Ketua MA: Ada Tantangan Memperkuat Implementasi Keadilan Restoratif
Berita

Ketua MA: Ada Tantangan Memperkuat Implementasi Keadilan Restoratif

Bagaimana mengembangkan dan memperkuat implementasi keadilan restoratif dalam peraturan perundang-undangan, khususnya di level Undang-Undang (UU); penyiapan SDM dari aparat penegak hukum; dan diseminasi.

Oleh:
Agus Sahbani
Bacaan 4 Menit
Ketua MA Prof H.M. Syarifuddin saat menjadi pembicara kunci dalam webinar bertajuk 'Tujuan, Implementasi, Problematika Penerapan Restorative Justice dalam Penegakan Hukum Pidana di Indonesia', Sabtu (20/2). Foto: Istimewa
Ketua MA Prof H.M. Syarifuddin saat menjadi pembicara kunci dalam webinar bertajuk 'Tujuan, Implementasi, Problematika Penerapan Restorative Justice dalam Penegakan Hukum Pidana di Indonesia', Sabtu (20/2). Foto: Istimewa

Sejak 2009, konsep restorative justice (keadilan restoratif) mulai diadopsi dalam peraturan perundangan-undangan ditandai terbitnya Surat Kapolri No. Pol: B/3022/XII/2009/SDOPS tanggal 14 Desember 2009 tentang Penanganan Kasus melalui Alternatif Dispute Resolution (ADR). Lalu, dalam perkara anak, keadilan restoratif tercermin praktik diversi (penyelesaian perkara pidana anak di luar pengadilan) seperti diatur UU No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak.

Di bidang hak cipta, dalam Pasal 95 ayat (4) UU No. 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta dan Pasal 154 UU No. 13 Tahun 2016 tentang Paten, pada pokoknya diatur proses mediasi sebelum melakukan penuntutan pidana yang diadopsi model mediasi penal guna menanggulangi masalah kejahatan. (Baca Juga: Melihat Pedoman Penerapan Keadilan Restoratif di Pengadilan)

Praktik penegakan hukum keadilan restoratif, sebagai mekanisme penyelesaian di luar pengadilan berdasarkan prinsip keadilan, pun sudah tercermin dalam beberapa putusan pengadilan. Hal ini mendorong Mahkamah Agung (MA) menerbitkan sejumlah kebijakan berupa Perma dan SEMA. Seperti, SE Ketua MA No. 3 Tahun 2011 tentang Penempatan Korban Penyalahgunaan Narkotika di Dalam Lembaga Rehabilitasi Medis dan Rehabilitasi Sosial.

Kemudian, Perma No. 2 Tahun 2012 tentang Penyesuaian Batasan Tindak Pidana Ringan dan Jumlah Denda dalam KUHP; Perma No. 4 Tahun 2014 tentang Pedoman Pelaksanaan Diversi dalam Sistem Peradilan Pidana Anak; Perma No. 3 Tahun 2017 tentang Pedoman Mengadili Perkara Perempuan Berhadapan Dengan Hukum; Keputusan Dirjen Badan Peradilan Umum MA RI No. 1691/DJU/SK/PS.00/12/2020 tentang Pemberlakuan Pedoman Penerapan Keadilan Restoratif pada 22 Desember 2020.

Sedangkan keadilan restoratif di instansi kepolisian dan kejaksaan berlaku SE Kapolri No. SE/8/VII/2018 Tahun 2018 tentang Penerapan Keadilan Restoratif (Restorative Justice) dalam Penyelesaian Perkara Pidana; Peraturan Kapolri No. 6 Tahun 2019 tentang Penyidikan Tindak Pidana; dan Peraturan Kejaksaan No. 15 Tahun 2020 tentang Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif.

Kebijakan itu disertai beberapa surat keputusan bersama (SKB), diantaranya SKB Ketua MA, Jaksa Agung, Kapolri, Menkumham, Menteri Sosial, dan Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Tahun 2009 tentang Penanganan Anak Yang Berhadapan Dengan Hukum; Nota Kesepakatan Bersama Ketua MA, Menkumham, Jaksa Agung, Kapolri Tahun 2012 tentang Pelaksanaan Penerapan Penyesuaian Batasan Tindak Pidana Ringan dan Jumlah Denda, Acara Pemeriksaan Cepat Serta Penerapan Keadilan Restoratif.

“Tapi, penerapan keadilan restoratif dalam sistem peradilan pidana masih banyak tantangan dan kendala yang dihadapi,” ujar Ketua MA Prof H.M. Syarifuddin saat menjadi pembicara kunci dalam webinar bertajuk “Tujuan, Implementasi, Problematika Penerapan Restorative Justice dalam Penegakan Hukum Pidana di Indonesia” yang diselenggarakan IKAFH UNDIP, Sabtu (20/2/2021).      

