Keppres 12/2020 Sebagai Dalil Force Majeure, Benarkah?
Kolom

Keppres 12/2020 Sebagai Dalil Force Majeure, Benarkah?

Meski di Indonesia belum terdapat pengaturan mengenai doktrin perubahan keadaan atau keadaan sulit, akan tetapi renegosiasi kontrak disebabkan adanya wabah Covid-19 yang menjadi bencana nasional tetap dapat dilakukan.

Bacaan 2 Menit

 

Di negara-negara maju, seperti Belanda, Jerman dan Perancis, telah terdapat ketentuan yang lebih fleksibel guna dijadikan dasar pemaaf (excuse) atas tidak terlaksananya perjanjian yang didasarkan pada doktrin perubahan keadaan (change of circusmtances) atau keadaan sulit (hardship).

 

Doktrin ini merupakan bentuk pengecualian terhadap prinsip mengikatnya perjanjian (pacta sunt servanda). Doktrin ini tidak mensyaratkan adanya halangan dalam pelaksanan prestasi sehingga pelaksanan prestasi menjadi tidak mungkin (impossible), akan tetapi cukup apabila  terjadi perubahan keadaan yang secara fundamental mengubah keseimbangan perjanjian baik disebabkan naiknya biaya pelaksanaan prestasi atau menurunnya nilai pelaksanaan prestasi.

 

Dilihat dari peristiwanya, baik keadaan memaksa maupun perubahan keadaan atau keadaan sulit disebabkan adanya peristiwa yang tidak diduga dan tidak diharapkan terjadi pada saat perjanjian disepakati, serta tidak dapat dipertanggungjawabkan kepada salah satu pihak dalam perjanjian. Adapun yang menjadi bedanya, dalam hal keadaan memaksa maka pelaksanaan prestasi terhalang sehingga tidak mungkin untuk dilaksanakan. Sedangkan dalam kaitannya dengan doktrin perubahan keadaan atau keadaan sulit, pelaksaan prestasi masih mungkin, akan tetapi sangat memberatkan salah satu pihak dalam perjanjian disebabkan naiknya biaya pelaksanaan prestasi atau menurunnya nilai pelaksanaan prestasi.

 

Dalam kaitannya dengan wabah COVID 19, maka doktrin perubahan keadaan  atau keadaan sulit dapat digunakan bagi para pelaku usaha yang harus menyediakan barang-barang yang saat ini langka serta harganya melonjak sangat tinggi seperti Alat Pelindung Diri (APD) serta ventilator. Doktrin ini juga dapat digunakan bagi pelaku usaha angkutan, khususnya angkutan laut dan udara yang menyewa armadanya dari pihak ketiga. Manfaat dari pelaksanaan perjanjian sewa-menyewa tersebut menjadi sangat penurun nilainya disebabkan sepinya penumpang atau adanya pembatasan jumlah penumpang.

 

Selain perbedaan tersebut di atas, akibat hukum yang ditimbulkan dari kedua doktrin tersebut juga berbeda. Apabila terjadi keadaan memaksa, maka dapat menyebabkan berakhirnya perjanjian disebabkan musnahnya benda yang menjadi objek perjanjian atau jika peristiwa yang menyebabkan keadaan memaksa tersebut bersifat permanen. Keadaan memaksa juga dapat mengakibatkan penundaan pelaksanaan perjanjian apabila peristiwa yang menyebabkan keadaan memaksa itu berifat sementara.

 

Berbeda dengan keadaan memaksa, dalam hal terjadi perubahan keadaan atau terjadi keadaan sulit, maka pihak yang dirugikan berhak meminta renegosiasi perjanjian. Artinya perjanjian tetap dapat terlaksana hanya saja dengan syarat-syarat perjanjian yang disesuaikan dengan keadaan yang baru. Apabila tidak tercapai kesepakatan, maka pihak yang dirugikan berhak mengajukannya ke pengadilan.

 

Terhadap permohonan tersebut, pengadilan dapat menyesuaikan syarat-syarat perjanjian atau mengakhiri perjanjian pada waktu dan syarat yang ditentukan. Dalam kaitannya dengan pengadaan APD atau ventilator misalnya, pihak penyedia barang dapat meminta penyesuaian harga. Sedangkan dalam kasus penyewaan angkutan laut dan udara, pihak penyewa dapat meminta pengurangan jumlah armada yang disewa dengan atau tanpa pengurangan harga sewa.

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait