Ketentuan Konten 'Negatif' dalam Permenkominfo 5/2020 Dinilai Ambigu
Berita

Ketentuan Konten 'Negatif' dalam Permenkominfo 5/2020 Dinilai Ambigu

Dibutuhkan definisi yang jelas mengenai apa yang disebut sebagai ‘konten negatif’ atau konten yang dianggap meresahkan masyarakat dan mengganggu ketertiban umum.

Mochamad Januar Rizki
Bacaan 3 Menit
Ilustrasi: HOL
Ilustrasi: HOL

Publikasi konten digital melalui media sosial berkembang sangat pesat saat ini. Semua orang dapat mempublikasikan konten berbentuk tulisan, foto dan video secara instan. Dalam dunia konten digital terdapat istilah User Generated Content (UGC) yaitu konten yang penyediaan, penayangan, pengunggahan serta pertukaran informasi dan dokumen elektronik dilakukan pengguna. Contoh media sosial yang menerapkan UGC seperti Facebook, Instagram dan sejenisnya.

Peneliti Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) Pingkan Audrine Kosijungan menyampaikan terdapat Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika (Permenkominfo) Nomor 5 Tahun 2020 tentang Penyelenggara Sistem Elektronik (PSE) Lingkup Privat, melarang jenis konten tertentu tanpa memberikan definisi yang jelas, terutama untuk yang dianggap “meresahkan masyarakat dan mengganggu ketertiban umum”.

Ketentuan yang tercantum pada Pasal 9 Permenkominfo 5/2020 dianggap Pingkan tanpa definisi jelas untuk konten yang dilarang, berisiko menyebabkan PSE terlalu berhati-hati hingga memblokir konten secara berlebihan.

“Untuk itu dibutuhkan definisi yang jelas mengenai apa yang disebut sebagai ‘konten negatif’ atau konten yang dianggap meresahkan masyarakat dan mengganggu ketertiban umum. Definisi konten yang dilarang telah mengalami perubahan dari peraturan sebelumnya. Perlu juga diperjelas konten pada medium mana saja yang terikat pada ketentuan ini,” jelas Pingkan, Senin (19/4). (Baca: Penegakan Hukum Lemah, Kebocoran Data Pribadi Rentan Berulang)

Penelitian CIPS menemukan, berdasarkan Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik yang diratifikasi oleh Indonesia pada 29 Oktober 2005, pemerintah bisa membatasi kebebasan berekspresi untuk tujuan keamanan nasional dan perlindungan harga diri manusia terhadap rasisme, hoaks, ujaran kebencian, dan penistaan (ICCPR, 1966, 1976). Pembatasan ini dilakukan melalui UU dan peraturan. Namun, dengan tidak jelasnya konten yang dilarang, pembatasan yang ada bisa memperburuk kebebasan berekspresi di Indonesia.

Permenkominfo Nomor 5 Tahun 2020 mendefinisikan PSE lingkup privat sebagai sistem elektronik yang dijalankan oleh orang, badan usaha, atau masyarakat. PSE ini diwajibkan untuk memastikan platform mereka tidak mengandung atau memfasilitasi transmisi konten yang dilarang. 

Pendefinisian konten yang dilarang disesuaikan dengan Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Sistem dan Transaksi Elektronik yang merupakan dasar hukum Permenkominfo tersebut, yaitu konten yang melanggar perundangan dan peraturan di Indonesia atau apapun yang meresahkan atau mengganggu ketertiban masyarakat.  

Namun, lanjut Pingkan, definisi konten yang dilarang telah mengalami beberapa kali perubahan dari peraturan-peraturan sebelumnya seperti Permenkominfo Nomor 19 tahun 201 terkait Penanganan Situs Internet Bermuatan Negatif dan Surat Edaran Menteri Kominfo Nomor 5 Tahun 2016 tentang Batasan dan Tanggung Jawab Penyedia Platform dan Pedagang (Merchant) Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (Electronic Commerce) yang Berbentuk UGC.

Peraturan Menteri Kominfo Nomor 5 Tahun 2020 kemudian mencabut Peraturan Menteri Kominfo Nomor 19 Tahun 2014. Akibatnya, istilah “konten negatif” tidak lagi digunakan, dan meskipun sudah ada upaya untuk memperjelas definisi konten yang dilarang, tetap masih terdapat ambiguitas.  

CIPS merekomendasikan pemerintah untuk menggunakan pendekatan ko-regulasi atau pengaturan bersama UGC dengan pihak swasta. Dialog antara pemerintah dan swasta serta pembagian tanggung jawab akan membantu proses hukum menjadi lebih relevan dan terus berkembang seiring cepatnya perkembangan lanskap digital yang sangat dinamis.

Pengaturan bersama, yaitu pendekatan regulasi yang berfokus pada dialog antara pemerintah dan swasta serta pembagian tanggung jawab antara pemerintah dan non-pemerintah secara luas, harus dipertimbangkan dalam formulasi regulasi karena cara ini dapat meningkatkan efektivitas pencegahan konten yang dilarang. 

Fokus Tangani Isu Konten Negatif

Sebelumnya, Sekretaris Jenderal Kementerian Komunikasi dan Informatika Mira Tayyiba menyatakan salah satu fokus tugas Kominfo yaitu menciptakan ruang digital yang bersih, sehat.  Kemudian, melakukan pelindungan data pribadi, kebijakan arus lintas data atau cross-border data flow.

“Pertama, penciptaan kedaulatan dan kemandirian digital. Kedua, penciptaan ruang digital yang bersih, sehat, dan beretika. Ketiga, penciptaan fair playing field. Di sektor penciptaan kedaulatan dan kemandirian digital, Kominfo tentunya fokus di infrastruktur digital. Bagaimana kita memperkuat dan juga mendorong pemerataannya.  Kemudian, melakukan pelindungan data pribadi, kebijakan cross-border data flow, dan sebagainya,” paparnya seperti dikutip dari siaran pers Kominfo, Senin (5/4) lalu.

Selanjutnya, mengenai isu penciptaan ruang digital yang bersih, menurut Sekjen Kementerian Kominfo kini tengah disusun pedoman implementasi Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik. “Kita juga meningkatkan literasi digital bukan hanya mampu menggunakan digital, tapi juga kita menekankan kepada etika culture safety dari penggunaan digital,” jelasnya.

Guna menangkal kabar bohong yang beredar di ruang digital, Sekjen Mira menyatakan Kementerian Kominfo melakukan pengendalian konten negatif dengan memberi stempel hoaks dan disinformasi terhadap isu-isu yang menyesatkan. 

“Hal ini dimaksudkan agar masyarakat dapat tercerdaskan dalam memilah dan memilih berita yang beredar. Sebagai informasi saja, selama pandemi Covid-19 ini sudah sangat banyak hoaks yang atau berita palsu yang kami beri label hoaks atau disinformasi sehingga tidak menyesatkan,” tegasnya.

Mira menjelaskan dalam pemanfaatan dan pelindungan data, Kementerian Kominfo sudah menyusun instrumen mulai dari Undang-Undang ITE, Peraturan Pemerintah mengenai penyelenggaraan sistem dan transaksi elektronik melalui PP 71 tahun 2019, serta Peraturan Menteri Kominfo Nomor 5 Tahun 2020 mengenai PSE lingkup privat.

Tags:

Berita Terkait