Ketua KY: Peran KY Dalam SPH adalah Perluasan Kewenangan
Berita

Ketua KY: Peran KY Dalam SPH adalah Perluasan Kewenangan

DPR menganggap keterlibatan KY dalam SPH justru akan menciptakan pola rekrutmen yang fair, akuntabel, lebih objektif, dan tidak memihak.

Oleh:
ASH
Bacaan 2 Menit
Ketua KY Suparman Marzuki sebagai pihak terkait menyampaikan keterangannya di Ruang Pleno MK, Rabu (20/5). Foto: Humas MK
Ketua KY Suparman Marzuki sebagai pihak terkait menyampaikan keterangannya di Ruang Pleno MK, Rabu (20/5). Foto: Humas MK
Komisi Yudisial (KY) menganggap aturan yang memberi wewenang KY terlibat dalam Seleksi Pengangkatan Hakim (SPH) bersama Mahkamah Agung (MA) di tiga lingkungan peradilan sebagai bentuk perluasan kewenangan KY. Namun, dengan tidak diaturnya kewenangan SPH dalam Pasal 24B ayat (1) UUD 1945 bukan berarti kewenangan itu bertentangan dengan konstitusi. Sebab, praktik ketatanegaraan perluasan kewenangan tersebut merupakan hal wajar meski tidak diatur tegas dalam konstitusi.

“Dalam praktik penyelenggaraan pemerintahan negara sangat banyak undang-undang yang dibuat DPR dan presiden yang tak ada perintah (delegasi) langsung dalam UUD 1945,” ujar Ketua KY Suparman Marzuki saat memberi keterangan sebagai pihak terkait dalam sidang lanjutan pengujian paket tiga UU Peradilan di Gedung MK, Jakarta, Rabu (20/5).

KY sendiri memandang tidak ada satu pasal pun dalam UUD 1945 yang melarang KY terlibat dalam proses seleksi pengangkatan hakim. Selain itu, tidak ada undang-undang lain yang mengatur bahwa kewenangan seleksi pengangkatan hakim hanya menjadi wewenang MA saja. Karena itu, pemberian kewenangan pada KY dan MA secara bersama untuk mengangkat hakim sama sekali tidak bertentangan dengan UUD 1945.  

Dia membantah adanya kewenangan KY dalam SPH ini akan mengganggu, menghambat, membelenggu, merusak kemandirian, dan kemerdekaan hakim. Sebab, pada hakikatnya kedua lembaga merupakan lembaga mandiri, tetapi saling terkait sehingga kemandirian kedua lembaga ini tidak berarti tidak diperlukan koordinasi dan kerjasama antara KY dan MA.

Apalagi, dalam Cetak Biru Pembaruan MA 2010-2035 telah mengamanatkan agar MA mulai memperbaiki komunikasi dengan KY untuk mempersiapkan tim bersama dalam rekrutmen hakim sesuai amanat UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. Karena itu, dalil pemohon dianggap Suparman hanya sebagai asumsi dan kekhawatiran yang tidak memiliki dasar konstitusionalitas.

Lagipula, keterlibatan KY hanya sebatas dalam proses seleksi pengangkatan hakim agar memenuhi syarat transparan, akuntabel, dan partisipatif. “Jadi, sebenarnya tidak ada hubungannya untuk mempengaruhi kemandirian dan kemerdekaan hakim dalam memeriksa, mengadili, dan memutus perkara,” tegasnya.  

“Karena itu, kita meminta agar majelis hakim menolak seluruhnya permohonan pemohon,” harapnya.

Tidak Mengurangi
Sementara, DPR memandang adanya kewenangan KY bersama MA menyeleksi hakim sama sekali tidak mengurangi hak konstitusional pemohon. Hak konstitusional pemohon justru dilindungi dengan adanya pertimbangan KY sebagai wujud perimbangan (check and balance) dalam proses pengambilan keputusan dalam seleksi hakim.  

“Peran serta KY sebagai pihak eksternal dalam proses seleksi pengangkatan hakim justru akan menciptakan pola rekrutmen yang fair, akuntabel, lebih objektif, dan tidak memihak,” ujar Anggota Komisi III DPR Erma Suryani Ranik dalam kesempatan yang sama. 

Menurutnya, kemandirian peradilan akan lebih optimal tercapai karena adanya pengawasan eksternal oleh KY selain pengawasan internal. Dia menilai dalil pemohon yang menyebutkan MA memiliki kuasa penuh atas organisasi, administrasi, dan finansial badan peradilan di bawahnya, tetapi norma tersebut tidak menyebutkan proses pengangkatan hakim secara independen dan mandiri hanya dilakukan oleh MA. 

DPR beranggapan Pasal 24B ayat (1) UUD 1945 yang menyebutkan KY berwenang mengusulkan hakim agung dan mempunyai wewenang lain dalam rangka menjaga, menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, dan perilaku hakim tidak hanya terbatas pada hakim agung saja, tetapi bisa saja termasuk hakim.  

Dia beralasan dalam Pasal 24B ayat (1) UUD 1945 ada frasa “mempunyai wewenang lain” dapat dimaknai KY memiliki wewenang lain yaitu ikut dalam proses seleksi pengangkatan hakim pada peradilan umum, agama, dan tata usaha negara. “Kalau soal permasalahan tidak adanya seleksi pengangkatan hakim sejak 2010 hingga kini dianggap bukan merupakan permasalahan konstitusionalitas norma,” katanya.

Pengurus Pusat Ikatan Hakim Indonesia (PP IKAHI) mempersoalkan aturan yang memberi wewenang KY untuk terlibat dalam SPH bersama MA di tiga lingkungan peradilan melalui uji materi ke MK. IKAHI memohon pengujian Pasal 14A ayat (2), (3) UU No. 49 Tahun 2009 tentang Peradilan Umum, Pasal 13A ayat (2), (3) UU No. 50 Tahun 2009 tentang Peradilan Agama, dan Pasal 14A ayat (2), (3) UU No. 51 Tahun 2009 tentang Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN).

IKAHI mengganggap kewenangan KY dalam proses SPH mendegradasi peran IKAHI untuk menjaga kemerdekaan (independensi) yang dijamin Pasal 24 UUD 1945. Selain itu, Pasal 21 UU Kekuasaan Kehakiman menyebutkan organisasi, administrasi, dan finansial MA dan badan peradilan berada di bawah kekuasaan MA.

Terlebih, Pasal 24B ayat (1) UUD 1945 tidak mengamanatkan keterlibatan KY dalam SPH. Bahkan, keterlibatan KY dinilai menghambat regenerasi hakim. Karenanya, pemohon meminta agar keterlibatan KY dalam SPH dihapus dengan cara menghapus kata “bersama” dan frasa “Komisi Yudisial” dalam pasal-pasal itu, sehingga hanya MA yang berwenang melaksanakan SPH.
Tags:

Berita Terkait