Syarifuddin menilai salah satu tantangannya bagaimana mengembangkan dan memperkuat implementasi keadilan restoratif dalam peraturan perundang-undangan, khususnya di level Undang-Undang (UU) secara komprehensif. Tantangan lain, penyiapan sumber daya manusia (SDM) dari kalangan penegak yang memahami arti penting keadilan restoratif sekaligus tantangan melakukan diseminasi kepada masyarakat selaku subjek keadilan restoratif.                

Selain MA sudah menerbitkan beberapa kebijakan terkait keadilan restoratif, lanjutnya, ada banyak putusan pengadilan yang sudah menerapkan konsep keadilan restoratif. Misalnya, dalam Putusan MA No.307K/Pid.Sus/2010 amar putusannya hanya menjatuhkan hukuman “percobaan dengan syarat khusus” memberikan nafkah kepada istri dan anak-anak. Salah satu pertimbangannya, yang dibutuhkan oleh korban adalah nafkah bulanan. Sedangkan pelaku berharap tidak dipecat dari pekerjaannya sebagai PNS. Dengan begitu kepentingan hukum kedua pihak dapat terakomodasi.

Selain itu, Putusan MA No. 566K/Pid.Sus/2012, dalam persidangan terungkap bahwa pelaku sebenarnya sedang atau selesai menggunakan narkotika yang sangat kecil. Karena itu, seharusnya dakwaan yang dituduhkan kepada terdakwa lebih tepat Pasal 127, bukan Pasal 112 UU No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika sebagaimana dituduhkan oleh jaksa. Dalam perkara ini, Majelis MA menjatuhkan hukuman ringan terhadap pelaku dikurangi masa rehabilitasi.

“Ini contoh putusan restorative justice, bagian kecil dari putusan-putusan lain yang jumlahnya sangat banyak berkaitan penerapan restorative justice. Kumpulan putusan yang mengadopsi konsep restorative justice terkait perlindungan korban dapat dilihat dalam laporan penelitian tahun 2013 yang disusun Puslitbangkumdil MA, direktori putusan MA, dan situs berita hukum.”  

MA membuka diri semua masukan terkait penerapan keadilan restoratif sebagai bagian dari keberpihakan pada keadilan dan kemajuan bangsa dan negara. Sekedar renungan, di Belanda, ada beberapa penjara yang ditutup karena tidak ada penghuninya. Sebaliknya di Indonesia, hampir seluruh lapas dan rutan mengalami overcrowded akibat terlalu banyak pelaku kejahatan yang dipidana penjara. Hal ini karena di Belanda menerapkan hukuman pidana alternatif (nonpenjara) terhadap pelaku kejahatan.

Seperti, hukuman kerja sosial, rehabilitasi, program keterampilan. Hukuman alternatif ini untuk menyelesaikan kewajiban untuk membayar kembali semua kerugian negara atau kerugian korban hingga kembali seperti semula. Bila dimasukan ke dalam lapas atau rutan diperlukan biaya makan, kesehatan, pengawasan yang tinggi selama di penjara dan kerugian negara atau korban belum tentu kembali.              

“Renungan kita bersama, apakah cocok hukuman pidana alternatif di Indonesia? Mari kita kaji (keadilan restoratif, red) secara lebih mendalam karena baik di negeri orang belum tentu baik di negeri sendiri. Ada kaidah fiqih, 'perdamaian adalah puncak segala hukum',” tutupnya.   

Dalam kesempatan yang sama, Jaksa Agung ST Burhanuddin mengatakan awalnya konsep keadilan restoratif muncul pada tahun 1977 di Amerika Serikat, yang merupakan penyelesaian perkara pidana dengan cara mediasi antara pihak korban dan pelaku tindak pidana. Di Indonesia, penerapan keadilan restoratif diadopsi salah satunya melalui UU Sistem Peradilan Pidana Anak. UU ini mengatur model penyelesaian perkara pidana dengan melibatkan pelaku, korban, keluarga pelaku dan korban, serta pihak terkait secara adil.

“Perkara ini menekankan pemulihan kembali dalam keadaan semula, bukan pembalasan,” kata Burhanuddin. (Baca Juga: Kejaksaan Hentikan 222 Perkara Lewat Keadilan Restoratif)

Kejaksaan telah melakukan pendekatan keadilan restoratif dalam penyelesaian perkara tindak pidana sesuai Peraturan Jaksa Agung (Perja) No. 15 Tahun 2020 tentang Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif. “Penghentian penuntutan berdasarkan keadilan restoratif dilaksanakan dengan asas keadilan, proporsionalitas, cepat, sederhana, dan biaya ringan,” katanya.

Tags:

Berita Terkait