Kalangan Peradilan Kritik Judicial Review IKAHI
Utama

Kalangan Peradilan Kritik Judicial Review IKAHI

IKAHI menggugat keterlibatan KY dalam sistem rekrutmen calon hakim. Pengamat menilai IKAHI tidak memiliki legal standing dan tidak ada hubungan kausalitas.

Oleh:
AGUS SAHBANI
Bacaan 2 Menit
Hakim Agung Gayus Lumbuun. Foto: RES.
Hakim Agung Gayus Lumbuun. Foto: RES.
Uji materi (judicial review) tiga paket undang-undang peradilan tahun 2009 yang mempersoalkan keterlibatan Komisi Yudisial (KY) dalam Seleksi Pengangkatan Hakim (SPH) bersama Mahkamah Agung (MA) dikritik kalangan internal peradilan sendiri. Kritik itu datang dari Hakim Agung Topane Gayus Lumbuun dan mantan hakim Asep Iwan Iriawan dalam sebuah diskusi yang digelar di Bakoel Coffie Jakarta, Senin (27/5).

Gayus menilai tiga pasal yang dimohonkan pengujian dalam  UU No. 49 Tahun 2009 tentang Peradilan Umum, UU No. 50 Tahun 2009 tentang Peradilan Agama, dan UU No. 51 Tahun 2009 tentang PTUN terkait SPH dilakukan MA dan KY sudah cukup jelas. Bahkan halaman 47-57 Blueprint MA 2010-2035 menyebutkan MA telah menyiapkan tim bersama KY untuk SPH sesuai amanat tiga paket undang-undang peradilan.

“Walaupun pimpinan MA berganti, Blueprint ini tetap harus dilaksanakan. Jadi, permohonan IKAHI bertentangan dengan Blueprint MA sendiri karena ketentuan yang dipersoalkan pun explicit verbis, sesuatu yang sudah jelas, tidak bisa ditafsirkan lagi,” kata Gayus.

Lagipula, lanjutnya, kewenangan KY yang tertuang dalam Pasal 24B ayat (1) UUD 9145 terdapat frasa ‘wewenang lain’ dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim yang bisa ditafsirkan termasuk kewenangan keterlibatan KY merekrut hakim. “Pasal 24B ayat (1) UUD 1945, khususnya frasa ‘kewenangan lain’ ini pun bisa tujuannya sangat luas,” kata Gayus mengingatkan.

Pengurus Pusat Ikatan Hakim Indonesia (PP IKAHI)  mempersoalkan aturan yang memberi wewenang KY untuk terlibat dalam SPH bersama MA di tiga lingkungan peradilan melalui uji materi ke MK. IKAHImemohon pengujian Pasal 14A ayat (2), (3) UU No. 49 Tahun 2009 tentang Peradilan Umum, Pasal 13A ayat (2), (3) UU No. 50 Tahun 2009 tentang Peradilan Agama, dan Pasal 14A ayat (2), (3) UU No. 51 Tahun 2009 tentang Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN).

IKAHI mengganggap kewenangan KY dalam proses SPH mendegradasi peran IKAHI untuk menjaga kemerdekaan (independensi) yang dijamin Pasal 24 UUD 1945. Selain itu, Pasal 21 UU Kekuasaan Kehakiman menyebutkan organisasi, administrasi, dan finansial MA dan badan peradilan berada di bawah kekuasaan MA.

Terlebih, Pasal 24B ayat (1) UUD 1945 tidak mengamanatkan keterlibatan KY dalam SPH. Bahkan, keterlibatan KY dinilai menghambat regenerasi hakim. Karenanya, pemohon meminta agar keterlibatan KY dalam SPH dihapus dengan cara menghapus kata “bersama” dan frasa “Komisi Yudisial” dalam pasal-pasal itu, sehingga hanya MA yang berwenang melaksanakan SPH.   

Namun Gayus menganggap uji materi IKAHI kurang memperhatikan teori ilmu perundang-undangan dalam hal penafsiran secara gramatikal, sistematis, historis terhadap tiga undang-undang yang dipersoalkan. “Orang-orang ini walaupun mereka hakim, tidak menguasai ilmu perundang-undangan, seharusnya mereka membaca undang-undang secara gramatikal, sistematis, dan historis,” kritiknya.

Dia pun mempertanyakan tujuan, motivasi yang digugatnya ketentuan itu di MK. Sebab, idealnya, setiap permohonan uji materi yang dilayangkan seseorang atau kelompok masyarakat memiliki tujuan, motivasi, dan evaluasi atas penerapan aturan yang merugikan masyarakat. “Ini motivasinya apa?”

Tidak dapat diterima
Asep Iwan Iriawan menilai sudah selayaknya uji materi IKAHI ini tidak dapat diterima karena tidak memiliki legal standing (kedudukan hukum) dan tidak ada hubungan kausalitas. “PP IKAHI memperjuangkan calon hakim, mereka (calon hakim) belum menjadi hakim, apa kepentingannya? Apa jelas kerugian IKAHI apa? Kan aturan itu belum pernah diterapkan?” kata Asep mempertanyakan.

Mantan hakim yang pernah bertugas di PN Jakarta Pusat ini memandang Pasal 24B ayat (1) UUD 1945, khususnya ‘wewenang lain’ bisa ditafsirkan termasuk SPH dalam rangka menjaga martabat dan perilaku hakim. Dia menganalogikan dengan kehidupan keluarga dan empat elemen dalam ilmu manajemen yakni planning, organizing, actuating, controlling. Artinya, ketika KY diberi wewenang menjaga harkat-martabat dan perilaku hakim, seharusnya sedari awal dilibatkan dalam rekrutmen hakim.

“Lucu, kalau dari awal KY tidak dilibatkan dalam rekrutmen hakim (planning), sementara KY langsung mengawasi. Justru, kalau KY dari awal dilibatkan dalam rekrutmen hakim akan memudahkan pengawasannya,” katanya.

Dia mensinyalir permohonan ini didorong adanya ketidaksukaan sejumlah pihak keterlibatan KY dalam SPH ini. Dia mencontohkan, beberapa waktu lalu, ada beberapa calon hakim magang di Pengadilan Depok yang diduga anak hakim agung. “Ketua PN Depok-nya bingung kalau ingin menegor mereka,” ungkapnya.

“Jadi, kepentingan IKAHI apa, tidak ada hubungan kaulitas, apa hakim agung takut nantinya anaknya tidak bisa jadi hakim,” kritiknya.

Terpisah, Juru Bicara MA Suhadi yang juga salah satu pengurus PP IKAHI, memandang awal Blueprint MA 2003 seperti itu dimana tidak ada keterlibatan KY dalam rekrutmen hakim. Kemudian dalam perkembangnya ada upaya KY untuk menguasaiman, money, material MA yang semuanya sudah satu atap sejak tahun 2004. “Fungsi KY menurut UUD 1945, KY hanya berwenang mengusulkan calon hakim agung ke DPR dan mengawasi hakim,” kata Suhadi di gedung MA.

Suhadi tak menampik informasi adanya anak hakim agung yang lagi magang. Ia menganggap anak hakim agung terpilih menjadi hakim karena masih ada budaya mengagumi orang tua di Indonesia. Proses rekrutmen calon-calon hakim itu sudah melalui seleksi. Suhadi mengibaratkan dengan tentara. “Anak mantan Presiden SBY ada yang menjadi tentara. Jadi kalau orang tuanya hakim atau jaksa, anaknya menjadi hakim/jaksa kan biasa saja,” dalihnya.
Tags:

Berita Terkait