Ketua MK Suhartoyo: Beracara di MK Tidak Harus Dilakukan oleh Advokat
Terbaru

Ketua MK Suhartoyo: Beracara di MK Tidak Harus Dilakukan oleh Advokat

Untuk memudahkan para pencari keadilan yang berkaitan dengan hak konstitusionalnya yang dirasakan dirugikan, sehingga tidak boleh terhalang oleh finansial.

Ady Thea DA
Bacaan 3 Menit

Kemudian, Pasal 8 Peraturan MK 2/2021 mengatur 15 tahapan penanganan perkara PUU. Pertama, pengajuan permohonan. Kedua, pencatatan permohonan dalam e-BP3. Ketiga, pemeriksaan kelengkapan permohonan. Keempat, pemberitahuan APKBP disertai DHPKP2. Kelima, pemenuhan kelengkapan dan perbaikan permohonan. Keenam, penyampaian laporan permohonan dalam RPH. Ketujuh, pencatatan permohonan dalam e-BRPK.

Delapan, penyampaian salinan Permohonan. Sembilan, pengajuan permohonan sebagai Pihak Terkait. Sepuluh, pemberitahuan sidang kepada para pihak. Sebelas, pemeriksaan pendahuluan. Dua belas, pemeriksaan persidangan. Tiga belas, pelaksanaan RPH pembahasan perkara. Empat belas, pengucapan putusan Mahkamah. Lima belas, penyerahan/penyampaian salinan putusan Mahkamah.

Hukum Acara PHPU

Sebelumnya, pakar Hukum Tata Negara Universitas Gadjah Mada, Zainal Arifin Mochtar, mengatakan hukum acara PHPU Pilpres belum memadai untuk menegakan hukum kepemiluan. Sejak MK menangani PHPU Pilpres tahun 2004, 2009, 2014, dan 2019 belum pernah ada perbaikan yang dilakukan terhadap hukum acara.

Waktu yang diberikan kepada MK untuk menangani PHPU Pilpres hanya 14 hari kerja. Zainal berpendapat jangka waktu yang disediakan itu tidak cukup bagi hakim konstitusi melakukan elaborasi yang kuat di persidangan. Alhasil saat ini pembuktian dibatasi, termasuk keterangan yang diberikan saksi dan ahli. Ujungnya, dalil pemohon tidak bisa dibuktikan. “Itu kelemahan mendasar hukum acara MK tidak rapi,” katanya.

Secara umum proses pembuktian dalam persidangan di MK menyulitkan pemohon. Zainal memberikan contoh dalam pengujian formil UU, bagaimana cara bagi pemohon untuk menghadirkan alat bukti yang statusnya dikuasai negara. Pembuktian itu harusnya oleh pihak DPR dan pemerintah dengan cara memberikan keterangan. Pembagian beban pembuktian itu harus dilakukan karena perkara di MK berbeda dengan pidana dan perdata.

Tags:

Berita Terkait