Ketua MK Bakal Nikahi Adik Presiden, Begini Pandangan Prof Jimly Asshiddiqie
Utama

Ketua MK Bakal Nikahi Adik Presiden, Begini Pandangan Prof Jimly Asshiddiqie

Pernikahan Ketua MK Anwar Usman dengan adik Presiden Jokowi itu sah-sah saja sebagai HAM.

Aida Mardatillah
Bacaan 4 Menit
Ketua MK Anwar Usman. Foto: RES
Ketua MK Anwar Usman. Foto: RES

Sepekan terakhir ramai diperbincangkan rencana Ketua Mahkamah Konstitusi Anwar Usman bakal menikahi Adik Presiden Jokowi, Idayati. Resepsi pernikahan Anwar Usman dengan Idayati bakal digelar pada Mei 2022 mendatang di Solo, Jawa Tengah. Hal ini menimbulkan pro dan kontra di masyarakat. Ada yang menilai pernikahan ini mengandung konflik kepentingan lantaran Presiden cq Pemerintah sebagai pihak berperkara di MK, sehingga Anwar Usman disarankan mengundurkan diri dari jabatan sebagai hakim konstitusi.    

Mantan Ketua MK Prof Jimly Asshiddiqie menilai pernikahan Ketua MK Anwar Usman dengan adik Presiden itu sah-sah saja sebagai hak asasi manusia (HAM) yang diatur UU No.1 Tahun 1974 tentang perkawinan. Sebab, keduanya berstatus janda dan duda. Hanya saja, secara kebetulan Anwar Usman sedang menjabat menjadi ketua MK dan kakak calon mempelai wanita, Jokowi sedang menjabat presiden.

“Coba kalau sedang tidak menjabat tidak masalah sebetulnya kan. Jadi, boleh saja tidak ada larangan menikah, Ini kan HAM seseorang untuk menikah. Hanya saja perlu menjaga kepercayaan publik kepada MK ke depannya,” pesan Jimly.   

Jimly mengutip pendapat mantan Ketua MK Moh. Mahfud MD yang mengatakan tidak ada hal yang dilanggar dan tidak ada pelanggaran kode etik. Baginya, yang terpenting nanti bagaimana Anwar Usman menangani perkara akibat perkawinan itu. Dia mengakui benturan kepentingan itu diatur dalam berbagai kode etik profesi dan lembaga negara, tetapi melarang pernikahan itu justru pelanggaran HAM.

“Jangan ‘digoreng-goreng’ ke arah politik, mending membicarakan minyak goreng yang lagi langka,” kata Jimly.  

Baca:

Dia menyarankan semua pihak harus rasional melihat peristiwa rencana perkawinan ini yang kebetulan mempunyai kedudukan penting bagi setiap manusia. Menurut Jimly, adanya pihak yang menuntut Anwar Usman mundur sebagai ketua MK terlalu berlebihan karena hal ini menyangkut hak untuk menikah.

“Tinggal masalahnya bagaimana merawat kepercayaan publik terhadap MK. Jangan sampai adanya ‘goreng menggoreng’ ini mencoreng citra lembaga MK,” ujarnya.

Beda halnya, bila nanti ada perkara impeachment (pemakzulan) Presiden Jokowi yang diajukan oleh DPR ke MK. Kemudian adik ipar Presiden, Anwar Usman sebagai ketua MK yang pasti memimpin sidang impeachment, ini baru masalah. “Tapi ini jangan didiskusikan sekarang, itu nanti kalau sudah ada perkaranya. Jadi tergantung case by case-nya, jangan digeneralisir semuanya. Kan impeachment juga belum tentu ada,” kata dia.

Dia meminta publik tidak perlu khawatir, bila ketua MK mempunyai konflik kepentingan untuk dirinya sendiri dalam penanganan perkara sejumlah pengujian UU, seperti UU Ibu Kota Negara. “Kan 8 hakim konstitusi yang lain belum tentu sependapat dengan Anwar. Kita juga harus percaya kepada 8 hakim konstitusi yang lainnya,” kata Jimly.  

Meski begitu, saran Jimly, menjadi kebutuhan hukum ke depan memang perlu UU Konflik Benturan Kepentingan yang mengatur urusan privat dan publik; urusan jabatan dengan bisnis. Misalnya, saat ini ada sekitar 50 persen pejabat negara memiliki bisnis. “Nah ini harus diatur agar tidak terjadi benturan kepentingan, bukan hanya soal perkawinan seperti ini. Namun, bila ada UU seperti itu apakah para pejabat siap?”  

Potensi melanggar kode etik

Advokat Konstitusi, yang juga Kuasa Hukum Pemohon UU IKN, Viktor Santoso Tandiasa menilai apabila benar terjadi pernikahan Ketua MK Anwar Usman dengan adik ketiga Presiden Jokowi, potensi terjadi pelanggaran prinsip Kode Etik dan Perilaku Hakim Konstitusi sangat kuat.

“Persoalan kode etik hakim konstitusi sudah diatur dalam Peraturan MK No.09/PMK/2006 tentang Pemberlakuan Deklarasi Kode Etik dan Perilaku Hakim Konstitusi,” kata Viktor kepada Hukumonline.

Pelanggaran prinsip kode etik hakim konstitusi yang dimaksud Viktor yakni Prinsip Independensi, Penerapan dalam angka 6 yang menyebutkan "hakim konstitusi harus menjaga dan menunjukkan citra independen serta memajukan standar perilaku yang tinggi guna memperkuat kepercayaan masyarakat terhadap Mahkamah."

Selain itu, Prinsip Ketakberpihakan, Penerapan dalam angka 5 huruf b, menyebutkan “hakim konstitusi – kecuali mengakibatkan tidak terpenuhinya kuorum untuk melakukan persidangan – harus mengundurkan diri dari pemeriksaan suatu perkara apabila hakim tersebut tidak dapat atau dianggap tidak dapat bersikap tak berpihak karena alasan-alasan di bawah ini: a. ... b. Hakim konstitusi tersebut atau anggota keluarganya mempunyai kepentingan langsung terhadap putusan.”

Ia menjelaskan kewenangan MK terdapat adanya persinggungan dengan para pihak yang berperkara dalam hal ini Presiden (pemerintah). Kewenangan tersebut, pertama kewenangan pengujian Undang-undang (bersifat kasuistik) yakni terhadap UU inisiatif presiden, seperti UU Ibu Kota Negara Nusantara. Kedua kewenangan impeachment terhadap presiden.

Terhadap kedua kewenangan tersebut, kata dia, tentunya ketua MK akan sulit menjaga dan menunjukkan citra independen untuk memperkuat kepercayaan masyarakat terhadap Mahkamah sebagaimana yang diharuskan dalam Prinsip Independensi pada angka 6 sebagaimana disebutkan diatas.

“Dalam penanganan Pengujian UU yang merupakan inisiatif presiden, akan sulit menjaga agar tidak menimbulkan anggapan bahwa ketua MK dianggap tidak dapat bersikap tak berpihak di mata publik,” kata Viktor.  

“Dalam hal ini pernikahan akan dilangsungkan saat MK sedang menangani perkara pengujian UU Ibu Kota Negara Nusantara yang kita semua tahu, perpindahan ibu kota nusantara merupakan ambisi politik Presiden RI di akhir masa jabatannya,” bebernya.

Patut diingat pula, kata dia, suara ketua MK dalam pengambilan keputusan di setiap Rapat Permusyawaratan Hakim dapat bernilai 2 suara, apabila jumlah hakim saat akan mengambil keputusan berjumlah imbang (genap). Hal ini tentunya berpotensi menimbulkan prasangka negatif apabila dalam penanganan suatu perkara pengujian UU yang merupakan inisiatif Presiden atau perkara impeachment.

“Saat akan mengambil putusan dalam RPH jumlah hakim genap dan terjadi (1 hakim konstitusi, red) dissenting opinion, ketika putusan ditolak dengan komposisi hakim 4 menolak dan 4 mengatakan seharusnya mengabulkan permohonan, maka ketika posisi ketua MK ada di pihak yang menolak, maka suara ketua MK menjadi bernilai 2 suara,” katanya.   

Tags:

Berita Terkait