awal virus berasal. Meski sebagian keterangan menyebutkan pasar hewan konsumsi di daerah Wuhan sebagai sumber awal penyebaran virus, masih banyak pihak menyangsikan kebenaran informasi ini. Atas ketidakjelasan ini, Amerika Serikat telah meminta akses ke Wuhan agar dibuka oleh Pemerintah China untuk dilakukan penelitian lebih lanjut. Tidak hanya itu, Inggris bahkan berencana menggugat China ke Pengadilan Internasional (International Court of Justice). Hal senada juga disampaikan sejumlah negara bagian Amerika Serikat yang menggugat China untuk meminta ganti rugi.

 

Pertanyaan mendasarnya adalah, bisakah China digugat ke Pengadilan Internasional akibat penyebaran Covid-19 ke negara-negara di dunia? Akademisi dan Peneliti di Departemen Hukum Internasional Fakultas Hukum Universitas Padjajaran, Idris mengungkap salah satu prinsip hukum perdata sic utere atau lengkapnya sic utere tuo ut alienum non laedas. (Baca juga: Begini Prediksi Pemerintah Terkait Penyebaran Covid-19 di Indonesia)

 

Menurut Idris, prinsip ini berawal dari hukum perdata Romawi. Dalam sejumlah kasus di Pengadilan, prinsip ini masih dipakai. Idris menjelaskan makna dari prinsip ini adalah “gunakan harta kita, properti kita, halaman kita, tetapi jangan sampai merugikan orang lain,” ujar Idris dalam sebuah diskusi daring, Jumat (24/4).

 

Dalam perkembangannya prinsip ini digunakan untuk menuntut pertanggungjawaban negara terhadap situasi yang menimpa negara lain akibat aktivitas dalam negara tersebut. Dalam kultur hukum anglo saxon prinsip sic utere juga dikenal dengan good neighbourliness atau No harm rule yangditerjemahkan “use your own property in such a manner as not to injure that of another”

 

Menurut Idris, prinsip ini relevan digunakan untuk menggugat China jika melihat penjelasan terkait kemunculan Covid-19. Aktivitas pasar hewan di Wuhan untuk memenuhi kebutuhan konsumsi daging di daerah tersebut, dalam taraf tertentu telah berakibat menyebarnya virus yang hingga saat ini telah merenggut ratusan ribu nyawa manusia di dunia dan menyebabkan timbulnya krisis yang tidak pernah dibayangkan sebelumnya. “Mau tidak mau ini termasuk ranah hukum internasional,” ujar Idris menyinggung situasi yang terjadi. 

 

Ia menyebutkan, dalam kerangka hukum internasional, pertanggungjawaban negara diatur khusus dalam resolusi Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) Nomor 56/83 Tahun 2001. Dalam Pasal 1 dan 2 Resolusi ini mengatur mengenai Responsibility of States for Internationally Wrongful acts. Bentuk-bentuk tanggung jawab negara menurut pasal 34 resolusi ini bisa restitusi maupun kompensasi. (Baca juga: Hukumonline Luncurkan Platform Hukum Covid-19, Ini Isinya)

 

Mengikat Semua Negara

Cuplikan pilihan dalam pasal 34 resolusi menyebutkan bentuk-bentuk pertanggungjawaban negara bisa berbentuk restitusi maupun kompensasi. “Full reparation for the injury caused by the internationally wrongful act shall take the form of restitution, compensation and satisfaction, either singly or in combination, in accordance with the provisions of this chapter”.

 

Meskipun baru sebatas diatur dalam resolusi, namun prinsip ini sudah sering digunakan oleh para hakim. Terlepas dari sebuah negara mengetahui atau tidak mengenai prinsip tanggung jawab negara, tapi hal ini mengikat semua negara. “Semacam asas fiksi hukum,” ujar Idris. (Baca juga: 5 Pelajaran Penting dari Wabah Covid-19 untuk Bisnis Jasa Hukum)

 

Menurut Pasal 2 resolusi ini, unsur-unsur perbuatan salah yang dilakukan oleh sebuah negara paling tidak terdiri atas perbuatan dan kelalaian. Dalam konteks hukum Indonesia dikenal dengan perbuatan melawan hukum sebagaimana yang diatur dalam pasal 1365 KUH Perdata. 

 

“Selain perbuatan ada kelalaian. Jadi seseorang karena lalai mengakibatkan kerugian terhadap orang lain, otomatis dapat dimintai pertanggungjawaban,” terang Idris.

 

Namun bukan berarti China tidak bisa membela diri. Menurut Idris, China masih bisa menggunakan dalil force majeure jika menghadapi gugatan dari luar. Dengan situasi force majeure, China dapat menjelaskan bahwa situasinya begitu sulit sehingga tidak sempat memberi notifikasi terkait keberadaan Covid-19 di negaranya.

 

Terkait hal ini, Kepala Pusat Studi ICLOS FH Unpad, Gusman Siswandi mengatakan pasal 75  International Health Regulation (IHR) mengatur setiap sengketa terkait interpretasi atau penetapan konstitusi WHO yang tidak dapat di selesaikan melalui negosiasi bisa diajukan ke hadapan pengadilan internasional. 

 

Menurut Gusman, pasal ini bisa menjadi pintu masuk membawa persoalan penyebaran Covid-19 ke pengadilan internasional. ”Jadi mesti bisa memastikan apakah ICJ bisa mengadili pandemi Covid-19. Bisa saja pasal 75 menjadi jalan masuk membawa persoalan Covid ke Mahkamah internasional asal semua persyaratannya dipenuhi,” ujarnya dalam diskusi yang sama.

 

Namun, Gusman mengingatkan ketentuan pasal 56 IHR. Pasal ini mengatur ketentuan tahap-tahap penyelesaian sengketa seperti biasa yang dimulai dari negosiasi atau cara damai. Selain itu dapat juga diajukan ke Direktur Jenderal WHO, serta menggunakan mekanisme Arbitrase. 

 

Jika hendak menggunakan mekanisme Arbitrase, Gusman mengingatkan prasyarat pernyataan dari para pihak menerima penggunaan arbitrase sebagai mekanisme penyelesaian. ”Terlebih dahulu harus ada pernyataan dari negara pihak bahwa dia menerima arbitrase sebagai mekanisme. Ini hal yang menjadi ganjalan kalau misalnya China di bawa ke arbitrase,” terang Gusman.

 

Nikmati Akses Gratis Koleksi Peraturan Terbaru dan FAQ Terkait Covid-19 di sini.

Tags:

Berita Terkait