Kesadaran Membuat Perjanjian Perkawinan Masih Rendah
Utama

Kesadaran Membuat Perjanjian Perkawinan Masih Rendah

Warga pribumi jarang membuat perjanjian perkawinan. Tak semua perjanjian perkawinan bisa diterima Kantor Catatan Sipil.

Oleh:
M-3
Bacaan 2 Menit
Kesadaran Membuat Perjanjian Perkawinan Masih Rendah
Hukumonline

Selain itu, banyak terjadi kebingungan dalam hal perjanjian perkawinan dilaporkan setelah pencatatan perkawinan dilaksanakan. Atau dalam hal perjanjian perkawinan dibuat di luar negeri namun perkawinan perkawinan dicatatkan di Indonesia. Dalam dua hal ini, Kantor Catatan Sipil hanya akan menerimanya jika ada penetapan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap.

Lebih sulit lagi jika ternyata perkawinannya dicatatkan di luar negeri sedangkan perjanjian perkawinannya dibuat di Indonesia. Dalam kasus seperti ini, Kantor Catatan Sipil cenderung akan menolak mencatatkan perjanjian perkawinan tersebut pada bukti pelaporan perkawinan luar negeri.

Di satu pihak, tanpa memandang kesulitan-kesulitan teknis itu, perjanjian perkawinan sebenarnya amat penting bagi suami istri. Bertha memberikan dua contoh berkaitan dengan permohonan kredit kepada bank dan kepailitan. Suami tidak perlu meminta persetujuan istri untuk menjadikan hartanya sebagai agunan. Selain itu, dapat mencegah seluruh harta disita ke dalam boedel pailit jika tertulis atas nama istrinya, jelas Bertha.

Di lain pihak, menurut Wienarsih, dalam masyarakat Indonesia yang memberikan makna sakral pada perkawinan serta menilik situasi sebelum menikah yang kasmaran, tidak heran lembaga perjanjian perkawinan tidak populer. Memang tidak dapat disangkal sengketa perebutan harta setelah cerai amat kacau. Jadi tidak ada salahnya perjanjian perkawinan terus disosialisasikan.

Perjanjian Perkawinan adalah perjanjian diantara calon suami isteri yang tujuannya berakibat pada harta perkawinan mereka kelak. Pada Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPer), salah satu akibat perkawinan adalah persatuan harta secara menyeluruh (campuran bulat). Sedangkan pada UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, terjadi harta bersama setelah menikah. Lembaga perjanjian perkawinan disiapkan sebagai pengecualian dari akibat tersebut.

Tapi pentingnya pemisahan harta belum dipahami banyak pihak di masyarakat, khususnya dari kalangan pribumi. Notaris Bertha Herawati menyatakan, berdasarkan pengalamannya, perjanjian perkawinan biasanya dibuat oleh golongan Tionghoa yang berprofesi sebagai pengusaha. Kalangan pribumi masih sangat jarang yang membuat perjanjian perkawinan. Perjanjian perkawinan belum merupakan hal yang umum dilakukan di Indonesia, apalagi untuk masyarakat pribumi, paparnya.

Kurangnya minat terhadap lembaga perjanjian perkawinan dikuatkan oleh data yang tunjukkan Erik Polim Sinurat. Pegawai Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil DKI Jakarta ini membeberkan sejumlah data relevan di depan peserta workshop Prenuptial Agreement yang diselenggarakan dalam rangka acara Days of Law Career, Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Senin (9/4) lalu.

 Tabel

Perbandingan jumlah perkawinan dan perjanjian perkawinan

di DKI Jakarta

 

WNI: STBLD 1917 & 1933

WNA: STBLD 1849 & 1917 & 1933

 

  1. TAHUN 2005

Jumlah perkawinan: 5.139

Perjanjian perkawinan: 369 

  1. TAHUN 2006

Jumlah Perkawinan: 5.230

Perjanjian Perkawinan: 427

  1. TAHUN 2007

Jumlah Perkawinan: 1.157

Perjanjian Perkawinan: 110

 

  1. TAHUN 2005

Jumlah Perkawinan: 266

Perjanjian Perkawinan: 35

TAHUN 2006

Jumlah Perkawinan: 272

Perjanjian Perkawinan: 24 

  1. TAHUN 2007

Jumlah Perkawinan: 73

Perjanjian Perkawinan: 15

Erik Polim mengakui masih banyak permasalahan yang ditemui di lapangan dalam hal pencatatan perjanjian perkawinan ini. Bahkan sampai sempat berdebat dengan akademisi, Wienarsih I. Subekti yang turut hadir. Menurut Wienarsih, berdasarkan UU Perkawinan, perjanjian perkawinan tidak perlu dibuat dengan akta notaris tapi pada prakteknya, ternyata Catatan Sipil tidak menerima perjanjian perkawinan selain yang dibuat oleh notaris.

Halaman Selanjutnya:
Tags: