Kepailitan, Momok Menakutkan di Masa Pandemi
Utama

Kepailitan, Momok Menakutkan di Masa Pandemi

Jumlah kasus kepailitan dan PKPU diprediksi akan terus meningkat selama pandemi.

M. Agus Yozami
Bacaan 2 Menit
Ilustrasi: HGW
Ilustrasi: HGW

Pandemi Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) yang masih melanda dunia dan Tanah Air menjadi sebuah kekhawatiran besar bagi dunia usaha. Bagaimana tidak, sejak Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengumumkan adanya kasus Covid-19 untuk pertamakalinya pada Maret 2020, banyak pelaku usaha yang gulung tikar alias tak mampu melanjutkan usahanya. 

Persoalan hukum pun timbul. Bukan hanya pemutusan hubungan kerja (PHK), dampak lain adalah macetnya pembayaran pinjaman pelaku usaha (nasabah/debitor) kepada bank atau pihak lain (kreditor) yang berujung ke meja hijau. Para pelaku usaha yang terdampak Pandemi akan menghadapi permasalahan ketepatan waktu dalam pembayaran kewajibannya. Bisa dikatakan, pandemi Covid-19 menjadi momok menakutkan bagi dunia usaha. 

Krisis yang terjadi pada 1998 jelas berbeda dengan kondisi saat ini. Pada 1998, orang masih banyak yang bekerja dan mencari pendanaan yang lain karena masih bisa keluar untuk berinteraksi dengan pihak lain. Namun dengan kondisi seperti saat ini semua serba dibatasi. Hal ini mengakibatkan terbatasnya negosiasi terhadap penundaan, keterlambatan atau tidak dibayarnya utang oleh para debitor ketika jatuh tempo.

Untuk mengatasi hal tersebut, salah satu jalan yang ditempuh kreditor adalah melakukan tuntutan pembayaran utang kepada debitor dengan menggunakan instrumen Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU).

Bisa dibayangkan wabah Covid-19 yang belum jelas kapan berakhir akan berdampak pada jumlah perkara kepailitan dan PKPU di pengadilan. Sebelum muncul wabah Covid-19 saja, jumlah perkara kepailitan dan PKPU sepanjang 2019 di lima pengadilan negeri (PN), yakni PN Jakarta Pusat, PN Medan, PN Semarang, PN Surabaya dan PN Makassar terbilang tinggi.

Berdasarkan data yang didapat hukumonline per Januari 2019-Juni 2020, jumlah keseluruhan perkara kepailitan dan PKPU yang dimohonkan, baik perorangan maupun badan usaha di PN Jakarta Pusat terdapat 542 kasus. Untuk kuartal I 2019 berjumlah 95 kasus, Kuartal II berjumlah 81 kasus, Kuartal III berjumlah 81 kasus, Kuartal IV berjumlah 84 kasus. Sedangkan untuk Kuartal I 2020 berjumlah 96 kasus, dan kuartal II berjumlah 105 kasus.

Sedangkan jumlah keseluruhan perkara kepailitan dan PKPU di PN Makassar pada periode Januari 2019-Juni 2020 berjumlah 14 kasus. untuk Kuartal I 2019 berjumlah 6 kasus, Kuartal II berjumlah 2 kasus, Kuartal III berjumlah 1 kasus, Kuartal IV berjumlah 2 kasus, Kuartal I 2020 berjumlah 1 kasus, Kuartal II berjumlah 1 kasus. (Baca Juga: Permohonan Kepailitan dan PKPU Masih Tinggi, POJK 11/2020 Dinilai Belum Maksimal)

Untuk total kasus kepailitan dan PKPU di PN Medan Kota periode Januari 2019-Juni 2010 berjumlah 55 kasus dengan rincian Kuartal I 2019 berjumlah 12 kasus, Kuartal II berjumlah 5 kasus, Kuartal III 2019 berjumlah 12 kasus, Kuartal IV 2019 berjumlah 9 kasus. Sedangkan Kuartal I 2020 berjumlah 12 kasus, Kuartal II 2020 berjumlah 5 kasus.

Kemudian, total kasus kepailitan dan PKPU di PN Semarang Kota pada periode Januari 2019-Juni 2020 berjumlah 100 kasus, dengan rincian Kuartal I 2019 berjumlah 19 kasus, Kuartal II berjumlah 12 kasus, Kuartal III berjumlah 23 kasus, Kuartal IV berjumlah 10 kasus. Sedangkan Kuartal I 2020 berjumlah 20 kasus, dan Kuartal II 2020 berjumlah 16 kasus.

Di PN Surabaya total kasus kepailitan PKPU pada periode Januari 2019-Juni 2020 sebanyak 146 kasus. Untuk Kuartal I berjumlah 21 kasus, Kuartal II berjumlah 21 kasus, Kuartal III berjumlah 22 kasus, Kuartal IV berjumlah 42 kasus. Sedangkan Kuartal I 2020 berjumlah 21 kasus, dan Kuartal II berjumlah 19 kasus.

Hukumonline.com

Persentase perkara kepailitan dan PKPU di lima Pengadilan Negeri periode Januari 2019-Juni 2020. Sumber: Riset HOL

Terus Meningkat

Asosiasi Kurator dan Pengurus Indonesia (AKPI) memprediksi jumlah kasus kepailitan dan PKPU akan terus meningkat selama pandemi. Ketua Umum AKPI Jimmy Simanjuntak mengatakan bahwa tren permohonan pailit, terutama PKPU mengalami peningkatan yang cukup signifikan sejauh ini. Menurutnya, peningkatan perkara pailit dan PKPU terjadi karena adanya wanprestasi yang dilakukan oleh debitur akibat Covid-19. Misalnya tidak menjalankan kewajiban, seperti membayar utang akibat situasi keuangan perusahaan yang menurun.

“Kalau naik pasti (pailit dan PKPU), tapi secara rigit belum bisa memberikan data atau jumlah karena biasanya dicatat hingga akhir tahun. Tapi trend sudah pasti naik,” katanya kepada hukumonline, Senin (24/8) lalu.

Jika dibandingkan dengan periode pertama pada tahun lalu, Jimmy mengatakan bahwa permohonan pailit dan PKPU meningkat cukup tajam di masa pandemi, dengan kenaikan jumlah perkara sebanyak 50 persen. “Kalau sampai di semester pertama tahun ini kenaikan mencapai 50 persen jika dibanding dengan periode yang sama pada tahun lalu. Mayoritas perkara awal adalah PKPU, tapi ada yang berakhir dengan pailit,” katanya.

Sebelumnya, Ketua Dewan Penasehat AKPI periode 2019-2022, Jamaslin James Purba, dalam webinar Strategi Penyelesaian Perkara Kepailitan dan PKPU Pasca Pandemi Covid-19, beberapa waktu lalu mengatakan kondisi perekonomian Indonesia pasti mengalami pengaruh sangat besar akbiat Covid-19.

Menurut James, selain badai PHK Covid-19 mempengaruhi jalannya dunia usaha sehingga mengakibatkan para pelaku usaha kesulitan untuk memenuhi kewajibannya secara tepat waktu. “Income mereka terpengaruh kecuali perusahaan-perusahaan yang memiliki banyak simpanan atau cadangan sehingga tetap bisa memenuhi kewajiban,” katanya.

Meski demikian, James berpendapat hampir semua para pegusaha akan kesulitan untuk memenuhi kewajibannya dalam kondisi pandemi Covid-19. Dengan berhentinya aktivitas usaha maka berhenti pula pendapatan. Hal ini megakibatkan perusahaan tersendat dalam memenuhi kewajiban untuk membayar tagihan secara tepat waktu.

Untuk itu, James menyarankan pada debitor untuk menempuh jalur PKPU bila kesulitan melakukan pembayaran dengan tepat waktu akibat Covid-19. Dengan menempuh PKPU, kata James, semua kewajiban akan ditangguhkan bila status PKPU diberikan oleh pengadilan. “Dalam hal kreditor mengalami kesulitan keuangan bisa memohon kepada pengadilan agar terhadapnya diberikan status PKPU,” ujar James.

James mengatakan bila sudah masuk dalam PKPU maka debitor tidak boleh dipaksa untuk membayar utang atau semua kewajiban ditangguhkan. Dengan adanya PKPU, kreditor juga diberikan kesempatan untuk merundingkan atau menegosiasikan kewajibannya agar bisa tetap selamat.

Di samping itu dengan menggunakan jalur PKPU maka semua pihak, baik kreditor maupun debitor akan terikat. Melalui PKPU ada jeda bagi semua pihak untuk berunding, bernegosiasi agar kepada debitor ada pelonggaran terhadap pembayaran. Masa PKPU juga bisa menjadi waktu untuk merundingkan syarat-syarat baru yang bisa disepakati oleh kreditor dan debitor.

“Misalnya untuk tagihan yang tertunggak ini bisa dibayar selama 3 tahun atau 5 tahun atau bahkan ada yang 20 tahun karena kondisi yang saat ini memang tidak memungkinkan untuk membayar utang,” jelasnya.

Tags:

Berita Terkait